Banjarmasin (ANTARA) - Pegawai PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN) merangkap penanggung jawab pembangunan pelabuhan PT Angsana Terminal Utama (ATU) Abdul Haris yang menjadi saksi menyebut fee untuk terdakwa mantan Bupati Tanah Bumbu Mardani H Maming merupakan refleksi pembagian hasil keuntungan kerja sama bisnis.

"Jadi ini hanya kaitan bisnis antara PT PCN dengan PT Trans Surya Perkasa (TSP) sebagai pemilik bersama PT ATU," kata dia dalam kesaksian di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Kamis.

Abdul Haris digali keterangannya menyangkut dakwaan bahwa Mardani disebut menerima fee hasil tambang dari Direktur PT PCN Henry Soetio melalui PT ATU dengan besaran Rp10 ribu setiap satu metrik ton batu bara yang diproduksi PT PCN.

Sosok Henry Soetio adalah orang yang diduga memberikan gratifikasi kepada terdakwa saat menjabat sebagai Bupati Tanah Bumbu sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) KPK.

PT TSP merupakan perusahaan terafiliasi dengan terdakwa memiliki 30 persen saham PT ATU dan sisanya 70 persen milik PT PCN.

Masih soal fee itu, saksi juga mengaku tak pernah mengetahui atau melihat langsung adanya transaksi dari Henry kepada terdakwa.

"Pak Henry memang pernah bilang fee untuk bupati. Tapi kalau melihat langsung diserahkan atau terdakwa menerima uang fee itu saya tidak pernah," ujar Abdul Haris.

Saat diminta oleh majelis hakim memberikan tanggapannya terhadap kesaksian Abdul Haris, terdakwa yang mengikuti persidangan secara virtual dari gedung KPK di Jakarta menyebut bahwa dia tidak pernah sebagai pribadi menerima uang dari Henry.

Menurut Mardani, ada yang salah saat disampaikan ada duit ke bupati.

"Henry itu selalu menyebut bupati, perusahaan disebut bupati, pelabuhan disebut bupati, padahal itu adalah B to B (bisnis ke bisnis)," kata terdakwa.

Saksi lainnya mantan Kepala Seksi Bimbingan Pertambangan Dinas ESDM Tanbu Herwandi menyampaikan terkait draf surat keputusan (SK) Bupati Tanbu nomor 296 Tahun 2011 tentang persetujuan pengalihan IUP OP pertambangan dari PT BKPL ke PT PCN.

Ia mengungkapkan draf SK tersebut sebelum diteken oleh terdakwa sudah lebih dulu diparaf oleh Kepala Dinas ESDM, Kabag Hukum, Asisten II dan Sekretaris Daerah Tanbu.

"Dari Pak Dwijono (mantan Kadis ESDM Tanbu) ke Kabag Hukum, saya yang mengantarkan dan diparaf Kabag Hukum. Lalu ke Asisten II dan diparaf, lalu ke Pak Sekda diparaf. Baru saya kembalikan ke Pak Dwijono untuk diserahkan ke bupati," kata saksi Herwandi.

JPU KPK Budhi Sarumpaet mengatakan dari sepuluh saksi yang diminta hadir hanya delapan yang menyanggupi.

Pada sidang selanjutnya dua saksi yang belum sempat diperiksa yakni Suroso Adi Cahyo dan Idham Chalid bakal kembali dihadirkan.

Dalam perkara ini Mardani didakwa dua dakwaan alternatif.

Pertama Pasal 12 huruf b Jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pada dakwaan alternatif kedua Pasal 11 Jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.