Komnas Perempuan: Kekerasan seksual berbasis elektronik naik drastis
28 Oktober 2022 10:26 WIB
Tangkapan layar - Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Andy Yentriyani memberikan paparan soal kekerasan seksual berbasis elektronik di Jakarta, Jumat (28/10/2022). (ANTARA/Muhammad Zulfikar)
Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan Andy Yentriyani menilai kepastian adanya peraturan lebih baik soal kekerasan seksual berbasis elektronik merupakan hal mendesak.
"Berdasarkan laporan yang ada, kekerasan seksual berbasis elektronik ini meningkat luar biasa drastis," kata Andy Yentriyani dalam acara peluncuran produk Belajar Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Siber di Mancanegara di Jakarta, Jumat.
Komnas Perempuan menghimpun data selama periode 2017-2021 dan mencatat kenaikan kasus kekerasan seksual berbasis elektronik sudah mencapai 108 kali lipat. Data tersebut tidak termasuk kasus yang dilaporkan ke Komnas Perempuan.
"Angka-angka tersebut jelas menunjukkan ruang siber kita masih belum menjadi ranah yang aman," kata Andy.
Baca juga: Komnas Perempuan hadapi tantangan peningkatan laporan kasus kekerasan
Selain itu, pengaturan yang lebih baik tentang kekerasan seksual berbasis elektronik dalam Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) juga diperlukan. Sebab, menurut dia, pengaturan tentang kejahatan atau kekerasan seksual belum mencukupi sebelum lahirnya UU TPKS.
Bahkan, lanjut Andy, keadaannya berpotensi mengkriminalisasi perempuan seperti dalam penggunaan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) maupun UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Dengan UU TPKS, Komnas Perempuan menilai perlu terus mengembangkan ilmu pengetahuan tentang kekerasan seksual berbasis elektronik.
Menindaklanjuti langkah-langkah pengembangan pengetahuan sebelumnya, Komnas Perempuan menggali berbagai bentuk kekerasan seksual dari sarana elektronik berdasarkan pengalaman di berbagai negara. Hal itu meliputi mekanisme pencegahan sampai dengan bentuk-bentuk pemulihan bagi korban.
Untuk tahap awal, Komnas Perempuan memulai studi kasus di enam negara, yaitu Jerman, Korea Selatan, Inggris, India, Australia, dan Filipina. Pemilihan keenam negara itu didasarkan pada pertimbangan kasus, penanganan kasus, pencegahan kasus, hingga implementasi terhadap korban.
Baca juga: Andy Yentriyani: Komnas Perempuan terus bekerja di tengah keterbatasan
"Berdasarkan laporan yang ada, kekerasan seksual berbasis elektronik ini meningkat luar biasa drastis," kata Andy Yentriyani dalam acara peluncuran produk Belajar Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Siber di Mancanegara di Jakarta, Jumat.
Komnas Perempuan menghimpun data selama periode 2017-2021 dan mencatat kenaikan kasus kekerasan seksual berbasis elektronik sudah mencapai 108 kali lipat. Data tersebut tidak termasuk kasus yang dilaporkan ke Komnas Perempuan.
"Angka-angka tersebut jelas menunjukkan ruang siber kita masih belum menjadi ranah yang aman," kata Andy.
Baca juga: Komnas Perempuan hadapi tantangan peningkatan laporan kasus kekerasan
Selain itu, pengaturan yang lebih baik tentang kekerasan seksual berbasis elektronik dalam Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) juga diperlukan. Sebab, menurut dia, pengaturan tentang kejahatan atau kekerasan seksual belum mencukupi sebelum lahirnya UU TPKS.
Bahkan, lanjut Andy, keadaannya berpotensi mengkriminalisasi perempuan seperti dalam penggunaan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) maupun UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Dengan UU TPKS, Komnas Perempuan menilai perlu terus mengembangkan ilmu pengetahuan tentang kekerasan seksual berbasis elektronik.
Menindaklanjuti langkah-langkah pengembangan pengetahuan sebelumnya, Komnas Perempuan menggali berbagai bentuk kekerasan seksual dari sarana elektronik berdasarkan pengalaman di berbagai negara. Hal itu meliputi mekanisme pencegahan sampai dengan bentuk-bentuk pemulihan bagi korban.
Untuk tahap awal, Komnas Perempuan memulai studi kasus di enam negara, yaitu Jerman, Korea Selatan, Inggris, India, Australia, dan Filipina. Pemilihan keenam negara itu didasarkan pada pertimbangan kasus, penanganan kasus, pencegahan kasus, hingga implementasi terhadap korban.
Baca juga: Andy Yentriyani: Komnas Perempuan terus bekerja di tengah keterbatasan
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Fransiska Ninditya
Copyright © ANTARA 2022
Tags: