Padang (ANTARA) - Dua dekade silam, Indra Yeni bukan siapa-siapa. Ia hanya perempuan biasa yang menekuni usaha kerajinan tenun di kampung halamannya di Nagari Unggan, Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat.

Namun, berkat kegigihannya, usaha tenun Yeni berkembang pesat bahkan merambah pasar Timur Tengah. Bahkan dari usaha tenun itu ia mampu memerdekakan kaum perempuan, khususnya di Nagari Unggan dan Sijunjung.

Yeni konsisten memberdayakan perempuan lewat usahanya termasuk memberikan pelatihan menenun di beberapa daerah di Sijunjung.

Dengan memberdayakan perempuan melalui kerajinan tenun maka mereka bisa merdeka untuk dirinya sendiri.

Perempuan, menurut dia, harus membantu ekonomi keluarga, apalagi selama ini ia kerap menyaksikan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga disebabkan faktor ekonomi yang tidak mencukupi.

Selain harus membantu ekonomi keluarga, kaum perempuan harus mandiri dan jangan terus bergantung pada suaminya. Karena, apabila kaum perempuan ditinggal pisah suaminya, karena perceraian maupun pisah karena sang suami meninggal dunia, perempuan akan kesulitan untuk penopang kehidupan selanjutnya.

Yeni mulai merintis usaha pada 1994. Ia sebelumnya belajar menenun dengan orang Pandai Sikek yang tinggal di Lareh Sago Halaban, Kabupaten Lima Puluhkota.

Saat itu, ia masih tinggal bersama suaminya di Halaban. Tiga bulan belajar, pada 1994 dia pindah ke kampung halamannya di Nagari Unggan.

Di Unggan, ia mulai mengembangkan bakatnya dengan merintis usaha tenun dengan jenama atau merek Tenun Unggan Lansek Manih.

Dengan modal Rp950 ribu, ia membeli alat tenun bekas satu pasang. Kemudian, meja tenun dibuat sendiri oleh suaminya, Syami Usman Chaniago, yang memang berprofesi sebagai tukang kayu.

Sayangnya, usaha untuk mengembangkan bakatnya sempat jadi cemooh sejumlah orang. Bahkan, ada yang menyebut gila karena Unggan terisolasi dan tak ada orang yang akan membeli songketnya.

Meski begitu, dia tak peduli. Dengan kerja keras, Yeni terus berusaha mengembangkan usaha kerajinan tenun. Pada 2004, ia sempat menyerah dan tak mampu melanjutkan usahanya.

Bukan karena cemooh orang-orang, melainkan faktor buruknya akses jalan di Unggan.

Namun ia tidak mau menyalahkan orang lain yang menyebutnya gila, karena Unggan memang daerah terisolasi dan paling ujung di Sijunjung.

Akses jalan buruk dan susah dilewati kendaraan, membuatnya kerap jatuh dari sepeda motor saat mau beli bahan tenun di Silungkang. Tak jarang benang yang dibeli juga ikut jatuh.

Belum lagi soal tidak adanya jaringan seluler yang membuatnya sulit untuk berkembang mengingat menjual tenun tidak bisa dari mulut ke mulut tapi harus lewat promosi yang kuat dan jaringan komunikasi amat berperan.

Akan tetapi pada 2005, ia melanjutkan kembali usaha kerajinan tenun dengan pertimbangan untuk menambah pemasukan keluarga serta desakan sejumlah perempuan di Unggan yang sebelumnya sempat dibinanya.

Perlahan tapi pasti, pada tahun tahun 2007 usaha tenunnya mulai berkembang cukup baik berkat melakukan inovasi hasil tenun untuk bahan baju.

Kalau sebelumnya, ia hanya membuat tenun untuk songket, pasar tenun untuk baju ini ternyata bagus. Tidak hanya di Sijunjung saja, tapi meluas hingga ke berbagai daerah di Sumbar, seperti Padang, Bukittinggi, Dharmasraya, Payakumbuh, serta beberapa kabupaten dan kota lain.


Modal kerja

Di tengah perkembangan usaha kerajinan tenun miliknya yang cukup baik, permintaan pasar pun makin banyak sehingga Yeni agak kesulitan memenuhi kebutuhan pasar karena keterbatasan permodalan.

Bahkan, banyak reseller yang kecewa karena tidak bisa menyuplai tenun sesuai dengan jadwal yang ditentukan.

Beruntung pada tahun 2012, usaha Yeni menjadi binaan dari CSR Semen Padang lalu mendapatkan pinjaman modal usaha Rp20 juta.

Dari pinjaman modal usaha dari perusahaan semen pertama di Indonesia dan Asia Tenggara tersebut, dia membeli alat tenun, benang, dan berbagai peralatan lain. Seiring dengan itu, jumlah karyawannya pun bertambah.

Saat ini, jumlah karyawan Yeni ada 40 orang yang diberikan upah berdasarkan kain tenun yang diproduksi, mulai Rp100 ribu sampai Rp450 ribu untuk sehelai kain tenun.

Karena usahanya berkembang, kini perempuan yang bekerja padanya sudah mandiri dan bisa membantu ekonomi keluarga.

Yeni berkesempatan mendapatkan kembali pinjaman modal dari BUMN itu hingga tiga kali. Pinjaman kedua Rp40 juta dan yang ketiga Rp100 juta.

Sekarang pinjaman tersebut sudah dilunasi dan usahanya terus maju dan berkembang. Bahkan saat ini, ia pun sudah memiliki workshop pelatihan menenun di Muaro Sijunjung.

Yeni mengaku bersyukur bisa menjadi bagian dari UMKM binaan BUMN itu. Banyak manfaat yang didapat dari CSR perusahaan pelat merah itu. Selain dipinjami modal usaha, tenunnya juga diikutkan pameran di berbagai daerah, seperti Padang, Medan, Batam, dan Jakarta.

Pameran ke berbagai daerah di Indonesia dirasakan manfaatnya bagi kemajuan usaha kerajinan tenun miliknya. Pelanggannya menjadi bertambah. Bahkan, ada juga pesanan dari beberapa negara di Timur Tengah melalui perantau Minang yang ada di Qatar.

Setiap bulan ia rutin kirim kerajinan ke Timur Tengah, sejak 2018. Rata-rata dalam sebulan, sekitar 150 lembar kain tenun yang dikirim. Selain itu, ia juga rutin menyuplai kain tenun untuk reseller yang ada di Jakarta, Payakumbuh, Bukittinggi, dan Padang. Paling banyak ke Jakarta.

Kepala Unit Humas dan Kesekretariatan Semen Padang Nur Anita Rahmawati menyampaikan Program Kemitraan Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan salah satu program unggulan yang dimiliki oleh perusahaan persemenan negara tersebut.

Terhitung sejak Program Kemitraan didirikan pada 1987 hingga sekarang tercatat lebih dari 15.000 UMKM di Sumbar telah menjadi mitra binaan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.539 UMKM hingga kini masih menjadi binaannya.

Sedangkan sisanya sekitar 13.000 UMKM, sekarang sudah menjadi UMKM mandiri yang telah maju dan berkembang.

Kesuksesan yang diraih Yeni, ternyata juga sejalan dari sederet penghargaan yang diraihnya, baik dari pemerintah maupun dari lembaga swasta.

Di antaranya, penghargaan sebagai Pelestarian Budaya Kementerian Desa Tertinggal pada tahun 2011, pemenang terbaik tingkat nasional UMKM UI Microprenuership Award 2013 dan terbaik dari Women Skill pada Hari Perempuan Sedunia tahun 2014.

Kemudian, meraih penghargaan dari Universitas Indonesia setelah mengikuti motivasi dan training from zero to hero tahun 2015, penghargaan Alumni UMKM Center Terbaik, sebagai narasumber terbaik yang diselenggarakan UI pada tahun 2015, menerima penghargaan Upakarti kategori Pelopor dari Ditjen IKM Kementerian Perindustrian 2017, dan penghargaan SKIM Karya tahun 2020.

Berbagai penghargaan tersebut tidak terlepas atas kontribusinya memberdayakan perempuan lewat usaha kerajinan tenun, termasuk menjadi pelopor songket Unggan Lansek Manih asal Sijunjung.

Perempuan tangguh itu kini menjadi instruktur pelatihan tenun dari Balai Diklat Industri (BDI) Padang untuk 16 nagari di Sijunjung, termasuk instruktur pelatihan tenun di Lapas Kelas II B Sijunjung sejak 2014 hingga sekarang.

Peserta pelatihan tenun di Lapas Sijunjung tidak hanya diikuti oleh perempuan narapidana tapi juga laki-laki. Bahkan, ada salah satu mantan narapidana yang menjadi asisten untuk instruktur pelatihan tenun.

Bagi Yeni, sederet penghargaan yang telah diraihnya merupakan hal yang luar biasa mengingat ia hanya tamat SMP.

Yeni bertekad tidak akan berhenti menyuarakan, mengajak, dan memotivasi kaum perempuan untuk terus bertekad kuat, maju, dan kerja keras, terutama kaum perempuan di Unggan. Tujuannya, agar mereka bisa mandiri dan memerdekakan dirinya sendiri, termasuk menyokong pendapatan keluarga dan bisa memberikan pendidikan yang tinggi untuk anak-anak mereka.

Yeni memang tidak ingin sukses sendiri. Bersama teman-temannya, ia terus berbagi ilmu demi membantu kaum perempuan.

Sehelai demi sehelai benang yang ditenun Yeni sudah membentang lebar. Rupiah yang berputar dari usaha tenun ini bahkan mampu memberantas kemiskinan warga di daerahnya.





Editor: Achmad Zaenal M