Ekonom: Momentum pertumbuhan harus dijaga agar tidak resesi
27 Oktober 2022 18:26 WIB
Suasana kawasan padat penduduk dan gedung bertingkat di Jakarta, Minggu (2/10/2022). Bank Indonesia menyatakan optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2022 akan mencapai 5,5 persen, lebih besar dibandingkan kuartal II-2022 yang hanya sebesar 5,4 persen. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/nym/aa.
Jakarta (ANTARA) - Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati menyatakan mempertahankan dan menjaga momentum pemulihan sekaligus pertumbuhan ekonomi menjadi langkah penting agar Indonesia tidak mengalami resesi.
“Yang penting bagaimana mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi. Mudah-mudahan hanya slowing down, turun sedikit tetapi tidak sampai resesi,” katanya dalam diskusi The Indonesian Institute di Jakarta, Kamis.
Nina menjelaskan jika global mengalami resesi maka tekanan terhadap Indonesia akan masuk dalam beberapa jalur yaitu dari mitra dagang, harga komoditas global, pertumbuhan ekonomi, inflasi, tenaga kerja dan sosial ekonomi.
Ia menjelaskan sejauh ini ekonomi dari beberapa mitra dagang utama Indonesia masih mengalami pertumbuhan pada kuartal II-2022 seperti Tiongkok 0,4 persen, Amerika Serikat 1,6 persen, Korea Selatan 2,9 persen, Singapura 4,8 persen, Vietnam 7,7 persen, Taiwan 3,1 persen dan Uni Eropa 4 persen.
Nina menuturkan salah satu momentum positif yang harus tetap dipertahankan Indonesia adalah neraca perdagangan yang surplus selama 29 kuartal seperti pada kuartal II-2022 surplus 15,55 miliar dolar AS.
Baca juga: Ekonom: Maksimalkan teknologi sektor keuangan guna tingkatkan inklusi
Ia menegaskan surplus neraca perdagangan ini harus bisa dipertahankan hingga akhir tahun mengingat pada tahun depan terdapat potensi beberapa harga komoditas mengalami tekanan.
Menurut dia, neraca perdagangan Indonesia surplus karena beberapa harga komoditas andalan Indonesia mengalami kenaikan namun belum tentu hal ini terjadi pada tahun depan.
“Harga-harga tampaknya mulai menurun jadi mengkhawatirkan. Jadi indeks harga komoditas global tahun depan tidak sebaik sekarang,” ujar Nina.
Meski demikian, Nina optimistis Indonesia tidak akan mengalami resesi, meski akan tetap terdampak dari resesi global seperti dari sisi inflasi yang tinggi.
Sebelumnya, inflasi Indonesia diperkirakan tinggi pada 2023 karena harga-harga komoditas yang diimpor Indonesia mengalami kenaikan khususnya energi dan makanan.
“(Impor) makanan seandainya kita bisa merapikan swasembada kita maka kita tidak akan tergantung. Energi agak repot karena kita masih impor banyak,” jelasnya.
Baca juga: Ekonom nilai investasi perlu diarahkan ke sektor padat karya
Baca juga: Ekonom sebut perlu hati-hati dalam tentukan kebijakan fiskal di 2023
“Yang penting bagaimana mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi. Mudah-mudahan hanya slowing down, turun sedikit tetapi tidak sampai resesi,” katanya dalam diskusi The Indonesian Institute di Jakarta, Kamis.
Nina menjelaskan jika global mengalami resesi maka tekanan terhadap Indonesia akan masuk dalam beberapa jalur yaitu dari mitra dagang, harga komoditas global, pertumbuhan ekonomi, inflasi, tenaga kerja dan sosial ekonomi.
Ia menjelaskan sejauh ini ekonomi dari beberapa mitra dagang utama Indonesia masih mengalami pertumbuhan pada kuartal II-2022 seperti Tiongkok 0,4 persen, Amerika Serikat 1,6 persen, Korea Selatan 2,9 persen, Singapura 4,8 persen, Vietnam 7,7 persen, Taiwan 3,1 persen dan Uni Eropa 4 persen.
Nina menuturkan salah satu momentum positif yang harus tetap dipertahankan Indonesia adalah neraca perdagangan yang surplus selama 29 kuartal seperti pada kuartal II-2022 surplus 15,55 miliar dolar AS.
Baca juga: Ekonom: Maksimalkan teknologi sektor keuangan guna tingkatkan inklusi
Ia menegaskan surplus neraca perdagangan ini harus bisa dipertahankan hingga akhir tahun mengingat pada tahun depan terdapat potensi beberapa harga komoditas mengalami tekanan.
Menurut dia, neraca perdagangan Indonesia surplus karena beberapa harga komoditas andalan Indonesia mengalami kenaikan namun belum tentu hal ini terjadi pada tahun depan.
“Harga-harga tampaknya mulai menurun jadi mengkhawatirkan. Jadi indeks harga komoditas global tahun depan tidak sebaik sekarang,” ujar Nina.
Meski demikian, Nina optimistis Indonesia tidak akan mengalami resesi, meski akan tetap terdampak dari resesi global seperti dari sisi inflasi yang tinggi.
Sebelumnya, inflasi Indonesia diperkirakan tinggi pada 2023 karena harga-harga komoditas yang diimpor Indonesia mengalami kenaikan khususnya energi dan makanan.
“(Impor) makanan seandainya kita bisa merapikan swasembada kita maka kita tidak akan tergantung. Energi agak repot karena kita masih impor banyak,” jelasnya.
Baca juga: Ekonom nilai investasi perlu diarahkan ke sektor padat karya
Baca juga: Ekonom sebut perlu hati-hati dalam tentukan kebijakan fiskal di 2023
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2022
Tags: