Semarang (ANTARA) - Salah satu dari ketiga ikrar Sumpah Pemuda berbunyi: "Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia."

Sublema menjunjung dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidak hanya bermakna membawa di atas kepala, tetapi juga berarti menaati.

Di sinilah pentingnya peran pers dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam produk jurnalistiknya, baik berupa tulisan, foto, video, maupun audio.

Dalam membuat produk, insan pers tidak sekadar menghasilkan karya yang berisi informasi aktual, faktual, penting, dan menarik serta bahasa komunikatif, tetapi ikut pula membangkitkan semangat kebangsaan sekaligus menambah khazanah bahasa.

Oleh karena itu, bahasa jurnalistik harus tunduk pada kaidah bahasa yang telah dibakukan: kaidah tata bahasa, kaidah ejaan, dan tanda baca.

Untuk mengetahui apakah penggunaan tanda baca sesuai dengan kaidah atau tidak, bisa klik tautan ejaan.kemdikbud.go.id.

Begitu pula, ketika akan mengetahui penulisan sebuah kata atau istilah baku atau tidak baku, pengguna bahasa Indonesia dapat mengakses laman kbbi.kemdikbud.go.id.

Dengan demikian, penggunaan kata atau istilah dalam bahasa jurnalistik maknanya sama dengan yang ditetapkan di dalam kamus.

Pemakai bahasa jurnalistik haruslah efektif, tidak menggunakan kalimat yang bertele-tele, tetapi juga tidak terlalu hemat dengan kata sehingga makna menjadi tidak jelas.

Kendati produk jurnalistik memuat unsur-unsur 5W+1H (what [apa], who [siapa], where [di mana], when [kapan], why [mengapa], dan how [bagaimana]), tidak harus menggunakan kalimat tunggal, bisa pula menggunakan kalimat majemuk.

Oleh karena itu, insan pers dituntut mahir berbahasa Indonesia agar karyanya ada muatan plus atau tidak sekadar mudah dipahami (komunikatif) oleh pembaca.

Setidaknya ketika publik membaca berita, mereka akan tahu bahwa produk jurnalistik itu betul-betul memperhatikan komponen struktur kalimat, yaitu subjek, predikat, objek, dan keterangan (SPOK).

Masyarakat (pembaca) akan tahu bahwa karya insan pers taat asas dalam berbahasa Indonesia, baik kaidah ejaan maupun SPOK-nya. Hal ini termasuk penggunaan kalimat tunggal dan kalimat majemuk serta kalimat aktif dan kalimat pasif.

Misalnya, membuat kalimat pasif. Tata cara pemasifan ini sudah termaktub dalam Buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi III halaman 345 yang diterbitkan oleh Balai Pustaka Jakarta pada tahun 2003.

Ada dua cara yang disampaikan oleh Hasan Alwi dkk. dalam buku tersebut, yaitu:

Pemasifan dengan cara pertama ini umumnya digunakan jika subjek kalimat aktif berupa kata benda (nomina) atau frasa nominal. Adapun caranya: pertukarkanlah S (subjek) dengan O (objek), gantilah prefiks meng- dengan di- pada P (predikat), lalu tambahkan kata oleh di muka unsur yang tadinya S.

Cara kedua adalah subjeknya berupa kata ganti (pronomina), yaitu pindahkan O ke awal kalimat, tanggalkan prefiks meng- pada P, kemudian pindahkan S ke tempat yang tepat sebelum verba (kata kerja).

Namun, patut mendapat perhatian khusus bagi pengguna bahasa Indonesia ketika akan mengubah kalimat aktif transitif (kata kerja yang memerlukan objek) yang mengandung kata seperti "ingin" atau "mau" cenderung menimbulkan pergeseran makna.

Contoh kalimat:

Tiga partai politik peserta Pemilu 2024 "ingin" mencalonkan si Fulan sebagai Presiden.

Pada kalimat aktif ini jelas bahwa yang ingin mencalonkan adalah tiga partai politik peserta Pemilu 2024.

Si Fulan ingin dicalonkan sebagai Presiden RI oleh tiga partai politik peserta Pemilu 2024.

Apabila mengubah kalimat aktif itu menjadi kalimat pasif seperti di atas, orang cenderung menafsirkan bahwa yang menginginkan adalah si Fulan dan bukan tiga partai politik peserta Pemilu 2024.

Dijelaskan pula dalam Buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia bahwa tafsiran makna kalimat pasif yang berbeda dengan makna padanan kalimat aktif itu timbul karena kodrat kata "ingin" yang cenderung dikaitkan dengan unsur di sebelah kiri yang mendahuluinya.

Di sisi lain, seorang jurnalis juga dituntut mahir dalam penggunaan tanda baca dalam kalimat berita. Ambil contoh penggunaan tanda baca koma, sebagaimana ketentuan di dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) Edisi Kelima.

Setidaknya tahu bahwa tanda koma digunakan sebelum kata penghubung, seperti "tetapi", "melainkan", dan "sedangkan", dalam kalimat majemuk pertentangan.

Selain itu, tanda koma ini untuk memisahkan anak kalimat yang mendahului induk kalimat dalam kalimat majemuk bertingkat.

Kalimat ini terdiri atas induk kalimat dan anak kalimat (keterangan). Dalam hal ini, induk kalimat dapat berdiri sebagai kalimat mandiri, sedangkan anak kalimat tidak dapat berdiri sebagai kalimat tanpa induk kalimat.

Namun, sering kali ada kalimat yang tanpa induk kalimat karena terdapat dua konjungsi (kata penghubung) dalam kalimat tersebut, seperti contoh kalimat di bawah ini.

"Meski" pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden mulai 19 Oktober 2023 hingga 25 November 2023, "namun" tiga partai politik pada bulan Oktober 2022 mendeklarasikan si Fulan sebagai calon presiden pada Pemilu 2024.

Pemakaian dua konjungsi (meski dan namun) pada kalimat di atas menyebabkan ketaksaan. Jika memilih menggunakan kalimat majemuk setara, kalimat itu harus menggunakan konjungsi "namun" saja. Sebaliknya, bila masih mempertahankan konjungsi "meski", kalimat di atas menjadi kalimat majemuk bertingkat.

Contoh kalimat majemuk bertingkat dengan posisi induk kalimat di awal kalimat sebagai berikut.

Tiga partai politik pada bulan Oktober 2022 mendeklarasikan si Fulan sebagai calon presiden pada Pemilu 2024 "meski" pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden mulai 19 Oktober 2023 hingga 25 November 2023.

Berikut contoh kalimat majemuk bertingkat dengan posisi anak kalimat di awal kalimat dengan ditandai oleh konjungsi "meski".

"Meski" pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden mulai 19 Oktober 2023 hingga 25 November 2023, tiga partai politik pada bulan Oktober 2022 mendeklarasikan si Fulan sebagai calon presiden pada Pemilu 2024.

Insan pers dengan kemahiran berbahasa Indonesia seyogianya berada di garda depan, apalagi bangsa ini mempunyai cita-cita yang mulia, ingin menjadikan bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional (vide: Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, Pasal 44).