Surabaya (ANTARA) - Suasana rapat terbuka senat sebuah perguruan tinggi di Ponorogo, Jawa Timur, Sabtu (28/20) berbeda dengan suasana pada umumnya dalam sebuah prosesi wisuda sarjana sebuah perguruan tinggi.

Di awal sambutan, Ketua STKIP PGRI Ponorogo Dr Sutejo, MHum, yang juga budayawan itu menyampaikan pembuka dengan berterima kasih kepada berbagai pihak, termasuk Bupati Ponorogo Giri Suncoko.

Suasana menjadi lebih menyentuh rasa ketika di podium Sutejo membaca puisi berjudul "Bau anyir literasi negeriku".

Puisi itu banyak memberi pesan menyentuh untuk para wisudawan wisudawati dari perguruan tinggi yang merupakan calon guru. Meskipun ditujukan untuk para sarjana baru, agaknya puisi tersebut juga sangat tepat untuk menjadi bahan renungan mereka yang kini sudah menjadi guru.

Pada puisi itu, calon guru dan para guru diajak untuk memaknai kembali ajaran luhur dari Bapak pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara, dengan Tut Wuri Handayani.

Dalam falsafah Tut Wuri Handayani itu mencakup tiga hal, yakni "ing ngarso sung tulodho" (di depan memberi teladan), "ing madyo mangun karso" (di tengah memberi semangat) dan tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan).

Ajaran dengan tiga konsep dasar itu agaknya tidak akan pernah lekang oleh waktu dan selalu layak untuk dipedomani oleh semua insan pendidik di negeri ini.

Lewat falsafah itu Ki Hajar Dewantara mengingatkan para pendidik untuk selalu hadir bersama atau membersamai murid. Kehadiran itu tidak saja dalam pengertian secara fisik, melainkan juga melibatkan rasa dan jiwa, bahkan spiritual.

Posisi ing ngarso, ing madya dan tut wuri hanyalah perbedaan tempat yang mengharuskan guru memberi makna luhur bagi murid-muridnya, saat berada di manapun.

Dengan ketiga posisi bersama murid itu yang bukan hanya dalam pengertian fisik itu, maka jiwa, doa dan ajaran guru hendaknya selalu mengiringi murid di manapun dan kapanpun. Untuk itu guru dituntut memiliki komitmen dengan nurani sebagai penggeraknya.

Karena itu, tugas guru bukan selesai ketika sudah di luar ruang kelas. Ikatan kebersamaan itu bukan saja ketika guru dan murid masuk ke sekolah dari pukul 7 pagi hingga pukul 15 sore dan setelah itu ikatan jiwa terputus. Komitmen hati seorang guru haruslah 24 jam untuk para muridnya. Bahkan di saat-saat guru memasuki dunia hening menemui Tuhannya, murid juga dibawa serta.

Dunia guru adalah profesi yang menuntut totalitas dalam bertugas. Bukan sebaliknya, hanya "menghamba" pada bayaran atau gaji. Kalau saat ini pemerintah telah menunjukkan perhatian besar pada kesejahteraan guru, maka totalitas komitmen untuk mengantarkan murid menjadi manusia yang lebih berkualitas jiwa raganya itu harus lebih bagus lagi kualitas komitmennya.

Ketika saat ini semangat literasi digaungkan dimana-mana, maka, sebelum itu diterapkan pada siswa, guru harus berpegang pada ajaran sung tulodo dari Ki Hajar Dewantara tadi, yakni guru juga harus lebih rajin membaca.

Kalau si guru mengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia, misalnya, maka guru harus malu jika tidak pernah memiliki karya sastra. Guru jangan sampai menjadi "tukang suruh", sementara dirinya tidak mengerjakan.

Selain ketauladanan, hal penting yang diingatkan Sutejo lewat puisi itu adalah tugas guru untuk memanusiakan manusia, memanusiakan murid. Murid bukan benda pabrik yang dengan mudah dibentuk untuk menjadi sesuatu.

Murid adalah manusia dengan segala keunikan dan kekhasannya. Karena itu, prinsip membersamai hendaknya menjadi pegangan para guru. Hal ini menuntut peran guru untuk menjadi ayah atau ibu bagi murid. Bahkan, lebih dari itu, murid harus bisa menjadi "teman" yang nyaman bagi para muridnya.

Ditemui seusai memimpin acara wisuda, Sutejo mengaku sebetulnya dia sudah menyiapkan teks pidato untuk prosesi wisuda. Namun, di malam sebelum wisuda terbersit pikiran untuk menyampaikan pesan kepada wisudawan lewat sastra, yakni puisi.

Ia memilih puisi karena diyakini akan lebih menyentuh hati dan rasa. Sebagai dosen sekaligus sebagai ayah bagi para mahasiswa, ia ingin mereka setelah lulus dan menyandang gelar sarjana pendidikan (SPd), bekerja dengan sepenuh jiwa dan seluruh perilakunya selalu digerakkan oleh nurani.

Ilmu-ilmu bersifat teori yang mereka peroleh selama di kampus hendaknya diolah, kemudian dikombinasikan dengan realitas sosial di masyarakat, sehingga para murid lebih mudah menyerap makna-makna dalam setiap mata pelajaran.

Pada puisi itu, Sutejo yang dikenal sebagai budayawan dan sastrawan itu mengungkap kenyataan-kenyataan getir terkait dunia pendidikan. "Ooh, penggembala generasi negeriku. Akan ke mana arah dan orientasi dari kesejatian pendidikan kita? Sekolah dan perguruan tinggi memburu-buru peringkat," demikian salah satu bunyi puisinya.

Ia juga juga menyitir sejarah peran kaum muda di masa lalu. Kebudayaan dan kepemimpinan negeri ini dulu diwarnai oleh riak pergolakan kebangkitan oleh anak muda brilian, seperti HOS Cokroaminoto, Soekarno, Hatta, Bung Tomo, Muh Yamin, Tan Malaka, Sutan Syahrir, WR Supratman dan lainnya.

"Puluhan anak negeri dengan pikiran dan hati menyala, membakar dan mengobarkan harga dan jati diri bangsa. Sekarang pergi ke mana ruh-ruh kemulian leluhur itu?" kata Sutejo, dalam puisinya.

Aning Fitriani, salah satu wisudawan, mengatakan puisi yang disampaikan oleh dosennya itu sangat bermakna. Ia menjadi sadar mengenai kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi sebagai sarjana baru dalam praktik pendidikan nantinya, baik dari aspek moralitas maupun nilai-nilai sosial di masyarakat.