UI gelar konser puisi peringati Sumpah Pemuda
31 Oktober 2022 16:17 WIB
Konser puisi UI untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda yang bertajuk "Sumpah Pemuda dalam Karya dan Seni: Guru Besar dan Alumni Berpuisi". (ANTARA/Foto: Humas UI)
Depok (ANTARA) - Universitas Indonesia (UI) melalui Poetry Reading Society of Indonesia (PRSI) dan Poetry Reading and Writing Society of Indonesia (PRWSI) menyelenggarakan konser puisi untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda yang bertajuk "Sumpah Pemuda dalam Karya dan Seni: Guru Besar dan Alumni Berpuisi".
PRSI dan PRWSI merupakan suatu komunitas pembaca dan penulis puisi yang terdiri atas guru besar, dosen baik yang masih aktif maupun purnabakti, serta alumni UI.
"Melalui kegiatan ini dapat melihat bagaimana Stovia berperan penting dalam lahirnya Sumpah Pemuda, yang merupakan cikal bakal dari Universitas Indonesia dan bagaimana sejarah bangsa kita ke depan," kata Presiden PRSI dan PRWSI Prof. Dr. Ir. Riri Fitri Sari di Kampus UI Depok, Senin,
Menurut dia, Presiden Joko Widodo sudah membuka metaverse untuk Ibu Kota Negara (IKN) pada Hari Sumpah Pemuda. "Di lain sisi, kita juga perlu terus untuk memperjuangkan budaya bangsa dan memastikan bahwa ke depan rasa nasionalisme tetap bersemayam di dada setiap putra-putri Indonesia," katanya.
Baca juga: ILUNI dorong Sumpah Pemuda penggerak dalam mengatasi masalah bangsa
Sebanyak 30 pembaca puisi tampil dengan membawakan puisi hasil karya sendiri maupun karya penyair lain. Mereka terdiri atas sepuluh guru besar dari berbagai fakultas, dua dekan, mahasiswa, dan alumni UI.
Pembacaan puisi dibagi dalam lima topik, yaitu Pemudaku Pahlawanku, Satu Bangsa, Mana Sumpahmu, Berdiam Sepi, dan Kidung untuk Pemuda. Selain merayakan hari bersejarah, kegiatan ini juga sejalan dengan lima program Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM), yaitu Gerakan Indonesia Bersatu.
Sekretaris UI dr. Agustin Kusumayati mengatakan bahwa memperingati salah satu tonggak penting dari sejarah panjang perjuangan bangsa, yaitu terjadinya Sumpah Pemuda tentu saja tidak lepas dari kontemplasi panjang yang sama-sama dilakukan.
"Perjuangan panjang ini patut kita kenang untuk kemudian kita ambil sari pelajarannya sehingga kita bisa menatap ke depan apa yang harus kita lakukan dan agar perjuangan panjang ini tidak sia-sia," katanya.
Baca juga: Sumpah Pemuda dalam semangat bangun negeri dengan keberagaman
Dr. Agustin membawakan puisi berjudul “Gelombang Gelap” karya K.H. Mustofa Bisri. Ia mengatakan, puisi ini dipilih sesuai dengan gejolak perasaannya ketika mengenang Sumpah Pemuda yang menjadi tonggak bersejarah bagi Bangsa Indonesia.
Sebelum para pembaca puisi tampil, kegiatan diawali dengan orasi budaya bertema Literasi Puisi Membangun Negeri yang disampaikan oleh budayawan Mohamad Sobary.
Dalam orasinya Sobary membahas persoalan pembacaan realitas yang dilakukan oleh seorang penyair bernama Oktavio Paz yang merupakan penerima Penghargaan Nobel Kesusastraan pada tahun 1990.
Oktavio menyatakan kesedihannya menghadapi dunia, karena menurutnya ilmu pengetahuan dan teknologi itu bisu, buta, dan tuli yang tidak memiliki satu unsur dalam hidupnya untuk membagi.
Baca juga: Peringatan Sumpah Pemuda, UI gelar seni merawat keberagaman
"Keserakahan tidak ada batasnya, ekonomi tidak bisa membatasi keserakahan yang justru menambah keserakahan demi keserakahan. Ilmu sastra tidak berbicara tentang karakter manusia, namun sastralah yang 'teaching human being to speak the language of humanity'," katanya.
PRSI dan PRWSI merupakan suatu komunitas pembaca dan penulis puisi yang terdiri atas guru besar, dosen baik yang masih aktif maupun purnabakti, serta alumni UI.
"Melalui kegiatan ini dapat melihat bagaimana Stovia berperan penting dalam lahirnya Sumpah Pemuda, yang merupakan cikal bakal dari Universitas Indonesia dan bagaimana sejarah bangsa kita ke depan," kata Presiden PRSI dan PRWSI Prof. Dr. Ir. Riri Fitri Sari di Kampus UI Depok, Senin,
Menurut dia, Presiden Joko Widodo sudah membuka metaverse untuk Ibu Kota Negara (IKN) pada Hari Sumpah Pemuda. "Di lain sisi, kita juga perlu terus untuk memperjuangkan budaya bangsa dan memastikan bahwa ke depan rasa nasionalisme tetap bersemayam di dada setiap putra-putri Indonesia," katanya.
Baca juga: ILUNI dorong Sumpah Pemuda penggerak dalam mengatasi masalah bangsa
Sebanyak 30 pembaca puisi tampil dengan membawakan puisi hasil karya sendiri maupun karya penyair lain. Mereka terdiri atas sepuluh guru besar dari berbagai fakultas, dua dekan, mahasiswa, dan alumni UI.
Pembacaan puisi dibagi dalam lima topik, yaitu Pemudaku Pahlawanku, Satu Bangsa, Mana Sumpahmu, Berdiam Sepi, dan Kidung untuk Pemuda. Selain merayakan hari bersejarah, kegiatan ini juga sejalan dengan lima program Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM), yaitu Gerakan Indonesia Bersatu.
Sekretaris UI dr. Agustin Kusumayati mengatakan bahwa memperingati salah satu tonggak penting dari sejarah panjang perjuangan bangsa, yaitu terjadinya Sumpah Pemuda tentu saja tidak lepas dari kontemplasi panjang yang sama-sama dilakukan.
"Perjuangan panjang ini patut kita kenang untuk kemudian kita ambil sari pelajarannya sehingga kita bisa menatap ke depan apa yang harus kita lakukan dan agar perjuangan panjang ini tidak sia-sia," katanya.
Baca juga: Sumpah Pemuda dalam semangat bangun negeri dengan keberagaman
Dr. Agustin membawakan puisi berjudul “Gelombang Gelap” karya K.H. Mustofa Bisri. Ia mengatakan, puisi ini dipilih sesuai dengan gejolak perasaannya ketika mengenang Sumpah Pemuda yang menjadi tonggak bersejarah bagi Bangsa Indonesia.
Sebelum para pembaca puisi tampil, kegiatan diawali dengan orasi budaya bertema Literasi Puisi Membangun Negeri yang disampaikan oleh budayawan Mohamad Sobary.
Dalam orasinya Sobary membahas persoalan pembacaan realitas yang dilakukan oleh seorang penyair bernama Oktavio Paz yang merupakan penerima Penghargaan Nobel Kesusastraan pada tahun 1990.
Oktavio menyatakan kesedihannya menghadapi dunia, karena menurutnya ilmu pengetahuan dan teknologi itu bisu, buta, dan tuli yang tidak memiliki satu unsur dalam hidupnya untuk membagi.
Baca juga: Peringatan Sumpah Pemuda, UI gelar seni merawat keberagaman
"Keserakahan tidak ada batasnya, ekonomi tidak bisa membatasi keserakahan yang justru menambah keserakahan demi keserakahan. Ilmu sastra tidak berbicara tentang karakter manusia, namun sastralah yang 'teaching human being to speak the language of humanity'," katanya.
Pewarta: Feru Lantara
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2022
Tags: