Ekonom sebut perlu hati-hati dalam tentukan kebijakan fiskal di 2023
24 Oktober 2022 21:38 WIB
Ilustrasi - Deretan bendera Merah Putih dengan latar belakang gedung bertingkat di Jakarta, Kamis (11/8/2022). Kementerian Keuangan meyakini pertumbuhan ekonomi Indonesia bakal semakin menguat hingga akhir tahun 2022 yang terbukti dari pendapatan nasional Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) tetap menguat sebesar 5,44 persen pada kuartal II 2022 secara year on year (yoy) meski diperhadapkan oleh ketidakpastian dan tren perlambatan ekonomi global. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/tom. (ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA)
Jakarta (ANTARA) - Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengingatkan perlunya berhati-hati dalam menentukan kebijakan fiskal di 2023, agar Indonesia siap menghadapi ancaman resesi di tingkat global sekaligus dapat menjaga inflasi.
Menurut dia, antisipasi tersebut penting mengingat Indonesia menargetkan defisit dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah kembali di bawah 3 persen PDB pada 2023 nanti.
"Ancaman resesi global semestinya disikapi dengan kebijakan fiskal yang lebih berhati-hati dalam hal melakukan normalisasi kebijakan di tahun 2023," kata Faisal saat dihubungi oleh Antara di Jakarta, Senin.
Ia menilai pelaksanaan kebijakan fiskal harus dilakukan secara hati-hati agar tidak mengganggu kegiatan perekonomian dalam negeri dan mampu memperkuat daya tahan masyarakat terhadap krisis.
"Semestinya dalam kondisi dimana ada ancaman tekanan global, kebijakan fiskal mestinya menjadi tameng supaya resesi itu tidak menular ke dalam negeri, sebagai shock absorber istilahnya," kata Faisal.
Baca juga: Sri Mulyani yakini instrumen fiskal jadi bantalan pada 2023
Salah satu contoh kebijakan fiskal yang bisa diterapkan, misalnya menggunakan skala prioritas dalam melepaskan insentif atau mengurangi insentif, dengan mempertimbangkan dampak lanjutan kepada sektor perpajakan.
"Seperti mengurangi insentif terhadap sektor yang relatif lebih kuat," kata Faisal.
Selain itu, menurut dia, pengendalian inflasi juga perlu dilakukan berkoordinasi dengan pemangku kepentingan terkait mengingat kebijakan yang kontraproduktif dapat menjadi boomerang atau justru mendorong inflasi.
"Seperti kemarin melepaskan subsidi atau tidak menaikkan harga BBM bersubsidi, ini kan justru mendorong inflasi. Jangan ada kebijakan yang sama seperti itu, karena akan lebih menekan masyarakat menengah ke bawah, justru malah meningkatkan kemiskinan," kata Faisal.
Selanjutnya, ia mengingatkan perlu adanya upaya mendorong efisiensi dan mengurangi kebocoran yang terjadi dalam pembelanjaan anggaran pemerintah, agar pelaksanaan belanja menjadi lebih efisien dan tepat sasaran.
"Jadi jangan mengalokasikan dana yang besar tapi efektivitasnya rendah, karena banyak tidak efisien dalam implementasinya," kata Faisal.
Baca juga: Sri Mulyani fokus tingkatkan produktivitas perekonomian pada 2023
Baca juga: Sri Mulyani sebut APBN instrumen turunkan angka kemiskinan 2023
Menurut dia, antisipasi tersebut penting mengingat Indonesia menargetkan defisit dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah kembali di bawah 3 persen PDB pada 2023 nanti.
"Ancaman resesi global semestinya disikapi dengan kebijakan fiskal yang lebih berhati-hati dalam hal melakukan normalisasi kebijakan di tahun 2023," kata Faisal saat dihubungi oleh Antara di Jakarta, Senin.
Ia menilai pelaksanaan kebijakan fiskal harus dilakukan secara hati-hati agar tidak mengganggu kegiatan perekonomian dalam negeri dan mampu memperkuat daya tahan masyarakat terhadap krisis.
"Semestinya dalam kondisi dimana ada ancaman tekanan global, kebijakan fiskal mestinya menjadi tameng supaya resesi itu tidak menular ke dalam negeri, sebagai shock absorber istilahnya," kata Faisal.
Baca juga: Sri Mulyani yakini instrumen fiskal jadi bantalan pada 2023
Salah satu contoh kebijakan fiskal yang bisa diterapkan, misalnya menggunakan skala prioritas dalam melepaskan insentif atau mengurangi insentif, dengan mempertimbangkan dampak lanjutan kepada sektor perpajakan.
"Seperti mengurangi insentif terhadap sektor yang relatif lebih kuat," kata Faisal.
Selain itu, menurut dia, pengendalian inflasi juga perlu dilakukan berkoordinasi dengan pemangku kepentingan terkait mengingat kebijakan yang kontraproduktif dapat menjadi boomerang atau justru mendorong inflasi.
"Seperti kemarin melepaskan subsidi atau tidak menaikkan harga BBM bersubsidi, ini kan justru mendorong inflasi. Jangan ada kebijakan yang sama seperti itu, karena akan lebih menekan masyarakat menengah ke bawah, justru malah meningkatkan kemiskinan," kata Faisal.
Selanjutnya, ia mengingatkan perlu adanya upaya mendorong efisiensi dan mengurangi kebocoran yang terjadi dalam pembelanjaan anggaran pemerintah, agar pelaksanaan belanja menjadi lebih efisien dan tepat sasaran.
"Jadi jangan mengalokasikan dana yang besar tapi efektivitasnya rendah, karena banyak tidak efisien dalam implementasinya," kata Faisal.
Baca juga: Sri Mulyani fokus tingkatkan produktivitas perekonomian pada 2023
Baca juga: Sri Mulyani sebut APBN instrumen turunkan angka kemiskinan 2023
Pewarta: Muhammad Heriyanto
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2022
Tags: