Jakarta (ANTARA) - Anggota DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono berharap Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mematuhi putusan Pengadilan Tinggi Usaha Negara (PTTUN) DKI Jakarta terkait Upah Minimum Provinsi (UMP) 2022 agar ada kepastian UMP 2023.

Menurut Gembong, UMP 2022 akan berakhir sebulan lagi. Jika pemerintah tidak mengikuti putusan itu, maka tidak ada kepastian hukum soal besaran UMP karena Keputusan Gubernur (Kepgub) DKI Jakarta Nomor 1517 Tahun 2021 tentang UMP 2022 telah tidak berlaku.

"Sebentar lagi UMP tahun 2023 kan, ya saya pikir tinggal dijalankan saja putusan bandingnya (mengikuti putusan PTUN)," kata anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta itu di Jakarta, Rabu.

​​​​​Pilihannya mengikuti putusan supaya ada kepastian. "Kalau enggak, kan enggak ada kepastian, jadi satu tahun berarti tak ada kepastian hukum kan," katanya.

Baca juga: PTTUN putuskan banding eks Gubernur Anies kalah soal UMP 2022

Dengan adanya permasalahan hukum terkait UMP Jakarta, kata Gembong, pada tahun 2022 DKI tidak memiliki kepastian hukum terkait UMP.

"Lebih baik fokus saja untuk bisa merencanakan penetapan UMP pada 2023 dalam faktor mendukung terhadap kebijakan penyesuaian UMP 2023," ujar Gembong.

PTTUN telah menolak banding yang diajukan Pemprov DKI Jakarta sekaligus menguatkan putusan di tingkat pertama atau Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dengan nilai UMP Rp4,5 juta per bulan.

Menurut Gembong, Kepgub Nomor 1517 Tahun 2021 tidak mencermati aspek yang berkaitan dengan rasionalisasi kenaikan UMP 2022.
Karena itu, Kepgub yang diteken pada November 2021 digugat hingga akhirnya banding Pemprov DKI di PTTUN ditolak.

"Persoalannya kan begitu, kalau alas hukumnya kuat pasti enggak mungkin dikalahkan," ujarnya.

Baca juga: Heru minta Dewan Pengupahan jembatani rumusan UMP

Gembong mengatakan, jika pemerintah mengikuti putusan PTTUN Jakarta, pekerja di Jakarta pada November-Desember 2022 akan dibayar Rp4,5 juta per bulan.

Polemik UMP yang berujung di meja hijau, ujar dia, menunjukkan bahwa komunikasi tripartit yang terdiri dari pemerintah, pelaku usaha dan pekerja tidak berjalan dengan baik.

"Saat tripartit itu, harusnya dimaksimalkan, sebetulnya semua unsur itu sudah terwakili kan. Dari pihak pengusaha sudah ada wakilnya, buruh ada wakilnya dan pemerintah daerah sebagai regulatornya,“ ujarnya.