Surabaya (ANTARA) - Kamis pagi, 17 November 2022, Matahari belum terasa terik. Para petani berkumpul di salah satu sudut ladang tebu kawasan Desa Sumberagung, Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.

Para petani dari Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sumber Tani itu tampak serius menyimak penjelasan yang disampaikan oleh petugas penyuluh lapangan (PPL) Agung Pamuja.

Agung, yang juga pengamat hama tanaman dan perkebunan dari Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya itu mempraktikkan cara mengendalikan hama uret yang selama ini menjadi endemi pada tanaman tebu menggunakan cairan disinfektan "Nematoda Entomopatogen" (NEP). Wujudnya spons atau karet busa warna kecoklatan seukuran telapak tangan orang dewasa.

Agung menjelaskan warna kecoklatan pada spons itu adalah kumpulan mikroba cacing yang masing-masing ukurannya sangat kecil, tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Seekor cacing di spons itu ukurannya sekitar 0,075 mikron. Hanya bisa dilihat melalui mikroskop.

Cara pemakaiannya, spons dicelupkan ke air yang telah dituang ke dalam suatu wadah seperti bak atau ember. Jangan diperas agar cacing-cacingnya tidak mati. Sponsnya cukup diurut agar cacing-cacing menyebar ke seluruh air di dalam wadah. Lalu dipindahkan ke tangki penyemprotan disinfektan. Untuk kemudian disemprotkan merata di tanah seluas ladang tebu.

Fungsinya agar hama uret yang hidup di dalam tanah ladang tebu memakan cacing-cacing itu dan akhirnya mati.

Agung menekankan, yang perlu dipahami oleh para petani, cacing-cacing dalam spons itu masih hidup. Maka jika tidak digunakan harus disimpan di tempat yang bersuhu sejuk agar cacing-cacing tetap hidup. Pun ketika akan disemprotkan ke tanah di ladang tebu, harus menjaganya agar cacing-cacing tetap hidup.

Maka disarankan proses "neping" atau penyemprotan dilaksanakan pada pagi hari. Paling efektif disarankan sekitar pukul 08.00 WIB, sebelum matahari terasa terik. Untuk itulah para petani anggota Gapoktan Sumber Tani di Desa Sumberagung berkumpul sejak sebelum pukul 08.00 WIB. Pagi itu mereka menyemprotkan disinfektan NEP di seluruh tanah ladang tebunya.


Peningkatan produksi

Desa Sumberagung, Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri, adalah salah satu sentra budi daya tebu di wilayah Jawa Timur.

Gapoktan Sumber Tani di Desa Sumberagung terdiri dari enam kelompok tani dan satu kelompok tani wanita. Selain menanam lombok dan jagung, yang menjadi mayoritas pemanfaatan lahan para petani di desa itu, adalah tanaman tebu.

Ketua Gapoktan Sumber Tani Sariono menyebut lahan tebu di Desa Sumberagung mencapai sekitar 50 hektare.

Selama ini hasil panennya selalu terkendala oleh endemi hama uret. Tanaman tebu banyak yang layu kekuningan karena akarnya digerogoti uret. Bahkan kebanyakan tanaman tebu yang menguning menggelimpang sebelum panen.

Beruntung masih bisa panen. Sariono memastikan tidak pernah gagal panen. Hanya saja dia dan para petani anggotanya selalu meyakini semestinya bisa mengendalikan endemi hama uret, sehingga mendapatkan hasil panen yang lebih bisa menyejahterakan keluarganya.

Masa tanam hingga panen tebu membutuhkan waktu yang cukup panjang, yaitu selama delapan hingga sembilan bulan.

Hasil panen selama ini sekitar Rp4 juta per ladang tebu seluas 100 Ru atau sekitar 1.400 meter persegi. Dia membandingkan hasil panen tebu di desa tetangga sebelah yang bisa mencapai Rp7,5 juta per lahan seluas 100 Ru, setelah sekitar setahun yang lalu mendapatkan pengarahan dari PPL terkait pengendalian hama uret, yang distimulasi oleh Dinas Perkebunan Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Disbun Jatim).

Pagi itu Sariono dan petani tebu anggota Gapoktan Sumber Tani lainnya menatap penghasilan panen Rp7,5 juta per lahan seluas 100 Ru, setelah mendapat pengarahan terkait pengendalian hama uret dari Agung Pamuja yang datang bersama sejumlah PPL lainnya, dalam kegiatan yang diinisiasi oleh Disbun Jatim.
Imago kumbang "Lepidiota stigma" hinggap di daun tanaman tebu di Desa Sumberagung, Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, sebelum bermetamorfosis menjadi hama uret, Kamis (17/11/2022). (ANTARA/Hanif Nashrullah)

Metamorfosis hama uret

Siklus kehidupan hama uret pada tanaman tebu melalui berbagai fase metamorfosa. Imago atau fase akhir metamorfosisnya adalah kumbang "Lepidiota stigma". Petani tebu di Desa Sumberagung menyebut hewan jenis serangga yang siklus hidupnya antara bulan September hingga Desember ini dengan nama "Ampal".

Pengamat hama tanaman dan perkebunan Agung Pamuja mencatat periode bulan November adalah musim kawin ampal. Populasinya tampak beterbangan di ladang tebu Desa Sumberagung. Sesekali hinggap di daun tanaman tebu yang oleh petani setempat baru ditanam sekitar dua hingga empat bulan yang lalu.

Ampal sepanjang bulan November hingga Desember mendatang hidup dan kawin di pohon-pohon sengon yang tumbuh di sekitar ladang tebu.

Kalau mau bertelur menggerus tanah di ladang tebu, sementara ampal langsung mati setelah bertelur. Proses telur menetas membutuhkan waktu selama 14 hari.

Selanjutnya periode larva, yang disebut uret, sangatlah panjang. Masanya terbagi menjadi uret instar 1, 2, 3 dan 4, yaitu mulai bulan Januari hingga Agustus.

Selama menjadi uret itulah hama itu memangsa akar tebu. Paling ganas saat uret telah mencapai instar 3 dan 4 karena menggerogoti batang tanaman tebu. Tentu, kalau dibiarkan bisa menyebabkan tanaman tebu yang warna daunnya menjadi kekuningan akhirnya menggelimpang sehingga berpotensi gagal panen.

Jika tidak dikendalikan, uret selanjutnya di bulan September akan "ngentung" atau menjadi pupa sebelum akhirnya kembali berwujud imago ampal atau kumbang "Lepidiota stigma" dan akan menjalani proses metamorfosis dari awal lagi hingga seterusnya.


Pengendalian terpadu

Untuk mengantisipasi gagal panen, Disbun Pemprov Jatim menstimulasi para petani tebu dengan menyediakan net atau jaring agar dipasang di lahan tebu.

Tiap hektare lahan tebu didirikan dua jaring setinggi lima meter. Total panjangnya mencapai 200 meter.

Kepala Bidang Perlindungan Perkebunan Disbun Jatim Puji Astuti mengungkapkan mumpung di bulan November sedang musim kawin, ampal-ampal yang beterbangan di ladang tebu, dengan kaki-kakinya yang bergerigi, diharapkan tersangkut jaring, sampai akhirnya mati kepanasan oleh cuaca, sehingga tidak sampai bermetamorfosis menjadi hama uret.

Memang, cara ini hanyalah salah satu upaya pengendalian untuk endemi hama tanaman tebu.

Pengendalian hama uret harus dilakukan terpadu. Selain dengan cara "neping" dengan cara disemprotkan ke tanah ladang tebu secara merata untuk membasmi hama uret, juga dengan "neting" untuk mematikan imago ampalnya agar pembasmiannya lebih efektif.
Sejumlah kumbang "Lepidiota stigma" terjebak jaring yang dipasang petani sebagai pengendali hama uret di ladang tebu Desa Sumberagung, Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Kamis (17/11/2022). (ANTARA/Hanif Nashrullah)

Terlebih, seekor imago ampal betina diketahui bisa bertelur minimal sampai empat butir. Sebutlah jika yang nyangkut dan mati terjaring per hari 100 ekor di antaranya ampal betina, berarti dengan pengendalian neting saja setidaknya mampu mencegah terjadinya metamorfosis hama uret sebanyak 400 ekor per hari.

Sementara Matahari mulai terasa terik ketika proses neting baru saja selesai didirikan di ladang tebu Desa Sumberagung. Sejenak para petani masih terpaku memandanginya dengan seksama. Satu per satu imago ampal yang sebelumnya bebas beterbangan tampak mulai terjebak jaring.

Tak lama kemudian terdengar shalawat tarhim dari pengeras suara masjid, menandakan sebentar lagi masuk waktu dzuhur, sekaligus waktunya beristirahat bagi para petani. Mereka pulang ke rumah masing-masing dengan langkah pasti, sembari menatap hasil panen tebu ke depan bakal lebih berlimpah.