BI: Rupiah terdepresiasi karena dolar menguat tajam & kondisi global
20 Oktober 2022 20:33 WIB
Ilustrasi - Petugas menunjukkan uang pecahan Rp100.000 dan 100 dolar AS di jasa penukaran uang asing di Melawai, Jakarta. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/rwa.
Jakarta (ANTARA) - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyebutkan nilai tukar rupiah saat ini belum menguat lantaran dolar Amerika Serikat (AS) masih sangat tinggi serta kondisi global masih tidak menentu.
BI mencatat nilai tukar rupiah sampai dengan 19 Oktober 2022 terdepresiasi 8,03 persen dibandingkan dengan level akhir 2021.
"Namun tekanan rupiah ini bukanlah faktor fundamental, tekanan rupiah karena kondisi global serta dolar AS yang menguat sangat tinggi," tegas Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulan Oktober 2022 dengan Cakupan Triwulanan yang dipantau secara daring di Jakarta, Kamis
Ia mengungkapkan indeks nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama (DXY) mencapai level tertinggi 114,76 pada tanggal 28 September 2022 dan tercatat di level 112,98 pada 19 Oktober 2022 atau mengalami penguatan sebesar 18,1 persen selama tahun 2022.
Bahkan jika dihitung dari pertengahan tahun lalu, penguatan dolar AS lebih tinggi lagi, yakni di atas 20 persen atau hampir 25 persen, sehingga menyebabkan pelemahan mata uang dunia termasuk negara pasar berkembang dan Indonesia.
Baca juga: Rupiah ditutup jatuh 74 poin, meski BI naikkan suku bunga acuan
Oleh karena itu Perry Warjiyo menekankan sinergi yang sangat erat merupakan kunci, terutama antara BI, pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), dunia usaha, perbankan, dan daerah, untuk bersatu mendorong ekonomi, menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, dan terus inovatif serta kreatif mencari terobosan-terobosan baru dalam kebijakan.
"Langkah ini agar bersama-sama tentu saja kita bisa terus mendorong stabilitas dan pertumbuhan ekonomi Indonesia," ucapnya.
BI, kata dia, dengan dukungan koordinasi erat dari berbagai pihak terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, termasuk untuk memitigasi inflasi dari barang-barang impor alias imported inflation, sehingga dapat pula mendorong pertumbuhan ekonomi.
Meski kurs rupiah terdepresiasi 8,03 persen, penurunan tersebut lebih rendah dari negara-negara lain dan tidak berdampak pada kondisi perbankan, korporasi, dan tetap mendukung pemulihan ekonomi nasional.
Baca juga: BI kembali naikkan suku bunga acuan 50 bps, menjadi 4,75 persen
BI mencatat nilai tukar rupiah sampai dengan 19 Oktober 2022 terdepresiasi 8,03 persen dibandingkan dengan level akhir 2021.
"Namun tekanan rupiah ini bukanlah faktor fundamental, tekanan rupiah karena kondisi global serta dolar AS yang menguat sangat tinggi," tegas Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulan Oktober 2022 dengan Cakupan Triwulanan yang dipantau secara daring di Jakarta, Kamis
Ia mengungkapkan indeks nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama (DXY) mencapai level tertinggi 114,76 pada tanggal 28 September 2022 dan tercatat di level 112,98 pada 19 Oktober 2022 atau mengalami penguatan sebesar 18,1 persen selama tahun 2022.
Bahkan jika dihitung dari pertengahan tahun lalu, penguatan dolar AS lebih tinggi lagi, yakni di atas 20 persen atau hampir 25 persen, sehingga menyebabkan pelemahan mata uang dunia termasuk negara pasar berkembang dan Indonesia.
Baca juga: Rupiah ditutup jatuh 74 poin, meski BI naikkan suku bunga acuan
Oleh karena itu Perry Warjiyo menekankan sinergi yang sangat erat merupakan kunci, terutama antara BI, pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), dunia usaha, perbankan, dan daerah, untuk bersatu mendorong ekonomi, menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, dan terus inovatif serta kreatif mencari terobosan-terobosan baru dalam kebijakan.
"Langkah ini agar bersama-sama tentu saja kita bisa terus mendorong stabilitas dan pertumbuhan ekonomi Indonesia," ucapnya.
BI, kata dia, dengan dukungan koordinasi erat dari berbagai pihak terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, termasuk untuk memitigasi inflasi dari barang-barang impor alias imported inflation, sehingga dapat pula mendorong pertumbuhan ekonomi.
Meski kurs rupiah terdepresiasi 8,03 persen, penurunan tersebut lebih rendah dari negara-negara lain dan tidak berdampak pada kondisi perbankan, korporasi, dan tetap mendukung pemulihan ekonomi nasional.
Baca juga: BI kembali naikkan suku bunga acuan 50 bps, menjadi 4,75 persen
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2022
Tags: