Wasior (ANTARA) - Para korban dan keluarga korban tragedi Wasior Berdarah tahun 2001 di Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, menuntut perhatian dan pertanggungjawaban pemerintah atas penderitaan dan kerugian moril serta materiil yang mereka alami semenjak kasus pelanggaran HAM berat itu terjadi.

Tuntutan itu mereka sampaikan kepada Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang dibentuk Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD saat berkunjung ke Wasior selama beberapa hari terakhir.

Akademisi Universitas Papua Manokwari yang menjadi salah satu anggota Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Dr. Agus Sumule di Wasior, Sabtu, mengatakan para korban meminta negara memberikan kompensasi atas kerugian yang telah mereka alami.

Kompensasi itu berupa penggantian terhadap rumah-rumah yang dibakar pada peristiwa 21 tahun lalu itu, serta meminta agar anak dan cucu mereka diangkat menjadi PNS atau menjadi anggota TNI-Polri.

"Para korban dan keluarga korban juga minta ada pekerjaan bagi anak-anak mereka yang selama ini tidak bisa bersekolah sehingga tidak bisa memiliki ijazah," ujar Agus Sumule.

Selama berada di Wasior, tim yang dipimpin Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri melakukan audiensi dan wawancara secara langsung dengan sejumlah korban dan keluarga korban peristiwa Wasior Berdarah.

Pada Jumat (4/11), tim menggelar diskusi kelompok terarah (FGD) kasus pelanggaran HAM berat masa lalu peristiwa Wasior Berdarah dengan jajaran Pemkab Teluk Wondama bertempat di Aula Sasana Karya, kompleks Kantor Bupati Teluk Wondama di Isei.

FGD itu dihadiri Wakil Bupati Teluk Wondama Andarias Kayukatuy, Ketua DPRD Teluk Wondama Herman Sawasemariai, Kapolres Teluk Wondama AKBP Yohanes Agustiandaru serta Dandim 1811/Peradaban Teluk Wondama Letkol Inf. Saheri.

Selain itu, hadir juga Ketua Dewan Adat Daerah Wondama Adrian Worengga, Sekda Teluk Wondama Denni Simbar, para tokoh agama, serta tokoh pemerhati kasus Wasior Berdarah.

Agus Sumule menyebut para korban juga meminta pemerintah membayar denda adat dalam bentuk uang tunai atas kematian dan penderitaan fisik yang dialami warga setempat.

"Mereka juga meminta adanya jaminan pendidikan bagi anak-anak mereka, termasuk meminta penjelasan mengapa mereka menjadi sasaran operasi karena banyak di antara mereka sebenarnya tidak terlibat dan tidak tahu-menahu dengan peristiwa pembunuhan lima anggota Brimob serta hilangnya enam pucuk senjata api di Kampung Wondiboi yang menjadi pangkal terjadinya peristiwa kelam itu," jelas Agus yang kini menjabat Dekan Fakultas Pertanian Unipa.

Beberapa di antara para korban dan keluarga korban, meminta supaya proses yudisial tetap dilakukan.

Hasil pembicaraan dan wawancara dengan para korban dan keluarga korban telah mengonfirmasi atau membenarkan laporan yang telah dikeluarkan oleh Komnas HAM terkait peristiwa Wasior Berdarah.

"Dalam hal ini konfirmasi terhadap rangkaian peristiwa maupun data-data korban, tetapi dari pertemuan tersebut juga kami bisa menemukan beberapa data korban yang tidak ada dalam laporan Komnas HAM," papar Agus.

Wakil Bupati Teluk Wondama Andarias Kayukatuy mengharapkan temuan dan rekomendasi yang nantinya dikeluarkan tim dapat menjawab apa yang selama ini menjadi harapan terpendam dari para korban maupun keluarga korban peristiwa Wasior Berdarah.

"Selama ini sudah berulang kali tim dari LSM maupun dari lembaga pemerintah datang bertemu dengan para korban tapi tidak pernah ada tindak lanjut. Oleh karena itu, apa yang sedang dibuat oleh tim ini menjadi harapan kami semua terutama dari keluarga korban bisa terjawab," ujarnya.