Farmakolog molekular: Indonesia punya banyak biodiversitas untuk obat
4 November 2022 12:47 WIB
Farmakolog molekular sekaligus Director of Research & Business Development Dexa Group Prof Raymond Tjandrawinata di sela Pameran Inovasi Teknologi Farmasi dan Alkes Indonesia, di ICE BSD Tangerang, Jumat (4/11/2022). (ANTARA/Lia Wanadriani Santosa)
Tangerang (ANTARA) - Farmakolog molekuler Prof. Raymond Tjandrawinata mengatakan Indonesia memiliki banyak biodiversitas yang dapat diolah secara modern menjadi obat modern asli Indonesia.
"Indonesia banyak sekali biodiversitas yang bisa jadi obat. Kalau bisa diolah secara modern maka kita bisa punya obat modern ali Indonesia," ujar di sela Pameran Inovasi Teknologi Farmasi dan Alkes Indonesia, di ICE BSD Tangerang, Jumat.
Baca juga: BPOM: Optimalkan penemuan dan pengembangan obat bahan alam Indonesia
Raymond yang menjabat sebagai Director of Research & Business Development Dexa Group itu menuturkan, pasar fitofarmaka di Indonesia masih kecil dan kebanyakan bahan baku farmasi berasal dari impor.
Fitofarmaka merupakan obat yang berasal dari tanaman atau hewan dari Indonesia dan sudah dilakukan uji praklinis dan klinis oleh dokter Indonesia pada pasien Indonesia sehingga keamanannya sudah terbukti.
"Masalah di Indonesia adalah sebelum masuk ke fitofarmaka formularium pasar masih kecil, hanya dokter-dokter tertentu yang meresepkan. Ini belum masuk dalam formularium e-katalog nasional," kata dia.
Dia lalu meminta Kementerian Kesehatan untuk memasifkan penggunaan obat modern asli Indonesia di fasilitas pelayanan kesehatan, sehingga pemanfaatan obat asli Indonesia bisa lebih banyak di masyarakat.
Baca juga: T20: Green Pharmacy untuk arsitektur kesehatan global
"Sehingga tantangannya berkurang karena lebih banyak dokter meresepkan," ujar dia.
Selama ini, sambung Raymond, kebanyakan fitofarmaka diresepkan dokter terutama yang mempunyai basis uji klinik pada pasien-pasien di Indonesia. Fitofarmaka ini didasarkan pada bukti ilmiah sehingga walaupun obat herbal tetapi dibuat modern, seperti halnya produk yang dihasilkan perusahaan tempatnya bekerja.
Dia mencontohkan salah satu produk perusahaan yang menggunakan bahan cacing tanah untuk pasien stroke, serangan jantung. Menurut dia, perusahaan menggunakan molecular farmakologi dan uji klinis sehingga farmakolog mempercayai keamanan dan manfaat obat ini.
Sebelumnnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menargetkan sebanyak 50 persen obat dan alat kesehatan dapat diproduksi dalam negeri pada akhir tahun 2023. Dia mengatakan, ini sebagai implementasi dari pilar tiga transformasi sistem layanan kesehatan di Indonesia.
Menurut Menkes, dibutuhkan komitmen yang kuat tidak hanya dari pemerintah, namun juga dari pelaku sektor industri. Untuk itu pihaknya akan memberikan insentif bagi industri untuk dapat membangun vaksin dan alat kesehatan di dalam negeri.
Baca juga: Inovasi teknologi kunci Yiling Pharmaceutical majukan obat tradisional
Baca juga: BPOM dorong peningkatan kualitas-kuantitas obat herbal dan fitofarmaka
Baca juga: Obat atasi gangguan lambung berbahan kayu manis peroleh Fitofarmaka
"Indonesia banyak sekali biodiversitas yang bisa jadi obat. Kalau bisa diolah secara modern maka kita bisa punya obat modern ali Indonesia," ujar di sela Pameran Inovasi Teknologi Farmasi dan Alkes Indonesia, di ICE BSD Tangerang, Jumat.
Baca juga: BPOM: Optimalkan penemuan dan pengembangan obat bahan alam Indonesia
Raymond yang menjabat sebagai Director of Research & Business Development Dexa Group itu menuturkan, pasar fitofarmaka di Indonesia masih kecil dan kebanyakan bahan baku farmasi berasal dari impor.
Fitofarmaka merupakan obat yang berasal dari tanaman atau hewan dari Indonesia dan sudah dilakukan uji praklinis dan klinis oleh dokter Indonesia pada pasien Indonesia sehingga keamanannya sudah terbukti.
"Masalah di Indonesia adalah sebelum masuk ke fitofarmaka formularium pasar masih kecil, hanya dokter-dokter tertentu yang meresepkan. Ini belum masuk dalam formularium e-katalog nasional," kata dia.
Dia lalu meminta Kementerian Kesehatan untuk memasifkan penggunaan obat modern asli Indonesia di fasilitas pelayanan kesehatan, sehingga pemanfaatan obat asli Indonesia bisa lebih banyak di masyarakat.
Baca juga: T20: Green Pharmacy untuk arsitektur kesehatan global
"Sehingga tantangannya berkurang karena lebih banyak dokter meresepkan," ujar dia.
Selama ini, sambung Raymond, kebanyakan fitofarmaka diresepkan dokter terutama yang mempunyai basis uji klinik pada pasien-pasien di Indonesia. Fitofarmaka ini didasarkan pada bukti ilmiah sehingga walaupun obat herbal tetapi dibuat modern, seperti halnya produk yang dihasilkan perusahaan tempatnya bekerja.
Dia mencontohkan salah satu produk perusahaan yang menggunakan bahan cacing tanah untuk pasien stroke, serangan jantung. Menurut dia, perusahaan menggunakan molecular farmakologi dan uji klinis sehingga farmakolog mempercayai keamanan dan manfaat obat ini.
Sebelumnnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menargetkan sebanyak 50 persen obat dan alat kesehatan dapat diproduksi dalam negeri pada akhir tahun 2023. Dia mengatakan, ini sebagai implementasi dari pilar tiga transformasi sistem layanan kesehatan di Indonesia.
Menurut Menkes, dibutuhkan komitmen yang kuat tidak hanya dari pemerintah, namun juga dari pelaku sektor industri. Untuk itu pihaknya akan memberikan insentif bagi industri untuk dapat membangun vaksin dan alat kesehatan di dalam negeri.
Baca juga: Inovasi teknologi kunci Yiling Pharmaceutical majukan obat tradisional
Baca juga: BPOM dorong peningkatan kualitas-kuantitas obat herbal dan fitofarmaka
Baca juga: Obat atasi gangguan lambung berbahan kayu manis peroleh Fitofarmaka
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2022
Tags: