Kuasa hukum Arif Rachman sebut JPU keliru artikan ankum kliennya
8 November 2022 15:50 WIB
Terdakwa kasus merintangi penyidikan atau 'obstruction of justice' pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nopriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J), Arif Rachman Arifin menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Jumat (28/10/2022). ANTARA FOTO/Reno Esnir/wsj
Jakarta (ANTARA) - Kuasa hukum terdakwa Arif Rachman, Junaedi Saibih, menyatakan jaksa penuntut umum keliru mengartikan atasan yang menghukum terkait penempatan khusus kliennya.
Hal itu disampaikam Junaedi merespons tanggapan JPU atas nota keberatan (eksepsi) dalam perkara perintangan penyidikan (obstruction of justice) kasus pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, Junaedi mengatakan tanggapan jaksa menyebut saksi Ferdy Sambo adalah atasan yang menghukum (ankum) atau atasan langsung dari terdakwa Arif Rachman Arifin yang juga sedang menjalani proses hukum sehingga pada saat terdakwa Arif Rachman Arifin dikeluarkan dari penempatan khusus, hal tersebut dapat dilaksanakan tanpa seizin ankum, yaitu saksi Ferdy Sambo.
Merespons dalil tersebut, Junaedi menilai jaksa telah salah dalam mengartikan ankum terkait penempatan khusus atau patsus.
Ia menjelaskan Arif Racman menjalani patsus atas perintah yang diterbitkan oleh Karowabprof Divisi Propam Polri Brigadir Jenderal Polisi Agus Widjajanto.
Kemudian, saat Arif Rachman mulai menjalani patsus pada 7 Agustus 2022, Irjen Polisi Syahardiantono menjabat Kadiv Propam menggantikan Ferdy Sambo. Adapun pelantikan Irjen Syahardiantono dilakukan pada 8 Agustus 2022.
Dengan demikian, proses hukum terhadap Arif Rahman dilakukan dengan cara tidak sah sebab Arif Rachman diperiksa saat tengah berada dalam patsus atau penempatan khusus. Selain itu, pemeriksaan Arif Rachman dilakukan tanpa izin dari ankum, yakni Kadiv Propam Irjen Syahardiantono.
"Jelas dalam hal ini JPU telah salah menjelaskan tentang ankum terkait patsus dan izin ankum yang dimaksud dalam UU Nomor 2 Tahun 2002," katanya menegaskan.
Selain itu, Junaedi menilai dalil jaksa yang menyebut Ferdy Sambo merupakan atasan Arif Rachman yang diberi kewenangan untuk menjatuhkan hukuman disiplin kepada bawahan yang dipimpinnya adalah kekeliruan. Hal itu karena atasan Arif Rachman telah beralih ke Irjen Syahardiantono.
Hal ini menyusul ditetapkannya Ferdy Sambo sebagai tersangka pembunuhan terhadap Yosua pada 9 Agustus 2022. Sedangkan Arif Racman diperiksa saat di patsus pada 16 Agustus 2022, yang artinya Irjen Syahardiantono telah menjadi ankum dari Arif Rachman.
Lebih lanjut, Junaedi menjelaskan prosedur untuk dilakukan tindakan Kepolisian seperti pemanggilan, pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka projustitia terhadap anggota Polri, dalam hal ini Arif Rachman sebagaimana diatribusikan dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 adalah syarat penting untuk sah tidaknya suatu penuntutan.
"Oleh karena izin ankum yang tak dimiliki penyidik dalam rangka tindakan kepolisian untuk kepentingan penuntutan maka secara mutatis mutandis segala hasil penyidikan sebagai dasar dibuat nya surat dakwaan menjadi gugur,” jelasnya.
Untuk itu, diungkapkan Junaedi, majelis hakim harus berani mendudukkan keadilan sebagaimana mestinya dengan menerima eksepsi atas alasan tersebut.
"Dan menyatakan surat dakwaan tidak dapat diterima serta berkas penuntutan dikembalikan ke JPU," ujarnya.
Sebagai informasi, Pengadilan Negeri Jakarta selatan pernah menerima eksepsi terdakwa Beddu Amang dalam kasus ruilslag buloggoro karena tindakan kepolisian terhadap Beddu Amang tidak sah dan dilakukan tanpa izin presiden sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 13 Tahun 1970, padahal saat itu beddu Amang adalah anggota MPR.
Hal ini dituangkan dalam putusannya dengan menyatakan eksepsi diterima, surat dakwaan tidak dapat diterima dan berkas penuntutan dikembalikan ke JPU.
Hal itu disampaikam Junaedi merespons tanggapan JPU atas nota keberatan (eksepsi) dalam perkara perintangan penyidikan (obstruction of justice) kasus pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, Junaedi mengatakan tanggapan jaksa menyebut saksi Ferdy Sambo adalah atasan yang menghukum (ankum) atau atasan langsung dari terdakwa Arif Rachman Arifin yang juga sedang menjalani proses hukum sehingga pada saat terdakwa Arif Rachman Arifin dikeluarkan dari penempatan khusus, hal tersebut dapat dilaksanakan tanpa seizin ankum, yaitu saksi Ferdy Sambo.
Merespons dalil tersebut, Junaedi menilai jaksa telah salah dalam mengartikan ankum terkait penempatan khusus atau patsus.
Ia menjelaskan Arif Racman menjalani patsus atas perintah yang diterbitkan oleh Karowabprof Divisi Propam Polri Brigadir Jenderal Polisi Agus Widjajanto.
Kemudian, saat Arif Rachman mulai menjalani patsus pada 7 Agustus 2022, Irjen Polisi Syahardiantono menjabat Kadiv Propam menggantikan Ferdy Sambo. Adapun pelantikan Irjen Syahardiantono dilakukan pada 8 Agustus 2022.
Dengan demikian, proses hukum terhadap Arif Rahman dilakukan dengan cara tidak sah sebab Arif Rachman diperiksa saat tengah berada dalam patsus atau penempatan khusus. Selain itu, pemeriksaan Arif Rachman dilakukan tanpa izin dari ankum, yakni Kadiv Propam Irjen Syahardiantono.
"Jelas dalam hal ini JPU telah salah menjelaskan tentang ankum terkait patsus dan izin ankum yang dimaksud dalam UU Nomor 2 Tahun 2002," katanya menegaskan.
Selain itu, Junaedi menilai dalil jaksa yang menyebut Ferdy Sambo merupakan atasan Arif Rachman yang diberi kewenangan untuk menjatuhkan hukuman disiplin kepada bawahan yang dipimpinnya adalah kekeliruan. Hal itu karena atasan Arif Rachman telah beralih ke Irjen Syahardiantono.
Hal ini menyusul ditetapkannya Ferdy Sambo sebagai tersangka pembunuhan terhadap Yosua pada 9 Agustus 2022. Sedangkan Arif Racman diperiksa saat di patsus pada 16 Agustus 2022, yang artinya Irjen Syahardiantono telah menjadi ankum dari Arif Rachman.
Lebih lanjut, Junaedi menjelaskan prosedur untuk dilakukan tindakan Kepolisian seperti pemanggilan, pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka projustitia terhadap anggota Polri, dalam hal ini Arif Rachman sebagaimana diatribusikan dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 adalah syarat penting untuk sah tidaknya suatu penuntutan.
"Oleh karena izin ankum yang tak dimiliki penyidik dalam rangka tindakan kepolisian untuk kepentingan penuntutan maka secara mutatis mutandis segala hasil penyidikan sebagai dasar dibuat nya surat dakwaan menjadi gugur,” jelasnya.
Untuk itu, diungkapkan Junaedi, majelis hakim harus berani mendudukkan keadilan sebagaimana mestinya dengan menerima eksepsi atas alasan tersebut.
"Dan menyatakan surat dakwaan tidak dapat diterima serta berkas penuntutan dikembalikan ke JPU," ujarnya.
Sebagai informasi, Pengadilan Negeri Jakarta selatan pernah menerima eksepsi terdakwa Beddu Amang dalam kasus ruilslag buloggoro karena tindakan kepolisian terhadap Beddu Amang tidak sah dan dilakukan tanpa izin presiden sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 13 Tahun 1970, padahal saat itu beddu Amang adalah anggota MPR.
Hal ini dituangkan dalam putusannya dengan menyatakan eksepsi diterima, surat dakwaan tidak dapat diterima dan berkas penuntutan dikembalikan ke JPU.
Pewarta: Fauzi
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2022
Tags: