BKSAP: Mengubah perilaku menuju ekonomi hijau patut diperjuangkan
3 November 2022 15:51 WIB
Ilustrasi - Terumbu karang merupakan salah satu hal yang perlu untuk terus dilestarikan guna mewujudkan sektor kelautan dan perikanan yang berkelanjutan. (ANTARA/HO-Dok KKP)
Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Putu Supadma Rudana menilai mengubah perilaku dari ekonomi berbasis eksploitasi menuju ekonomi hijau berkelanjutan harus diperjuangkan semua negara.
Langkah itu, menurut Putu, untuk memberikan strategi penting dalam mengendalikan dampak perubahan iklim, melindungi keanekaragaman hayati, serta membuka peluang bagi pengembangan sosial dan ekonomi.
"Untuk tujuan ini, mengubah perilaku ekonomi kita dari ekonomi berbasis eksploitasi menuju ekonomi hijau berkelanjutan bisa menjadi strategi yang patut diperjuangkan," kata Putu dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Dia mengatakan saat ini dunia sedang menyaksikan efek dari perubahan iklim, seperti gelombang panas, kebakaran hutan, dan kekeringan berkepanjangan. Hal itu, menurut dia, menjadi salah satu pendorong utama terhadap kerusakan dan hilangnya keanekaragaman hayati, serta membahayakan lingkungan masyarakat.
Putu mengatakan Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan bahwa pendekatan ekonomi hijau dapat menghasilkan 24 juta lapangan pekerjaan baru di seluruh dunia pada 2030.
"Penelitian terkini menunjukkan bahwa transisi menuju ekonomi hijau dapat menghasilkan keuntungan ekonomi sebesar 26 triliun dolar AS pada 2030. Nilai itu jauh lebih besar jika dibandingkan dengan skenario bisnis seperti biasa," jelasnya.
Baca juga: Luhut yakin PDB Indonesia capai 3,5 triliun dolar dengan hilirisasi
Oleh karena itu, dia menilai anggota parlemen harus berada di garis depan untuk terus mengarusutamakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, serta memastikan tidak ada trade off antara kepentingan ekonomi, sosial, serta lingkungan.
Dia menilai dukungan dan kerja sama antarnegara di kawasan Asia-Pasifik sangat krusial, sehingga diperlukan kerja sama untuk memperkuat berbagai bidang terutama keuangan, investasi, alih teknologi, dan peningkatan kapasitas guna mempercepat transisi menuju ekonomi hijau.
"Kita semua sadar bahwa tidak ada negara yang dapat mengupayakan keanekaragaman hayati dan transisi ekonomi hijau dengan kekuatan sendiri, tanpa bantuan negara lain. Kami menyadari pentingnya pendanaan yang memadai," kata Putu.
Berbagai skema pembiayaan seperti green sukuk, yaitu obligasi syariah yang berkontribusi pada proyek-proyek pelestarian lingkungan, telah dijalankan.
Selain itu, lanjut Putu, Indonesia baru saja mengeluarkan dokumen Enhanced NDC (ENDC) yang telah meningkatkan pengurangan emisi karbon dari 29 persen menjadi 31,89 persen dengan kapasitas sendiri, serta dari 41 persen menjadi 43,20 persen dengan dukungan internasional.
"Target ini selanjutnya dapat mempercepat upaya menuju pencapaian net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat," katanya.
Baca juga: BRIN: Ekonomi hijau atasi tantangan sosial dan demografi
Putu, yang memimpin Grup Sub-Regional Asia Tenggara pada pertemuan Forum Parlemen Asia-Pasifik (APPF) ke 30 di Bangkok, Thailand, menjelaskan berbagai pengalaman Indonesia dalam transisi ekonomi berkelanjutan.
Dia menjelaskan Indonesia telah berusaha mempercepat penggunaan kendaraan listrik serta penambahan pembangunan stasiun pengisian baterai kendaraan listrik.
"Indonesia berkomitmen menerapkan Net-Sink Forestry and Other Land Uses (FOLU-Net sink) pada 2030, yaitu kondisi ketika tingkat penyerapan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan akan sama atau lebih tinggi dari tingkat emisi yang dikeluarkan," ujar Putu.
Indonesia juga menargetkan untuk menyelesaikan uji coba B40 pada Desember 2022, berupa campuran 40 persen bio-diesel berbasis minyak sawit dan 60 persen solar yang merupakan program upgrade B30.
Menurut Putu, sebagai negara dengan salah satu kawasan mangrove terbesar di dunia, Indonesia telah memulai rehabilitasi hutan mangrove untuk memulihkan 600.000 hektar lahan hingga tahun 2024.
Baca juga: Space20 perkuat penggunaan teknologi antariksa bagi ekonomi hijau-biru
Langkah itu, menurut Putu, untuk memberikan strategi penting dalam mengendalikan dampak perubahan iklim, melindungi keanekaragaman hayati, serta membuka peluang bagi pengembangan sosial dan ekonomi.
"Untuk tujuan ini, mengubah perilaku ekonomi kita dari ekonomi berbasis eksploitasi menuju ekonomi hijau berkelanjutan bisa menjadi strategi yang patut diperjuangkan," kata Putu dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Dia mengatakan saat ini dunia sedang menyaksikan efek dari perubahan iklim, seperti gelombang panas, kebakaran hutan, dan kekeringan berkepanjangan. Hal itu, menurut dia, menjadi salah satu pendorong utama terhadap kerusakan dan hilangnya keanekaragaman hayati, serta membahayakan lingkungan masyarakat.
Putu mengatakan Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan bahwa pendekatan ekonomi hijau dapat menghasilkan 24 juta lapangan pekerjaan baru di seluruh dunia pada 2030.
"Penelitian terkini menunjukkan bahwa transisi menuju ekonomi hijau dapat menghasilkan keuntungan ekonomi sebesar 26 triliun dolar AS pada 2030. Nilai itu jauh lebih besar jika dibandingkan dengan skenario bisnis seperti biasa," jelasnya.
Baca juga: Luhut yakin PDB Indonesia capai 3,5 triliun dolar dengan hilirisasi
Oleh karena itu, dia menilai anggota parlemen harus berada di garis depan untuk terus mengarusutamakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, serta memastikan tidak ada trade off antara kepentingan ekonomi, sosial, serta lingkungan.
Dia menilai dukungan dan kerja sama antarnegara di kawasan Asia-Pasifik sangat krusial, sehingga diperlukan kerja sama untuk memperkuat berbagai bidang terutama keuangan, investasi, alih teknologi, dan peningkatan kapasitas guna mempercepat transisi menuju ekonomi hijau.
"Kita semua sadar bahwa tidak ada negara yang dapat mengupayakan keanekaragaman hayati dan transisi ekonomi hijau dengan kekuatan sendiri, tanpa bantuan negara lain. Kami menyadari pentingnya pendanaan yang memadai," kata Putu.
Berbagai skema pembiayaan seperti green sukuk, yaitu obligasi syariah yang berkontribusi pada proyek-proyek pelestarian lingkungan, telah dijalankan.
Selain itu, lanjut Putu, Indonesia baru saja mengeluarkan dokumen Enhanced NDC (ENDC) yang telah meningkatkan pengurangan emisi karbon dari 29 persen menjadi 31,89 persen dengan kapasitas sendiri, serta dari 41 persen menjadi 43,20 persen dengan dukungan internasional.
"Target ini selanjutnya dapat mempercepat upaya menuju pencapaian net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat," katanya.
Baca juga: BRIN: Ekonomi hijau atasi tantangan sosial dan demografi
Putu, yang memimpin Grup Sub-Regional Asia Tenggara pada pertemuan Forum Parlemen Asia-Pasifik (APPF) ke 30 di Bangkok, Thailand, menjelaskan berbagai pengalaman Indonesia dalam transisi ekonomi berkelanjutan.
Dia menjelaskan Indonesia telah berusaha mempercepat penggunaan kendaraan listrik serta penambahan pembangunan stasiun pengisian baterai kendaraan listrik.
"Indonesia berkomitmen menerapkan Net-Sink Forestry and Other Land Uses (FOLU-Net sink) pada 2030, yaitu kondisi ketika tingkat penyerapan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan akan sama atau lebih tinggi dari tingkat emisi yang dikeluarkan," ujar Putu.
Indonesia juga menargetkan untuk menyelesaikan uji coba B40 pada Desember 2022, berupa campuran 40 persen bio-diesel berbasis minyak sawit dan 60 persen solar yang merupakan program upgrade B30.
Menurut Putu, sebagai negara dengan salah satu kawasan mangrove terbesar di dunia, Indonesia telah memulai rehabilitasi hutan mangrove untuk memulihkan 600.000 hektar lahan hingga tahun 2024.
Baca juga: Space20 perkuat penggunaan teknologi antariksa bagi ekonomi hijau-biru
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2022
Tags: