Akademisi UI: Pepohonan sangat penting mengurangi emisi CO2
16 November 2022 16:41 WIB
Suasana deretan permukiman dan gedung bertingkat di Jakarta, Jumat (8/10/2021). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menargetkan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 35 juta ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e) pada 2030 melalui sejumlah aksi mitigasi mulai dari sektor energi hingga pengolahan limbah. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/hp.
Jakarta (ANTARA) - Guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Budi Haryanto mengatakan pepohonan sangat penting untuk mengurangi jumlah emisi karbon dioksida (CO2) di bumi.
“Semakin banyak dan rimbun hutan dengan pepohonan, semakin besar fungsinya dalam mengurangi jumlah CO2 di bumi,” tulisnya dalam keterangan yang diterima ANTARA di Jakarta, Kamis.
Pakar epidemiologi Pencemaran Udara dan Surveilans Kesehatan Lingkungan ini mengatakan adanya daun dari pohon fungsinya sangat penting untuk mengendalikan perubahan iklim.
"Daun-daun di pohon setiap hari memerlukan CO2 untuk proses fotosintesa dengan bantuan sinar matahari. Proses ini membuat pohon bisa melepaskan oksigen atau O2 yang dibutuhkan manusia untuk bernafas," katanya.
Baca juga: KLHK: Target SGDs harus diwujudkan demi lingkungan dan peradaban
Baca juga: Ahli: Manggala Agni berperan penting turunkan emisi gas rumah kaca
Ia mengatakan semakin banyak pohon atau hutan yang rimbun maka semakin banyak juga proses fotosintesa dari daun-daun setiap paginya.
“Artinya, banyak CO2 di udara yang akan tertangkap oleh daun-daun untuk dimanfaatkan proses memasak makanan dari pohon,” jelasnya.
Selain untuk mengurangi gas karbon monoksida, proses fotosintesa pada tumbuhan juga berperan untuk mendapatkan energi atau makanan dan juga untuk menghasilkan makanan seperti buah, umbi-umbian dan glukosa yang bisa bermanfaat untuk dikonsumsi oleh manusia dan hewan.
Budi juga menjelaskan emisi karbon dioksida merupakan gas rumah kaca yang proporsinya terbesar dibandingkan gas-gas rumah kaca lainnya.
CO2 diemisikan karena proses pembakaran hutan atau bahan bakar yang jika terus menerus dibiarkan, dapat menyebabkan pemanasan global, suhu udara yang meningkat secara signifikan hingga perubahan iklim yang tidak menentu.
“CO2 diemisikan karena proses pembakaran seperti bahan bakar, kebakaran semak dan hutan, membakar jerami di sawah, membakar sampah, dan lain-lain,” katanya.
Emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia diperkirakan terus meningkat pada 2021 hingga 2030. Hal tersebut seiring dengan meningkatnya penggunaan bahan bakar minyak (BBM), gas, dan batu bara.
Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) milik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), emisi GRK nasional tercatat sebesar 259,1 juta ton CO2 pada 2021. Jumlahnya diproyeksi meningkat 29,13 persen menjadi 334,6 juta ton CO2 pada 2030.
Baca juga: Indonesia telah tingkatkan target pengurangan emisi gas rumah kaca
Baca juga: ProKlim butuh banyak keterlibatan masyarakat lokal turunkan emisi
“Semakin banyak dan rimbun hutan dengan pepohonan, semakin besar fungsinya dalam mengurangi jumlah CO2 di bumi,” tulisnya dalam keterangan yang diterima ANTARA di Jakarta, Kamis.
Pakar epidemiologi Pencemaran Udara dan Surveilans Kesehatan Lingkungan ini mengatakan adanya daun dari pohon fungsinya sangat penting untuk mengendalikan perubahan iklim.
"Daun-daun di pohon setiap hari memerlukan CO2 untuk proses fotosintesa dengan bantuan sinar matahari. Proses ini membuat pohon bisa melepaskan oksigen atau O2 yang dibutuhkan manusia untuk bernafas," katanya.
Baca juga: KLHK: Target SGDs harus diwujudkan demi lingkungan dan peradaban
Baca juga: Ahli: Manggala Agni berperan penting turunkan emisi gas rumah kaca
Ia mengatakan semakin banyak pohon atau hutan yang rimbun maka semakin banyak juga proses fotosintesa dari daun-daun setiap paginya.
“Artinya, banyak CO2 di udara yang akan tertangkap oleh daun-daun untuk dimanfaatkan proses memasak makanan dari pohon,” jelasnya.
Selain untuk mengurangi gas karbon monoksida, proses fotosintesa pada tumbuhan juga berperan untuk mendapatkan energi atau makanan dan juga untuk menghasilkan makanan seperti buah, umbi-umbian dan glukosa yang bisa bermanfaat untuk dikonsumsi oleh manusia dan hewan.
Budi juga menjelaskan emisi karbon dioksida merupakan gas rumah kaca yang proporsinya terbesar dibandingkan gas-gas rumah kaca lainnya.
CO2 diemisikan karena proses pembakaran hutan atau bahan bakar yang jika terus menerus dibiarkan, dapat menyebabkan pemanasan global, suhu udara yang meningkat secara signifikan hingga perubahan iklim yang tidak menentu.
“CO2 diemisikan karena proses pembakaran seperti bahan bakar, kebakaran semak dan hutan, membakar jerami di sawah, membakar sampah, dan lain-lain,” katanya.
Emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia diperkirakan terus meningkat pada 2021 hingga 2030. Hal tersebut seiring dengan meningkatnya penggunaan bahan bakar minyak (BBM), gas, dan batu bara.
Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) milik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), emisi GRK nasional tercatat sebesar 259,1 juta ton CO2 pada 2021. Jumlahnya diproyeksi meningkat 29,13 persen menjadi 334,6 juta ton CO2 pada 2030.
Baca juga: Indonesia telah tingkatkan target pengurangan emisi gas rumah kaca
Baca juga: ProKlim butuh banyak keterlibatan masyarakat lokal turunkan emisi
Pewarta: Fitra Ashari
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022
Tags: