Telaah
Insentif Presidensi G20 untuk transformasi digital Indonesia
Oleh Jafar M Sidik
19 Oktober 2022 23:03 WIB
Penari tampil pada Peluncuran Digital Talent Program 2022 di Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (17/5/2022). Disela acara Digital Economy Working Group (DEWG) G20, Kominfo meluncurkan dua program pelatihan talenta yakni Digital Talent Scholarship dan Digital Leadership Academy yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan digital masyarakat. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/Pool/pri. (ANTARA FOTO/MOHAMMAD AYUDHA)
Jakarta (ANTARA) - Di antara peluang yang bisa diambil Indonesia dari menjadi ketua Kelompok 20 (G20) adalah kesempatan memperlihatkan ekosistem digitalnya kepada sesama anggota G20 sehingga mereka semakin tertarik kepada Indonesia.
Indonesia dan anggota-anggota lain G20 memiliki modal yang membuat satu sama lain bisa tertarik mengembangkan ekosistem digitalnya.
Ini karena G20 bukan hanya mengambil porsi 80 persen produk domestik bruto dunia, 75 persen perdagangan internasional, dan 60 persen penduduk global, namun juga terdepan dalam memajukan lingkungan digital yang bisa membuat transformasi digital Indonesia semakin luas, memberdayakan siapa pun, dan berkelanjutan.
Kluster-kluster besar teknologi seperti Silicon Valley, Shenzen-Hong Kong Greater Bay Area, Cambridge Cluster, Rhine-Main-Neckar, Silicon Cape, dan Bengalore, ada di G20.
Baca juga: Menperin tekankan transformasi digital sektor industri di TIIMM G20
Pun dengan pemain-pemain besar teknologi yang kebanyakan ada di negara-negara anggota G20, termasuk lima besar; Alphabet, Amazon, Apple, Microsoft, dan Meta. Demikian juga dengan raksasa-raksasa teknologi Asia seperti Tencent dan Alibaba Group.
Mereka menjadi pemimpin bisnis teknologi global yang sangat dominan dengan kapitalisasi meraksasa hingga mencapai tiga triliun dolar AS untuk satu perusahaan saja.
G20 juga terdepan dalam menghadirkan sistem keuangan digital yang penting dalam menciptakan ekosistem digital yang kuat nan sinambung, terutama teknologi keuangan (fintech) dan perbankan digital.
Untuk fintech, mengutip laporan Centre for Finance, Technology and Entrepreneurship, 18 dari 20 fintech dengan valuasi terbesar di dunia sampai Januari 2022 ada di negara-negara G20, termasuk GoTo Gojek Tokopedia di Indonesia yang menempati peringkat 14 dengan valuasi 35 miliar dolar AS. Tiga teratas diduduki oleh Visa, Mastercard dan Ant Financial dengan valuasi antara 451 miliar dolar AS sampai 312 miliar dolar AS.
Pun dengan bank digital. Menurut TABInsights dan The Asian Banker, sepuluh bank digital terbesar di dunia terletak di negara G20, termasuk tiga besar; WeBank di China, Ally Bank di AS, dan ING (Global) di Uni Eropa (Belanda).
Baca juga: Kemendag: Bangun ekonomi digital dengan kebijakan perdagangan inklusif
Semua data itu melukiskan ada pasar digital yang amat besar di G20. Kenyataannya, pengguna internet terbanyak di dunia ada di G20.
Mengutip data We Are Social, sampai awal 2022 ada 4,9 miliar pengguna internet di seluruh dunia. Sebanyak 65 persen atau 3,2 miliar di antaranya ada di negara-negara G20.
Indonesia sendiri, dengan 240 juta pengguna internet, adalah negara G20 keempat yang memiliki pengguna internet terbesar setelah China (satu miliar pengguna), India (658 juta), dan Amerika Serikat (307,2 juta).
Dengan lingkungan digital semasif itu, G20 menjanjikan gerbang lebar yang bisa membantu Indonesia dalam mempercepat langkah dan memperluas jangkauan transformasi digitalnya.
Ini karena G20 adalah menjanjikan mitra investasi, inovasi, dan penetrasi pasar yang besar.
Fakta lain yang menarik adalah para pengguna internet di negara-negara G20 adalah juga pengguna internet yang sangat aktif memaksimalkan manfaat-manfaat internet, khususnya untuk transaksi bisnis yang menjadi kecenderungan era ini, B2C (business to consumer), yang merupakan model penjualan langsung ke pelanggan.
Dengan rata-rata "waktu per hari menggunakan internet" di sekitar rata-rata dunia 6 jam 58 menit yang bahkan sepuluh anggotanya berada di atas rata-rata dunia. Pengguna internet di negara-negara G20 adalah juga komunitas digital yang aktif beraktivitas B2C yang kebanyakan di atas rata-rata dunia 58,4 persen, termasuk Indonesia yang mencapai porsi 60,6 persen dari total aktivitas internet.
Baca juga: Kemenkominfo siapkan pameran Digital Transformation Expo di KTT G20
e-Commerce Indonesia
Lain dari itu, fakta raksasa-raksasa IT dan pusat digital terbesar di dunia berada di AS, China, India, Inggris dan Jerman atau lainnya, membuat presidensi G20 sebagai kesempatan besar dalam membantu mengembangkan lingkungan digital yang lebih luas di tanah air.
Sebagian dari pelaku-pelaku digital global itu sendiri, di antaranya Google, telah lama aktif di Indonesia, mulai dari menyuntikkan modal untuk pembangunan infrastruktur digital yang digagas pemerintah, sampai menggandeng startup-startup Indonesia menjadi unicorn atau bahkan entitas bisnis digital multinasional.
Salah satu contohnya adalah perusahaan-perusahaan seperti Tokopedia, Gojek, Bukalapak, Traveloka, dan banyak lagi, termasuk bank-bank digital dan fintech yang terus bermunculan di Indonesia.
Perusahaan-perusahaan ini turut berperan dalam memperluas, mempermudah dan mempercepat akses masyarakat Indonesia kepada bukan saja barang dan jasa, tetapi juga modal dan pembiayaan serta inovasi, yang pada gilirannya turut membuat roda ekonomi nasional terus menggelinding sekalipun dihantam pandemi COVID-19 seperti terjadi belakangan tahun ini.
Mereka, dan juga rangkaian kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia, membuat siapa pun di negeri ini memiliki kesempatan luas dan mudah dalam mengakses barang, jasa dan modal dalam cara yang efisien sekali.
Bersama teknologi-teknologi lain termasuk media sosial yang kebanyakan berpusat di negara-negara G20, perusahaan-perusahaan digital Indonesia andil dalam mendorong sektor informal aktif memacu output ekonomi nasional.
Baca juga: Indonesia tutup DIN G20 dengan pemberian apresiasi kepada "startup"
Mereka turut menghadirkan lingkungan bisnis B2C yang semakin besar dan luas, sehingga menjangkau kelompok-kelompok terabaikan, seperti kaum perempuan yang saat ini justru bisa disebut sebagai aktor penting dalam e-commerce Indonesia.
GoTo misalnya, menawarkan tiga layanan berupa, on demand service dalam Gojek, e-commerce lewat Tokopedia, dan fintech lewat GoTo Financial. Gojek dan Tokopedia dikenal luas oleh masyarakat Indonesia.
Gojek kini melayani 167 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia, sedangkan Tokopedia telah memuat 865 juta produk, melibatkan 12 juta penjual yang 86,5 persen adalah penjual baru, memberdayakan sektor UMKM sampai naik 2,5 kali, termasuk yang dikerjakan kaum perempuan.
Gojek dan Tokopedia hanyalah contoh untuk semakin besarnya ekonomi digital Indonesia yang juga salah satu wajah dari tengah berlangsungnya transformasi digital di Indonesia.
Ada banyak pelaku digital seperti GoTo yang turut menciptakan transformasi digital yang memberdayakan, inklusif untuk semua kalangan, dan berkelanjutan.
Mereka bisa disebut aktor-aktor penting dalam memajukan dua basis ekonomi digital yang bertumpu pada penglibatan masyarakat secara luas.
Keduanya adalah "sharing economy" yang menghubungkan langsung penjual dengan pembeli dalam memperoleh, menyediakan, atau berbagi akses kepada barang dan jasa lewat fasilitasi platform online, dan "gig economy" yang menjadi pasar tenaga kerja paruh waktu yang bisa sangat besar perannya dalam membantu negara menekan angka pengangguran.
Semuanya melekat pada e-commerce yang pertumbuhannya di Indonesia membuat dunia terkesima di mana pada 2021 tumbuh 32 persen sehingga berkontribusi besar kepada pertumbuhan e-commerce global sebesar 15 persen pada tahun itu.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sendiri mencatat nilai transaksi e-commerce di Indonesia mencapai Rp108,54 triliun pada semester I 2022 atau melonjak 23 persen secara year on year.
Baca juga: Menkominfo yakin pertemuan menteri digital G20 tak berhenti di DEMM
G20 jadi jaminan
Menurut data ecommercedb, dengan pertumbuhan per tahun 10 persen antara 2021 sampai 2025, e-commerce Indonesia diperkirakan bakal tumbuh melampaui rata-rata dunia 6 persen.
Wajar jika kemudian lembaga-lembaga dunia seperti International Trade Administration dalam Departemen Perdagangan Amerika Serikat memperkirakan nilai pasar bruto (GMV) e-commerce Indonesia tiga tahun mendatang pada 2025 akan mencapai 83 miliar dolar AS atau 53 miliar dolar AS lebih besar dari GMV 2022.
Asumsi ini sendiri didasarkan kepada perubahan perilaku konsumen Indonesia yang saat ini umumnya tech-savvy dan merasa lebih nyaman bertransaksi online.
Namun keadaan ini belum merata terjadi di semua daerah Indonesia, salah satunya karena kecepatan internet yang berbeda-beda di setiap wilayah.
Kecepatan sambungan internet di Indonesia sendiri adalah dua terbawah di antara negara-negara G20.
Data terakhir sampai Januari 2022 yang dirilis Hootsuite dan We Are Social menunjukkan, kecepatan internet Indonesia hanya lebih baik dari India yang masing-masing 15,82 dan 14,39 mbps (megabit per detik) atau di bawah rata-rata dunia 29,06 mbps.
Sebaliknya, 13 dari 19 negara G20 (minus Uni Eropa), berada di atas rata-rata dunia berkisar antara 104,98 mbps di Korea Selatan dan 30,54 di Afrika Selatan.
Brazil, Meksiko, Argentina, Rusia, Indonesia dan India berada di bawah rata-rata dunia, tapi tiga negara benua Amerika itu mempunyai kecepatan internet di atas 21 mbps.
Seandainya Indonesia memiliki kecepatan internet seperti Korea Selatan atau China (96,84 mbps) atau Arab Saudi (91.06 mbps), aktivitas multispektrum masyarakat Indonesia, bakal semakin cepat sehingga mencapai konektivitas maksimum yang bisa mendorong tidak saja efisiensi dan produktivitas, namun juga kreativitas dan inovasi, yang akhirnya memicu pemerataan ekonomi.
Baca juga: Indonesia jadikan DIN G20 wadah solusi global lewat digitalisasi
Efek lainnya, pemain-pemain digital global akan kian melihat Indonesia sebagai tempat nyaman untuk berinvestasi dan mengembangkan usahanya. Sebaliknya, pemain-pemain bisnis lokal menjadi semakin percaya diri dan berani menembus pasar regional dan global.
Ini memang skenario yang mungkin terlalu optimistis, tetapi bukan tanpa dasar jika melihat kondisi saat ini saja Indonesia menjadi pemain besar dalam e-commerce dan dalam kategori negara dengan transformasi digital sangat cepat dan masif.
Presidensi Indonesia bisa membantu menguakkan dan mengabarkan fakta menarik dari ekosistem digital Indonesia ini kepada negara-negara G20 yang lain.
Apalagi presidensi G20 senantiasa melibatkan tiga pihak, antara ketua sebelumnya, ketua saat ini, dan kedua mendatang, dalam format troika. Ini memastikan keberlanjutan fokus forum ini sehingga ada solusi riil untuk masalah-masalah yang menjadi prioritas G20.
Dalam konteks transformasi digital, ini adalah jaminan untuk hadirnya komitmen intra-G20 baik dalam bentuk pemerintah ke pemerintah, swasta ke swasta, maupun campuran keduanya.
Situasi ini tentunya bisa membuat ekosistem digital Indonesia mendapatkan jaminan lebih berkembang lagi karena potensi adanya dukungan komitmen, modal, dan inovasi berkelanjutan dari G20.
Pada akhirnya ini bisa membuat transformasi digital di Indonesia berlangsung lebih luas sehingga bisa mencapai semua kalangan, tak peduli di kota atau di desa, di daerah ramai penduduk atau daerah terisolir, kaya atau miskin, dari Sabang sampai Merauke.
Baca juga: Menjembatani peradaban ekonomi digital
Baca juga: Indonesia ajak negara G20 kerja sama kembangkan pertanian digital
Baca juga: Global Forum tentang Pertanian Digital awali rangkaian AMM G20 di Bali
Indonesia dan anggota-anggota lain G20 memiliki modal yang membuat satu sama lain bisa tertarik mengembangkan ekosistem digitalnya.
Ini karena G20 bukan hanya mengambil porsi 80 persen produk domestik bruto dunia, 75 persen perdagangan internasional, dan 60 persen penduduk global, namun juga terdepan dalam memajukan lingkungan digital yang bisa membuat transformasi digital Indonesia semakin luas, memberdayakan siapa pun, dan berkelanjutan.
Kluster-kluster besar teknologi seperti Silicon Valley, Shenzen-Hong Kong Greater Bay Area, Cambridge Cluster, Rhine-Main-Neckar, Silicon Cape, dan Bengalore, ada di G20.
Baca juga: Menperin tekankan transformasi digital sektor industri di TIIMM G20
Pun dengan pemain-pemain besar teknologi yang kebanyakan ada di negara-negara anggota G20, termasuk lima besar; Alphabet, Amazon, Apple, Microsoft, dan Meta. Demikian juga dengan raksasa-raksasa teknologi Asia seperti Tencent dan Alibaba Group.
Mereka menjadi pemimpin bisnis teknologi global yang sangat dominan dengan kapitalisasi meraksasa hingga mencapai tiga triliun dolar AS untuk satu perusahaan saja.
G20 juga terdepan dalam menghadirkan sistem keuangan digital yang penting dalam menciptakan ekosistem digital yang kuat nan sinambung, terutama teknologi keuangan (fintech) dan perbankan digital.
Untuk fintech, mengutip laporan Centre for Finance, Technology and Entrepreneurship, 18 dari 20 fintech dengan valuasi terbesar di dunia sampai Januari 2022 ada di negara-negara G20, termasuk GoTo Gojek Tokopedia di Indonesia yang menempati peringkat 14 dengan valuasi 35 miliar dolar AS. Tiga teratas diduduki oleh Visa, Mastercard dan Ant Financial dengan valuasi antara 451 miliar dolar AS sampai 312 miliar dolar AS.
Pun dengan bank digital. Menurut TABInsights dan The Asian Banker, sepuluh bank digital terbesar di dunia terletak di negara G20, termasuk tiga besar; WeBank di China, Ally Bank di AS, dan ING (Global) di Uni Eropa (Belanda).
Baca juga: Kemendag: Bangun ekonomi digital dengan kebijakan perdagangan inklusif
Semua data itu melukiskan ada pasar digital yang amat besar di G20. Kenyataannya, pengguna internet terbanyak di dunia ada di G20.
Mengutip data We Are Social, sampai awal 2022 ada 4,9 miliar pengguna internet di seluruh dunia. Sebanyak 65 persen atau 3,2 miliar di antaranya ada di negara-negara G20.
Indonesia sendiri, dengan 240 juta pengguna internet, adalah negara G20 keempat yang memiliki pengguna internet terbesar setelah China (satu miliar pengguna), India (658 juta), dan Amerika Serikat (307,2 juta).
Dengan lingkungan digital semasif itu, G20 menjanjikan gerbang lebar yang bisa membantu Indonesia dalam mempercepat langkah dan memperluas jangkauan transformasi digitalnya.
Ini karena G20 adalah menjanjikan mitra investasi, inovasi, dan penetrasi pasar yang besar.
Fakta lain yang menarik adalah para pengguna internet di negara-negara G20 adalah juga pengguna internet yang sangat aktif memaksimalkan manfaat-manfaat internet, khususnya untuk transaksi bisnis yang menjadi kecenderungan era ini, B2C (business to consumer), yang merupakan model penjualan langsung ke pelanggan.
Dengan rata-rata "waktu per hari menggunakan internet" di sekitar rata-rata dunia 6 jam 58 menit yang bahkan sepuluh anggotanya berada di atas rata-rata dunia. Pengguna internet di negara-negara G20 adalah juga komunitas digital yang aktif beraktivitas B2C yang kebanyakan di atas rata-rata dunia 58,4 persen, termasuk Indonesia yang mencapai porsi 60,6 persen dari total aktivitas internet.
Baca juga: Kemenkominfo siapkan pameran Digital Transformation Expo di KTT G20
e-Commerce Indonesia
Lain dari itu, fakta raksasa-raksasa IT dan pusat digital terbesar di dunia berada di AS, China, India, Inggris dan Jerman atau lainnya, membuat presidensi G20 sebagai kesempatan besar dalam membantu mengembangkan lingkungan digital yang lebih luas di tanah air.
Sebagian dari pelaku-pelaku digital global itu sendiri, di antaranya Google, telah lama aktif di Indonesia, mulai dari menyuntikkan modal untuk pembangunan infrastruktur digital yang digagas pemerintah, sampai menggandeng startup-startup Indonesia menjadi unicorn atau bahkan entitas bisnis digital multinasional.
Salah satu contohnya adalah perusahaan-perusahaan seperti Tokopedia, Gojek, Bukalapak, Traveloka, dan banyak lagi, termasuk bank-bank digital dan fintech yang terus bermunculan di Indonesia.
Perusahaan-perusahaan ini turut berperan dalam memperluas, mempermudah dan mempercepat akses masyarakat Indonesia kepada bukan saja barang dan jasa, tetapi juga modal dan pembiayaan serta inovasi, yang pada gilirannya turut membuat roda ekonomi nasional terus menggelinding sekalipun dihantam pandemi COVID-19 seperti terjadi belakangan tahun ini.
Mereka, dan juga rangkaian kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia, membuat siapa pun di negeri ini memiliki kesempatan luas dan mudah dalam mengakses barang, jasa dan modal dalam cara yang efisien sekali.
Bersama teknologi-teknologi lain termasuk media sosial yang kebanyakan berpusat di negara-negara G20, perusahaan-perusahaan digital Indonesia andil dalam mendorong sektor informal aktif memacu output ekonomi nasional.
Baca juga: Indonesia tutup DIN G20 dengan pemberian apresiasi kepada "startup"
Mereka turut menghadirkan lingkungan bisnis B2C yang semakin besar dan luas, sehingga menjangkau kelompok-kelompok terabaikan, seperti kaum perempuan yang saat ini justru bisa disebut sebagai aktor penting dalam e-commerce Indonesia.
GoTo misalnya, menawarkan tiga layanan berupa, on demand service dalam Gojek, e-commerce lewat Tokopedia, dan fintech lewat GoTo Financial. Gojek dan Tokopedia dikenal luas oleh masyarakat Indonesia.
Gojek kini melayani 167 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia, sedangkan Tokopedia telah memuat 865 juta produk, melibatkan 12 juta penjual yang 86,5 persen adalah penjual baru, memberdayakan sektor UMKM sampai naik 2,5 kali, termasuk yang dikerjakan kaum perempuan.
Gojek dan Tokopedia hanyalah contoh untuk semakin besarnya ekonomi digital Indonesia yang juga salah satu wajah dari tengah berlangsungnya transformasi digital di Indonesia.
Ada banyak pelaku digital seperti GoTo yang turut menciptakan transformasi digital yang memberdayakan, inklusif untuk semua kalangan, dan berkelanjutan.
Mereka bisa disebut aktor-aktor penting dalam memajukan dua basis ekonomi digital yang bertumpu pada penglibatan masyarakat secara luas.
Keduanya adalah "sharing economy" yang menghubungkan langsung penjual dengan pembeli dalam memperoleh, menyediakan, atau berbagi akses kepada barang dan jasa lewat fasilitasi platform online, dan "gig economy" yang menjadi pasar tenaga kerja paruh waktu yang bisa sangat besar perannya dalam membantu negara menekan angka pengangguran.
Semuanya melekat pada e-commerce yang pertumbuhannya di Indonesia membuat dunia terkesima di mana pada 2021 tumbuh 32 persen sehingga berkontribusi besar kepada pertumbuhan e-commerce global sebesar 15 persen pada tahun itu.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sendiri mencatat nilai transaksi e-commerce di Indonesia mencapai Rp108,54 triliun pada semester I 2022 atau melonjak 23 persen secara year on year.
Baca juga: Menkominfo yakin pertemuan menteri digital G20 tak berhenti di DEMM
G20 jadi jaminan
Menurut data ecommercedb, dengan pertumbuhan per tahun 10 persen antara 2021 sampai 2025, e-commerce Indonesia diperkirakan bakal tumbuh melampaui rata-rata dunia 6 persen.
Wajar jika kemudian lembaga-lembaga dunia seperti International Trade Administration dalam Departemen Perdagangan Amerika Serikat memperkirakan nilai pasar bruto (GMV) e-commerce Indonesia tiga tahun mendatang pada 2025 akan mencapai 83 miliar dolar AS atau 53 miliar dolar AS lebih besar dari GMV 2022.
Asumsi ini sendiri didasarkan kepada perubahan perilaku konsumen Indonesia yang saat ini umumnya tech-savvy dan merasa lebih nyaman bertransaksi online.
Namun keadaan ini belum merata terjadi di semua daerah Indonesia, salah satunya karena kecepatan internet yang berbeda-beda di setiap wilayah.
Kecepatan sambungan internet di Indonesia sendiri adalah dua terbawah di antara negara-negara G20.
Data terakhir sampai Januari 2022 yang dirilis Hootsuite dan We Are Social menunjukkan, kecepatan internet Indonesia hanya lebih baik dari India yang masing-masing 15,82 dan 14,39 mbps (megabit per detik) atau di bawah rata-rata dunia 29,06 mbps.
Sebaliknya, 13 dari 19 negara G20 (minus Uni Eropa), berada di atas rata-rata dunia berkisar antara 104,98 mbps di Korea Selatan dan 30,54 di Afrika Selatan.
Brazil, Meksiko, Argentina, Rusia, Indonesia dan India berada di bawah rata-rata dunia, tapi tiga negara benua Amerika itu mempunyai kecepatan internet di atas 21 mbps.
Seandainya Indonesia memiliki kecepatan internet seperti Korea Selatan atau China (96,84 mbps) atau Arab Saudi (91.06 mbps), aktivitas multispektrum masyarakat Indonesia, bakal semakin cepat sehingga mencapai konektivitas maksimum yang bisa mendorong tidak saja efisiensi dan produktivitas, namun juga kreativitas dan inovasi, yang akhirnya memicu pemerataan ekonomi.
Baca juga: Indonesia jadikan DIN G20 wadah solusi global lewat digitalisasi
Efek lainnya, pemain-pemain digital global akan kian melihat Indonesia sebagai tempat nyaman untuk berinvestasi dan mengembangkan usahanya. Sebaliknya, pemain-pemain bisnis lokal menjadi semakin percaya diri dan berani menembus pasar regional dan global.
Ini memang skenario yang mungkin terlalu optimistis, tetapi bukan tanpa dasar jika melihat kondisi saat ini saja Indonesia menjadi pemain besar dalam e-commerce dan dalam kategori negara dengan transformasi digital sangat cepat dan masif.
Presidensi Indonesia bisa membantu menguakkan dan mengabarkan fakta menarik dari ekosistem digital Indonesia ini kepada negara-negara G20 yang lain.
Apalagi presidensi G20 senantiasa melibatkan tiga pihak, antara ketua sebelumnya, ketua saat ini, dan kedua mendatang, dalam format troika. Ini memastikan keberlanjutan fokus forum ini sehingga ada solusi riil untuk masalah-masalah yang menjadi prioritas G20.
Dalam konteks transformasi digital, ini adalah jaminan untuk hadirnya komitmen intra-G20 baik dalam bentuk pemerintah ke pemerintah, swasta ke swasta, maupun campuran keduanya.
Situasi ini tentunya bisa membuat ekosistem digital Indonesia mendapatkan jaminan lebih berkembang lagi karena potensi adanya dukungan komitmen, modal, dan inovasi berkelanjutan dari G20.
Pada akhirnya ini bisa membuat transformasi digital di Indonesia berlangsung lebih luas sehingga bisa mencapai semua kalangan, tak peduli di kota atau di desa, di daerah ramai penduduk atau daerah terisolir, kaya atau miskin, dari Sabang sampai Merauke.
Baca juga: Menjembatani peradaban ekonomi digital
Baca juga: Indonesia ajak negara G20 kerja sama kembangkan pertanian digital
Baca juga: Global Forum tentang Pertanian Digital awali rangkaian AMM G20 di Bali
Copyright © ANTARA 2022
Tags: