BMKG padukan data PVMBG guna rekonstruksi bangunan pascagempa Cianjur
23 November 2022 14:07 WIB
Foto udara permukiman terdampak gempa di Kampung Barukaso, Desak Sukamulya, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Rabu (23/11/2022). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat hingga Selasa (22/11/2022) pukul 17.00 WIB, korban jiwa akibat gempa Cianjur mencapai 268 serta yang sudah terindentifikasi 122 jenazah dan korban hilang sejumlah 151 orang. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/YU/pri.
Jakarta (ANTARA) - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) akan memadukan data dengan PVMBG Kementerian ESDM terkait wilayah rawan gempa dan rawan longsor guna mendukung proses rehabilitasi dan rekonstruksi bangunan usai gempa Cianjur, Jawa Barat.
"Saat ini BMKG tengah melakukan survei untuk mengidentifikasi wilayah mana saja yang aman terhadap guncangan gempa," ujar Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati di Cianjur, Jawa Barat, Rabu.
Menurutnya, banyaknya korban meninggal dan signifikannya kerusakan yang terjadi pada saat gempa tektonik bermagnitudo 5,6 selain akibat gempa dangkal juga akibat struktur bangunan di wilayah terdampak tidak memenuhi standar tahan gempa.
"Mayoritas bangunan yang terdampak karena dibangun tanpa mengindahkan struktur aman gempa yang menggunakan besi tulangan dengan semen standar. Akibatnya, bangunan tersebut tidak mampu menahan guncangan gempa," paparnya.
Baca juga: SKK Migas gerakkan industri hulu migas bantu korban gempa Cianjur
Baca juga: Muhammadiyah fokus pada layanan kesehatan-logistik di masa darurat
Oleh karena itu, ia mengimbau agar proses rehabilitasi dan rekonstruksi bangunan setelah gempa di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, menggunakan struktur tahan gempa demi menekan jumlah korban.
"Perlu dipahami bahwa banyaknya korban jiwa dan luka-luka dalam gempa bumi Cianjur bukan diakibatkan guncangan gempa bumi, melainkan karena tertimpa bangunan yang tidak sesuai dengan struktur tahan gempa bumi," tuturnya.
Khusus untuk pemukiman warga di daerah lereng-lereng dan perbukitan, kata Dwikorita, maka opsi relokasi harus dipertimbangkan oleh pemerintah daerah dan masyarakat, mengingat gempa di Cianjur merupakan gempa yang berulang setiap 20 tahunan dan kemungkinan dapat terjadi kembali.
Ia menambahkan, topografi di wilayah lereng dan perbukitan tersebut juga tidak stabil dengan kondisi tanah yang rapuh atau lunak dan sering jenuh air akibat curah hujan yang cukup tinggi.
Secara terpisah, Pakar tsunami Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Widjo Kongko mengatakan mitigasi bencana dengan membangun bangunan tahan gempa penting dalam melakukan renovasi dan rehabilitasi setelah gempa di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Widjo menuturkan gempa bumi dengan magnitudo 5,6 pada siklus yang lebih pendek akan lebih sering terjadi dibanding dengan gempa bumi megathrust dengan magnitudo di atas 7-9 di zona subduksi.
Oleh karena itu, aspek ketahanan gempa perlu diperhatikan dalam pembangunan infrastruktur dan bangunan lain untuk mengantisipasi dan meminimalisir dampak kerusakan akibat gempa di masa mendatang.*
Baca juga: Warga gempa Cianjur minta bantuan di jalan
Baca juga: Polda Jatim salurkan bansos untuk korban gempa Cianjur
"Saat ini BMKG tengah melakukan survei untuk mengidentifikasi wilayah mana saja yang aman terhadap guncangan gempa," ujar Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati di Cianjur, Jawa Barat, Rabu.
Menurutnya, banyaknya korban meninggal dan signifikannya kerusakan yang terjadi pada saat gempa tektonik bermagnitudo 5,6 selain akibat gempa dangkal juga akibat struktur bangunan di wilayah terdampak tidak memenuhi standar tahan gempa.
"Mayoritas bangunan yang terdampak karena dibangun tanpa mengindahkan struktur aman gempa yang menggunakan besi tulangan dengan semen standar. Akibatnya, bangunan tersebut tidak mampu menahan guncangan gempa," paparnya.
Baca juga: SKK Migas gerakkan industri hulu migas bantu korban gempa Cianjur
Baca juga: Muhammadiyah fokus pada layanan kesehatan-logistik di masa darurat
Oleh karena itu, ia mengimbau agar proses rehabilitasi dan rekonstruksi bangunan setelah gempa di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, menggunakan struktur tahan gempa demi menekan jumlah korban.
"Perlu dipahami bahwa banyaknya korban jiwa dan luka-luka dalam gempa bumi Cianjur bukan diakibatkan guncangan gempa bumi, melainkan karena tertimpa bangunan yang tidak sesuai dengan struktur tahan gempa bumi," tuturnya.
Khusus untuk pemukiman warga di daerah lereng-lereng dan perbukitan, kata Dwikorita, maka opsi relokasi harus dipertimbangkan oleh pemerintah daerah dan masyarakat, mengingat gempa di Cianjur merupakan gempa yang berulang setiap 20 tahunan dan kemungkinan dapat terjadi kembali.
Ia menambahkan, topografi di wilayah lereng dan perbukitan tersebut juga tidak stabil dengan kondisi tanah yang rapuh atau lunak dan sering jenuh air akibat curah hujan yang cukup tinggi.
Secara terpisah, Pakar tsunami Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Widjo Kongko mengatakan mitigasi bencana dengan membangun bangunan tahan gempa penting dalam melakukan renovasi dan rehabilitasi setelah gempa di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Widjo menuturkan gempa bumi dengan magnitudo 5,6 pada siklus yang lebih pendek akan lebih sering terjadi dibanding dengan gempa bumi megathrust dengan magnitudo di atas 7-9 di zona subduksi.
Oleh karena itu, aspek ketahanan gempa perlu diperhatikan dalam pembangunan infrastruktur dan bangunan lain untuk mengantisipasi dan meminimalisir dampak kerusakan akibat gempa di masa mendatang.*
Baca juga: Warga gempa Cianjur minta bantuan di jalan
Baca juga: Polda Jatim salurkan bansos untuk korban gempa Cianjur
Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022
Tags: