Singapura (ANTARA) - Harga minyak sedikit melemah di perdagangan Asia pada Jumat sore, karena optimisme tentang kemungkinan kenaikan permintaan di China memudar dan pasar kembali mempertimbangkan dampak kenaikan suku bunga yang tajam terhadap konsumsi energi.

Minyak mentah berjangka Brent tergelincir 12 sen, menjadi diperdagangkan di 92,26 dolar AS per barel pada pukul 06.25 GMT. Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS merosot 11 sen, menjadi diperdagangkan di 84,40 dolar AS per barel.

Brent berada di jalur untuk kenaikan mingguan 0,6 persen, sementara WTI diperkirakan turun 1,5 persen.

Untuk melawan inflasi, Federal Reserve AS berusaha memperlambat ekonomi dan akan terus menaikkan target suku bunga jangka pendeknya, kata Presiden Federal Reserve Bank of Philadelphia Patrick Harker, Kamis (20/10/2022).

"Dengan beberapa anggota utama Fed bergantian di mimbar hawkish minggu ini dengan alasan suku bunga yang lebih tinggi, itu menumpulkan optimisme dari harapan karantina China yang berkurang," Stephen Innes, direktur pelaksana di SPI Asset Management mengatakan dalam sebuah catatan.

"Semua orang merindukan dorongan komoditas yang didukung oleh pembukaan kembali China, tetapi kami belum sampai di sana."

Beijing sedang mempertimbangkan untuk memotong periode karantina bagi pengunjung menjadi tujuh hari dari 10 hari, Bloomberg melaporkan pada Kamis (20/10/2022), mengutip orang-orang yang mengetahui masalah tersebut. Belum ada konfirmasi resmi dari Beijing.

China, importir minyak mentah terbesar di dunia, telah menerapkan pembatasan ketat COVID-19 tahun ini, membebani aktivitas bisnis dan ekonomi serta menurunkan permintaan bahan bakar. Banyak analis percaya kebijakan nol toleransi sebagian besar akan dipertahankan hingga tahun depan.

Tetapi harga minyak baru-baru ini didukung oleh larangan Uni Eropa terhadap minyak mentah dan produk minyak Rusia, serta pengurangan produksi dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutu termasuk Rusia, yang dikenal sebagai OPEC+.

"Langkah OPEC untuk memangkas produksi sebesar dua juta barel per hari bisa menjadi titik balik bagi pasar minyak. Dengan risiko gangguan pasokan Rusia karena pembatasan harga, itu bisa memperketat pasar," kata ANZ Research dalam catatan Jumat.

"Perekonomian global yang melambat dan permintaan yang lemah berkelanjutan dari China adalah hambatan utama, tetapi pasar minyak secara fundamental berada dalam posisi yang lebih kuat daripada di kemerosotan ekonomi sebelumnya."

OPEC+ telah menyepakati pengurangan produksi 2 juta barel per hari pada awal Oktober, membuat Gedung Putih mengklaim bahwa Arab Saudi telah mendorong negara-negara anggota lainnya ke dalam pengurangan produksi.


Baca juga: Minyak bervariasi, kekhawatiran inflasi berpotensi pangkas permintaan
Baca juga: Harga minyak naik, ditopang China mungkin perlonggar karantina COVID
Baca juga: Biden katakan AS siap lepas lebih banyak cadangan minyak