Banda Aceh (ANTARA) - Wali Nanggroe Aceh Tgk Malik Mahmud Al-Haytar menjajaki kerja sama heritage (warisan budaya) dengan Republik Tatarstan (negara bagian Rusia) karena mayoritas penduduk di daerah tersebut muslim dan banyak peninggalan sejarahnya.

"Dari yang saya perhatikan, historis Islam di Aceh sama umurnya dengan Republik Tatarstan," kata Tgk Malik Mahmud Al-Haytar dalam keterangannya di Banda Aceh, Senin (31/10).

Terkait dengan penjajakan kerja sama tersebut Tgk Malik Mahmud melakukan pertemuan dengan Ketua Komite Perlindungan Situs Warisan Budaya Republik Tatarstan Ivan Gushin Nikolayevich di Kazan.

Tgk Malik mengatakan bahwa negara bagian Rusia tersebut penduduknya mayoritas muslim dan memiliki peninggalan sejarah serta budaya yang masuk dalam daftar situs warisan dunia UNESCO sehingga menjadi salah satu pertimbangannya.

Dalam pertemuan tersebut, Tgk Malik ikut mengulas tentang sejarah Aceh, mulai masa kedatangan Portugis, Belanda, Jepang, konflik bersenjata dengan pemerintah RI, hingga bencana tsunami 2004, serta menjadi daerah dengan kekhususan dan keistimewaan.

Dengan sejarah panjang dan keanekaragaman budaya, menurut dia, Aceh sebenarnya memiliki banyak warisan sejarah dan kebudayaan. Namun, karena perang dan bencana tsunami, banyak dari warisan tersebut hancur dan hilang.

"Tatarstan sangat baik dalam menjaga heritage, kami ingin mempelajari bagaimana upaya-upaya pemerintah dan masyarakat di sini," ujarnya.

Wali Nanggroe mengakui bahwa Aceh masih kekurangan tenaga ahli dalam bidang perlindungan maupun restorasi heritage.

Oleh karena itu, dia menyampaikan keinginan untuk mengirimkan pelajar ke Tatarstan atau mengundang para ahli datang ke Aceh.

Baca juga: Wali Nanggroe Aceh bahas kerja sama penyelamatan harimau dengan Rusia
Baca juga: Partai Golkar sepakati kerja sama dengan Partai Rusia Bersatu


Dalam kesempatan itu, Ivan Gushin Nikolayevich mengatakan bahwa Tatarstan memiliki lebih dari 5.000 objek heritage, dan 3.000 di antaranya merupakan heritage arkeologi.

Melindungi dan merestorasi heritage yang ada, kata Ivan, pemerintah Tatarstan membentuk sebuah komite serta memiliki institut arkeologi dengan 60 orang ahli di bidang masing-masing.

"Sama seperti di Aceh, kami juga memiliki masa-masa sulit, yaitu pada saat Soviet Union dan perang dunia kedua. Kami kehilangan banyak sekali heritage bersejarah," kata Ivan.

Dalam upaya merestorasi situs-situs sejarah yang hancur, pemerintah Tatarstan memberlakukan aturan ketat. Hanya perusahaan yang telah memiliki lisensi boleh melakukan kegiatan restorasi.

"Sekitar 15 perusahaan yang memiliki lisensi restorasi. Tanpa lisensi ini, mereka tidak bisa melakukan kegiatan," ujarnya.

Pemerintah Tatarstan telah banyak melakukan restorasi situs-situs bersejarah, seperti masjid dan katedral.

Ivan mengakui proyek restorasi bukan pekerjaan mudah karena butuh banyak ahli dalam upaya tersebut. Oleh karena itu, negara tersebut punya sekolah khusus restorasi.

Terkait dengan rencana pengiriman pelajar dari Aceh ke Tatarstan, lanjut Ivan, tidak tertutup kemungkinan untuk kerja sama tersebut, termasuk mendatangkan para ahli dari Tatarstan ke Aceh.

"Ketika diundang, kami akan datang. Akan tetapi, harus direncanakan untuk dikumpulkan dokumen-dokumen terlebih dahulu," kata Ivan.

Dalam kunjungannya ke Rusia, Wali Nanggroe Aceh juga telah menjajaki kerja sama bidang pendidikan dengan Tatarstan, dan berencana untuk mengirimkan pelajar ke negara tersebut.