BRIN: Indonesia perlu mendalami isu-isu kebijakan luar negeri
26 November 2022 19:14 WIB
Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Dewi Fortuna Anwar (kedua kanan); jurnalis independen Andini Effendi (kedua kiri); ekonom lingkungan Andhyta F. Utami (kiri), saat menjadi pembicara dalam acara "Embracing the Next Decade: Identifying Global Forces and Issues; Indonesian Foreign Policy must Wrestle Within the Next 10 Years", bagian dari Konferensi Kebijakan Luar Negeri Indonesia (CIFP) 2022 yang digelar di Jakarta, Sabtu (26-11-2022). ANTARA/Kenzu Tandiah
Jakarta (ANTARA) - Indonesia perlu mendalami isu-isu terkini dalam kebijakan luar negeri, seperti pandemi, perubahan iklim, geopolitik, geoekonomi, dan literasi digital, untuk mampu bersaing dalam 10 tahun mendatang, kata peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Dewi Fortuna Anwar.
Dalam acara Embracing the Next Decade: Identifying Global Forces and Issues; Indonesian Foreign Policy must Wrestle Within the Next 10 Years di Jakarta, Sabtu, Prof. Dewi Fortuna Anwar mengemukakan bahwa pandemi di Indonesia berdampak langsung pada isu-isu kemanusiaan, kemudian bagaimana menghadapi ancaman transnasional.
Menurut dia, para pemikir dan komunitas kebijakan luar negeri Indonesia perlu memperhatikan perkembangan industri dan pertumbuhan ekonomi yang berdampak langsung pada planet bumi dan perubahan iklim.
"Selain itu, juga tentang bagaimana cara kita memitigasi risiko perubahan iklim yang akan terus menjadi agenda utama," kata Dewi.
Dewi juga menyoroti bagaimana teknologi transportasi dan komunikasi, termasuk dunia digital, telah mengubah cara hidup manusia.
Kehadiran teknologi digital, menurut dia, telah memudahkan komunikasi pada masa pandemi. Namun, pada saat yang sama, itu juga menyebabkan dampak-dampak negatif, seperti serangan dunia maya dan berita bohong atau hoaks yang mengakibatkan memburuknya polarisasi geopolitik.
Ia menyebutkan ada kecenderungan dalam politik luar negeri Indonesia yang hanya berfokus pada negara-negara adidaya, seperti AS dan Tiongkok, kemudian bagaimana cara Indonesia menanggapinya serta dampaknya terhadap kawasan Indo-Pasifik.
Oleh karena itu, dia mengingatkan komunitas dan pemikir kebijakan luar negeri perlu memperhatikan kebijakan-kebijakan luar negeri India, Jepang, dan kawasan Asia Tenggara.
"Jangan biarkan negara adidaya memonopoli narasi-narasi (politik luar negeri) karena apa yang terjadi di G20 menunjukkan dengan jelas bahwa negara middlepower (negara penguasa menengah), dan mereka yang berusaha untuk mempersatukan perbedaan, memiliki peran yang penting, dan saya berharap ini bisa terus mengembangkan kebijakan luar negeri kita," jelas Dewi.
Terlebih lagi, kata dia, kebijakan yang dibuat harus berbasis bukti, yang bukan hanya melibatkan pemangku kepentingan dan pembuat kebijakan, melainkan juga masyarakat.
"Politik adalah tentang rakyat, seperti yang Bu (Menteri Luar Negeri) Retno Marsudi katakan, 'Bukan hanya negara yang membuat kebijakan, melainkan juga masyarakat," imbuhnya.
Baca juga: Menlu Retno tegaskan makna 'Bebas-Aktif' polugri Indonesia di G20
Baca juga: Kanada soroti isu gender dalam dukung UMKM ASEAN di tengah pandemi
Dalam acara Embracing the Next Decade: Identifying Global Forces and Issues; Indonesian Foreign Policy must Wrestle Within the Next 10 Years di Jakarta, Sabtu, Prof. Dewi Fortuna Anwar mengemukakan bahwa pandemi di Indonesia berdampak langsung pada isu-isu kemanusiaan, kemudian bagaimana menghadapi ancaman transnasional.
Menurut dia, para pemikir dan komunitas kebijakan luar negeri Indonesia perlu memperhatikan perkembangan industri dan pertumbuhan ekonomi yang berdampak langsung pada planet bumi dan perubahan iklim.
"Selain itu, juga tentang bagaimana cara kita memitigasi risiko perubahan iklim yang akan terus menjadi agenda utama," kata Dewi.
Dewi juga menyoroti bagaimana teknologi transportasi dan komunikasi, termasuk dunia digital, telah mengubah cara hidup manusia.
Kehadiran teknologi digital, menurut dia, telah memudahkan komunikasi pada masa pandemi. Namun, pada saat yang sama, itu juga menyebabkan dampak-dampak negatif, seperti serangan dunia maya dan berita bohong atau hoaks yang mengakibatkan memburuknya polarisasi geopolitik.
Ia menyebutkan ada kecenderungan dalam politik luar negeri Indonesia yang hanya berfokus pada negara-negara adidaya, seperti AS dan Tiongkok, kemudian bagaimana cara Indonesia menanggapinya serta dampaknya terhadap kawasan Indo-Pasifik.
Oleh karena itu, dia mengingatkan komunitas dan pemikir kebijakan luar negeri perlu memperhatikan kebijakan-kebijakan luar negeri India, Jepang, dan kawasan Asia Tenggara.
"Jangan biarkan negara adidaya memonopoli narasi-narasi (politik luar negeri) karena apa yang terjadi di G20 menunjukkan dengan jelas bahwa negara middlepower (negara penguasa menengah), dan mereka yang berusaha untuk mempersatukan perbedaan, memiliki peran yang penting, dan saya berharap ini bisa terus mengembangkan kebijakan luar negeri kita," jelas Dewi.
Terlebih lagi, kata dia, kebijakan yang dibuat harus berbasis bukti, yang bukan hanya melibatkan pemangku kepentingan dan pembuat kebijakan, melainkan juga masyarakat.
"Politik adalah tentang rakyat, seperti yang Bu (Menteri Luar Negeri) Retno Marsudi katakan, 'Bukan hanya negara yang membuat kebijakan, melainkan juga masyarakat," imbuhnya.
Baca juga: Menlu Retno tegaskan makna 'Bebas-Aktif' polugri Indonesia di G20
Baca juga: Kanada soroti isu gender dalam dukung UMKM ASEAN di tengah pandemi
Pewarta: Kenzu Tandiah
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022
Tags: