Yogyakarta (ANTARA) - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X mengaku heran banyak tokoh agama yang sekadar membicarakan heroisme sendiri-sendiri, tetapi minim membicarakan penghargaan kepada agama atau etnik lain.

"Sering tokoh-tokoh agama hanya menyampaikan pada umatnya heroismenya sendiri, tetapi ayat-ayat yang menghargai orang lain, etnik lain, agama lain itu tidak pernah disampaikan dengan baik, yang penting heroismenya sendiri-sendiri," kata Sultan saat memberikan sambutan pada acara Pelantikan Pengurus DPD Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas DIY 2022-2027 di Bangsal Kepatihan, Yogyakarta, Kamis.

Dalam acara yang dihadiri Ketua Umum DPP Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL) Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar itu, Sultan HB X menyampaikan hal tersebut dalam konteks memaknai kembali Bhinneka Tunggal Ika agar jangan sekadar menjadi simbol negara.

"Jangan sekadar di dalam bunyi konstitusi atau simbol negara, dengan gambar Garuda Pancasila di dadanya, tapi menjadi alat, menjadi strategi untuk integrasi bangsa," ujarnya.

Menurut Sultan, selama ini Bhinneka Tunggal Ika lebih banyak dimaknai dengan menekankan bahwa yang berbeda-beda itu tetap atau harus bersatu dalam bingkai bangsa Indonesia.

Akan tetapi, pada aspek lain, penghormatan atau pengakuan terhadap yang beda-beda justru masih jarang disampaikan.

"Kita ini hanya sebelah saja. Ya pokoknya satu, ya pokoknya kamu berbeda-beda harus satu, tapi yang satu itu ternyata belum tentu menghormati yang berbeda-beda. Itu tidak pernah kita utarakan," ujar Ngarsa Dalem, sapaan Sultan HB X.

Menurut ia, hal tersebut penting ditekankan karena penciptaan bumi dan seisinya yang berbeda-beda ialah ketentuan atau kehendak Tuhan.

Dengan begitu, lanjut Sultan, sikap mengingkari atau tidak mengakui pihak yang berbeda sama artinya menentang sunnatullah atau ketentuan yang telah diatur dan dikehendaki oleh Allah SWT.

"Berbeda itu sunnatullah, jadi kalau enggak mengakui yang lain, yang berwarna lain, yang berbeda, itu kan sebetulnya menentang kehendak-Nya juga," tegasnya.

Selain itu, menurut Sultan, di negara maritim atau kelautan seperti Indonesia, tidak sepatutnya berbicara mengenai mayoritas dan minoritas terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) karena mayoritas dan minoritas biasanya hanya dibicarakan di negara kontinental atau benua.

"Kalau kita bicara mayoritas, ya semua harus manut yang agamanya mayoritas, yang penduduknya juga mayoritas. Jadi, semua harus tunduk pada orang Jawa dan orang Islam, tapi kan bukan itu," imbuhnya.