Bondowoso (ANTARA) - Suatu siang, seorang pekerja muda, sebut saja namanya Hendra, dimarahi oleh atasannya karena dinilai ada yang kurang sempurna dalam pekerjaannya.

Kemudian, si atasan bertanya kepada Hendra, apakah dia juga marah atau tidak terima ketika dimarahi.

Dengan tegas si pekerja itu menjawab, "Tidak, Pak. Saya terima teguran Bapak".

Dalam hati, Hendra berkata bahwa dirinya sudah terbiasa dimarahi oleh "si bapak" saat masih kuliah. Hendra memang berangkat dari kondisi ekonomi orang tua yang pas-pasan. Jangankan kuliah, untuk menyelesaikan pendidikan SMA pun rasanya tidak mungkin.

Berkat jasa "si bapak" itulah akhirnya ia menjadi sarjana dan bekerja di sebuah perusahaan dan kini mampu membantu ekonomi keluarga. Ia diangkat anak dan dikuliahkan oleh si bapak hingga menyandang gelar sarjana, bahkan kini sambil kuliah di jenjang S-2.

Relasi Hendra dan si bapak angkat itu tentu sangat istimewa. Karena itu, dia tidak menaruh dendam pada si bapak, meskipun beberapa kali dimarahi. Ia menyadari bahwa kemarahan si bapak bertujuan mulia untuk mendidik dirinya.

Bagi orang lain, si bapak tidak memiliki makna apa-apa, tapi bagi Hendra, si bapak adalah pahlawan. Karena itu hatinya tidak pernah terluka meski si bapak beberapa kali marah padanya. Ia justru berterima kasih dengan kemarahan si bapak yang mengantarnya pada perubahan sikap untuk mengerjakan segala sesuatu dengan baik, meskipun tidak selalu sempurna.

Di tengah masyarakat, begitu banyak pahlawan tersembunyi seperti si bapak di atas. Ada seorang polisi berpangkat bintara yang rela mengurangi uang gajinya setiap bulan untuk mendidik anak-anak dari keluarga tidak mampu atau seorang prajurit TNI yang meluangkan waktu di sela-sela tugas untuk mengajar anak-anak di wilayah terpencil.

Bisa juga seorang abang becak yang membanting tulang setiap hari tanpa mengenal putus asa demi membiayai pendidikan anak-anaknya. Atau seorang ibu rumah tangga yang rela menjadi buruh cuci pakaian dan tempat makanan untuk membesarkan dan menyekolahkan anak-anaknya.

Di ladang-ladang atau sawah di perdesaan juga bertebaran pahlawan, tidak saja bagi anak-anaknya yang masa depannya diperjuangkan. Para petani itu juga pahlawan bagi kemanusiaan karena telah memenuhi kebutuhan makan masyarakat, entah siapa dan di mana. Berkat jasa petanilah, nasi terhidang di meja makan kita. Tentu jasa pahlawan para nelayan tidak boleh kita lupakan.

Sosok pahlawan bisa kita jumpai di sekolah-sekolah, di mana seorang guru yang meskipun belum diangkat sebagai aparatur sipil negara tetap menunjukkan kinerja luar biasa dalam mendidik anak. Atau guru-guru dengan status pegawai negeri sipil yang bekerja melebihi batas tugasnya, dengan mendampingi anak didik tidak saja di dalam kelas, tapi juga dalam mereka belajar menjalani kehidupan.

Sesekali perhatikan dengan hati jernih bagaimana seorang juru parkir bekerja mengatur kendaraan dan menjaganya dengan segenap tanggung jawab kendaraan yang dititipkan padanya itu aman. Di situ kita juga menemukan aroma nilai pahlawan, apalagi bagi keluarganya di rumah yang menunggu hasil menjaga kendaraan orang lain itu untuk dimakan.

Kalau pergi ke kantor-kantor pemerintah atau ke ruang-ruang wakil rakyat, di mana para pejabat, politikus, dan stafnya bekerja dengan penuh komitmen untuk melayani masyarakat yang membutuhkan layanan dari pemerintah, di situlah juga kita akan menemukan pahlawan.

Mereka yang layak kita maknai sebagai pahlawan itu adalah para politikus, pejabat, serta staf yang bekerja dengan hati dan pikiran lurus alias tidak tergoda untuk melakukan pungutan liar atau korupsi, meskipun peluang itu sangat terbuka. Dalam konteks religius, ia selalu berpuasa pada peluang-peluang ketidakbaikan yang tersaji di depannya.

Ada juga mereka yang berjiwa pahlawan itu berkecimpung dalam dunia hukum. Seperti Kamarudin Simanjuntak yang telah menjadi pahlawan bagi orang tua dan keluarga Brigadir Nofriyansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J. Kamarudin bisa juga menjadi pahlawan bagi polisi-polisi baik yang selama ini betul-betul bekerja untuk melayani dan melindungi, namun tergilas oleh perilaku polisi lain yang kemaruk alias rakus dengan harta.

Jangan lupa yang secara sosial memiliki derajat di masyarakat, di hatinya juga bermekaran bunga-bunga nilai pahlawan, seperti tukang angkut sampah yang jauh dari hiruk pikuk puja-puji.

Begitulah jiwa pahlawan itu bertaburan dalam sudut-sudut sejarah di Republik ini. Mereka bekerja dan berkarya tidak menghamba kepada jabatan dan uang. Mereka mengabdi demi kemaslahatan orang banyak dan masa depan bangsa yang lebih baik.

Mereka hanya berbeda bungkus dan kemasan, namun hakikatnya sama dengan para pejuang kemerdekaan yang jasadnya dimakamkan di taman makam pahlawan. Kalau pahlawan-pahlawan tersembunyi itu meninggal, ia tidak memerlukan taman makam pahlawan, karena jiwanya adalah taman indah penuh bunga, yang harumnya terus mengalir pada anak cucu pemilik negeri ini.

Mereka tidak memerlukan pengakuan atas jasa kebaikan yang telah ditanamkan untuk keberlangsungan republik ini menjadi lebih baik. Mereka hanya akan bahagia jika kebaikannya bisa beranak pinak dalam perjalanan sejarah selanjutnya dan diteruskan oleh anak cucunya kelak.

Kita banyak berutang budi pada mereka yang tersembunyi dari potret kebaikan dan perayaan sejarah itu. Utang budi itu akan terbayar jika kita menyirami taman bunga pahlawan yang mereka semai sesuai ladangnya masing-masing. Terima kasih para pahlawan tak bertanda jasa.






Editor: Achmad Zaenal M