Jakarta (ANTARA) - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memandang skema power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik dalam RUU Energi Baru Terbarukan membuka ruang liberalisasi sektor ketenagalistrikan nasional yang dapat mengganggu kesehatan keuangan negara.

Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Indef Abra Talattov mengatakan dalih percepatan transisi energi melalui skema power wheeling mengkhianati mandat konstitusi karena sektor ketenagalistrikan adalah sektor strategis yang harus dikendalikan oleh negara.

"Saya kira dalih percepatan transisi energi melalui skema power wheeling sangat tidak masuk akal dan aroma liberalisasinya sangat menyengat," ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Kamis.

Abra memaparkan ada tiga alasan mengapa publik perlu mencermati pasal-pasal yang mencantumkan skema power wheeling dalam RUU Energi Baru Terbarukan tersebut, yakni pasal 29 A, pasal 47 A, dan pasal 60 ayat 5.

Alasan pertama, tidak ada urgensi sama sekali untuk menjadikan skema power wheeling sebagai pemanis dalam menstimulasi porsi pembangkit energi baru terbarukan.

Abra menjelaskan bahwa tanpa adanya pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik, pemerintah sebetulnya sudah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran setrum bersih sebagaimana yang dijaminkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.

Dalam RUPTL itu, target tambahan pembangkit energi baru terbarukan mencapai 20,9 gigawatt dengan porsi swasta mencapai 56,3 persen atau setara dengan 11,8 gigawatt.

"Artinya, dengan menjalankan RUPTL 2021-2030 secara konsisten saja, secara alamiah bauran pembangkit energi baru terbarukan hingga akhir 2030 akan mencapai 51,6 persen," jelasnya.

Alasan kedua, pengusulan skema power wheeling kurang relevan mengingat saat ini beban negara semakin berat menahan kompensasi listrik akibat kondisi kelebihan pasokan listrik yang terus melonjak.

Abra menuturkan saat ini kondisi sektor ketenagalistrikan Indonesia mengalami kondisi disparitas yang lebar antara penawaran dan permintaan listrik, sehingga diproyeksikan kelebihan pasokan atau oversupply listrik tahun ini akan menyentuh enam sampai tujuh gigawatt.

"Situasi oversupply listrik tersebut berpotensi makin membengkak karena masih adanya penambahan pembangkit baru hingga 16,3 gigawatt pada 2026 sebagai implikasi dari megaproyek 35 gigawatt," terangnya.

Alasan ketiga, implikasi kerusakannya terhadap kesehatan keuangan negara. Di tengah kondisi kelebihan pasokan listrik sebesar satu gigawatt saja, lanjutnya, biaya yang harus dikeluarkan negara melalui PLN atas konsekuensi skema take or pay bisa mencapai Rp3 triliun per gigawatt.

"Secara sederhana kalau kita asumsikan rata-rata oversupply listrik sebesar enam sampai tujuh gigawatt per tahun, maka potensi oversupply selama 2022-2030 mencapai 48 gigawatt sampai 56 gigawatt atau setara dengan tambahan biaya Rp144 triliun sampai Rp168 triliun," pungkas Abra.

Baca juga: Ekonom UGM: Skema 'power wheeling' bentuk liberalisasi kelistrikan
Baca juga: Skema 'power wheeling' bisa menambah beban negara
Baca juga: Kadin minta dukungan regulasi untuk transisi energi di industri