Artikel
Berkolaborasi mengendalikan inflasi di Maluku Utara
Oleh Abdul Fatah
19 Oktober 2022 17:33 WIB
Sejumlah warga membeli bawang merah saat bazar pangan murah di Benteng Orange, Kota Ternate, Maluku Utara, Selasa (11-10-2022). ANTRA FOTO/Andri Saputra/YU/aww.
Ternate (ANTARA) - Pemerintah Kota Ternate bersama sembilan kabupaten/kota di Maluku Utara (Malut) terus menempuh berbagai upaya mengendalikan inflasi di daerah masing-masing, yang menanjak setelah penaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Inflasi memang harus dikendalikan demi menjaga daya beli dan mempertahankan konsumsi masyarakat, agar memberi kontribusi ekonomi nasional, yang masih dalam proses pemulihan akibat pandemi Corona dan krisis ekonomi global.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Malut menyebutkan di Kota Ternate pada Agustus 2022 tercatat deflasi 0,24 persen, lalu pada September 2022 melonjak menjadi 0,51 persen dipicu kenakan harga kebutuhan pokok dan bahan lain.
Para pedagang di Ternate dan kabupaten/kota lainnya di Malut, baik di pasar tradisional maupun pusat perbelanjaan modern, tidak bisa menekan harga karena harga dari agen dan distributor mengalami kenaikan.
Sementara para agen dan distributor di Ternate beralasan mereka menaikkan harga karena harga dari daerah asal naik, begitu pula ongkos angkut dari daerah asal ke Ternate mengalami hal serupa sejak kenaikan harga BBM. Ini tidak hanya terjadi di Malut tapi juga di provinsi lain di Indonesia.
Wali Kota Ternate Tauhid Soleman menilai kenaikan harga kebutuhan pokok dan barang lainnya di kota ini serta di kabupaten/kota lain sesuatu yang tidak bisa dihindari karena kenaikan harga BBM otomatis meningkatkan biaya produksi, operasional, dan jasa angkutan.
Apalagi di Kota Ternate sekitar 80 persen kebutuhan pokok harus didatangkan dari provinsi lain, seperti dari Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Jawa Timur yang sudah pasti ongkos angkut ke Ternate cukup mahal.
Sebagian besar kebutuhan pokok dan barang lain di Ternate memang harus didatangkan dari provinsi lain karena produksi di Ternate dan kabupaten/kota lainnya di Malut masih terbatas. Telur ayam ras, misalnya, produksinya tidak sampai 5 persen dari seluruh kebutuhan.
Sejumlah program yang telah dan akan terus dilakukan Pemkot Ternate bersama Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) setempat untuk kendalikan inflasi, antara lain, menginstruksikan agen dan distributor selalu menjaga stok dan kelancaran distribusi ke pasar.
Stok dan kelancaran distribusi di pasar harus dijaga agar tidak terjadi kelangkaan. Kelangkaan akibat kekurangan stok di agen dan distributor atau terhambat distribusi akan memicu kenaikan harga dan itu sangat membebani masyarakat.
Pemkot Ternate dan TPID bersama pihak terkait lainnya seperti Satgas Pangan dari kepolisian terus mengintensifkan pengawasan di lapangan, untuk mengantisipasi adanya oknum pedagang, agen, dan distributor yang sengaja menyembunyikan stok atau menghambat distribusi karena ingin mendongkrak harga di pasar.
Produksi Lokal
Upaya lain yang dilakukan pemkot Ternate bersama TPID untuk mengendalikan inflasi di Ternate adalah mendorong pedagang, agen, dan distributor kebutuhan pokok menyerap produksi lokal di Malut, di samping tetap mendatangkan dari provinsi lain bila diperlukan.
Kebutuhan pokok yang diserap dari produksi lokal di Malut dapat dijual lebih murah di pasar karena ongkos angkut tidak semahal dibandingkan didatangkan dari provinsi lain. Selain itu dapat pula memotivasi para petani di Malut terus meningkatkan produksi sehingga suatu saat kebutuhan di daerah ini seluruhnya dapat dipenuhi dari produksi lokal.
Pemkot Ternate sejauh ini telah menjalin kerja sama dengan sejumlah kabupaten/kota di Malut, di antaranya dengan Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Halmahera Barat, dan Kota Tidore Kepulauan untuk memasok produksi kebutuhan pokok produksi daerah itu ke Ternate.
Kebutuhan pokok yang akan dipasok dari ketiga kabupaten/kota itu ke Ternate di antaranya cabai, tomat, dan beragam komoditas hortikultura lain, bahkan khusus dari Kabupaten Halmahera Timur dapat pula memasok beras.
Para petani di Ternate juga didorong mengembangkan berbagai komoditas pertanian, misalnya, cabai, tomat, dan bawang merah. Warga di perkotaan juga bisa melakukan hal serupa dengan memanfaatkan lahan kosong di sekitar rumah sehingga, selain bisa dijual di pasar, juga bisa memenuhi kebutuhan sendiri.
Upaya mengendalikan inflasi di Ternate dan kabupaten/kota lainnya Malut selama ini telah pula diupayakan Gubernur Malut Abdul Gani Kasuba melalui sejumlah kebijakan, di antaranya program memutus rantai panjang pemasaran komoditas pertanian yang dinilai sebagai salah satu penyebab mahalnya harga di pasaran.
Program itu diimplementasikan dengan cara memberikan bantuan mobil truk di sejumlah kabupaten/kota di Malut untuk mengangkut komoditas pertanian yang dihasilkan para petani dari sentra produksi langsung ke pasar dengan biaya murah.
Selain itu membangun gudang penampungan komoditas pertanian di Sofifi, yang bisa dimanfaatkan para pedagang untuk menyimpan sementara berbagai komoditas pertanian yang dibeli dari sejumlah kabupaten di Pulau Halmahera, seperti dari Halmahera Timur dan Halmahera Utara sebelum didistribusikan ke pasar di wilayah Sofifi, Tidore, dan Ternate.
Peningkatan produksi pertanian perlu dipacu untuk mewujudkan kemandirian Malut dalam memenuhi kebutuhan pokok dengan cara membangun infrastruktur pertanian, seperti bendungan dan irigasi serta memberikan bantuan alat pertanian seperti traktor, bibit unggul, dan pupuk.
Para pelaku usaha juga difasilitasi untuk mengembangkan berbagai usaha di sektor peternakan, misalnya, usaha peternakan ayam petelur dan ayam pedaging, agar kebutuhan telur ayam ras dan daging ayam potong di Malut yang selama ini hampir seluruhnya didatangkan dari provinsi lain dapat dipenuhi dari produksi lokal.
Upaya mewujudkan kemandirian pemenuhan kebutuhan pokok di Malut yang sudah berhasil diwujudkan adalah daging sapi. Saat ini Malut tidak lagi mendatangkan daging sapi dari luar Malut, bahkan sudah mampu mengirim ke provinsi lain.
Keberhasilan swasembada daging sapi ini menyebabkan harga pangan ini relatif terkendali sehingga tidak termasuk salah satu variabel pembentuk inflasi.
Inflasi memang harus dikendalikan demi menjaga daya beli dan mempertahankan konsumsi masyarakat, agar memberi kontribusi ekonomi nasional, yang masih dalam proses pemulihan akibat pandemi Corona dan krisis ekonomi global.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Malut menyebutkan di Kota Ternate pada Agustus 2022 tercatat deflasi 0,24 persen, lalu pada September 2022 melonjak menjadi 0,51 persen dipicu kenakan harga kebutuhan pokok dan bahan lain.
Para pedagang di Ternate dan kabupaten/kota lainnya di Malut, baik di pasar tradisional maupun pusat perbelanjaan modern, tidak bisa menekan harga karena harga dari agen dan distributor mengalami kenaikan.
Sementara para agen dan distributor di Ternate beralasan mereka menaikkan harga karena harga dari daerah asal naik, begitu pula ongkos angkut dari daerah asal ke Ternate mengalami hal serupa sejak kenaikan harga BBM. Ini tidak hanya terjadi di Malut tapi juga di provinsi lain di Indonesia.
Wali Kota Ternate Tauhid Soleman menilai kenaikan harga kebutuhan pokok dan barang lainnya di kota ini serta di kabupaten/kota lain sesuatu yang tidak bisa dihindari karena kenaikan harga BBM otomatis meningkatkan biaya produksi, operasional, dan jasa angkutan.
Apalagi di Kota Ternate sekitar 80 persen kebutuhan pokok harus didatangkan dari provinsi lain, seperti dari Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Jawa Timur yang sudah pasti ongkos angkut ke Ternate cukup mahal.
Sebagian besar kebutuhan pokok dan barang lain di Ternate memang harus didatangkan dari provinsi lain karena produksi di Ternate dan kabupaten/kota lainnya di Malut masih terbatas. Telur ayam ras, misalnya, produksinya tidak sampai 5 persen dari seluruh kebutuhan.
Sejumlah program yang telah dan akan terus dilakukan Pemkot Ternate bersama Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) setempat untuk kendalikan inflasi, antara lain, menginstruksikan agen dan distributor selalu menjaga stok dan kelancaran distribusi ke pasar.
Stok dan kelancaran distribusi di pasar harus dijaga agar tidak terjadi kelangkaan. Kelangkaan akibat kekurangan stok di agen dan distributor atau terhambat distribusi akan memicu kenaikan harga dan itu sangat membebani masyarakat.
Pemkot Ternate dan TPID bersama pihak terkait lainnya seperti Satgas Pangan dari kepolisian terus mengintensifkan pengawasan di lapangan, untuk mengantisipasi adanya oknum pedagang, agen, dan distributor yang sengaja menyembunyikan stok atau menghambat distribusi karena ingin mendongkrak harga di pasar.
Produksi Lokal
Upaya lain yang dilakukan pemkot Ternate bersama TPID untuk mengendalikan inflasi di Ternate adalah mendorong pedagang, agen, dan distributor kebutuhan pokok menyerap produksi lokal di Malut, di samping tetap mendatangkan dari provinsi lain bila diperlukan.
Kebutuhan pokok yang diserap dari produksi lokal di Malut dapat dijual lebih murah di pasar karena ongkos angkut tidak semahal dibandingkan didatangkan dari provinsi lain. Selain itu dapat pula memotivasi para petani di Malut terus meningkatkan produksi sehingga suatu saat kebutuhan di daerah ini seluruhnya dapat dipenuhi dari produksi lokal.
Pemkot Ternate sejauh ini telah menjalin kerja sama dengan sejumlah kabupaten/kota di Malut, di antaranya dengan Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Halmahera Barat, dan Kota Tidore Kepulauan untuk memasok produksi kebutuhan pokok produksi daerah itu ke Ternate.
Kebutuhan pokok yang akan dipasok dari ketiga kabupaten/kota itu ke Ternate di antaranya cabai, tomat, dan beragam komoditas hortikultura lain, bahkan khusus dari Kabupaten Halmahera Timur dapat pula memasok beras.
Para petani di Ternate juga didorong mengembangkan berbagai komoditas pertanian, misalnya, cabai, tomat, dan bawang merah. Warga di perkotaan juga bisa melakukan hal serupa dengan memanfaatkan lahan kosong di sekitar rumah sehingga, selain bisa dijual di pasar, juga bisa memenuhi kebutuhan sendiri.
Upaya mengendalikan inflasi di Ternate dan kabupaten/kota lainnya Malut selama ini telah pula diupayakan Gubernur Malut Abdul Gani Kasuba melalui sejumlah kebijakan, di antaranya program memutus rantai panjang pemasaran komoditas pertanian yang dinilai sebagai salah satu penyebab mahalnya harga di pasaran.
Program itu diimplementasikan dengan cara memberikan bantuan mobil truk di sejumlah kabupaten/kota di Malut untuk mengangkut komoditas pertanian yang dihasilkan para petani dari sentra produksi langsung ke pasar dengan biaya murah.
Selain itu membangun gudang penampungan komoditas pertanian di Sofifi, yang bisa dimanfaatkan para pedagang untuk menyimpan sementara berbagai komoditas pertanian yang dibeli dari sejumlah kabupaten di Pulau Halmahera, seperti dari Halmahera Timur dan Halmahera Utara sebelum didistribusikan ke pasar di wilayah Sofifi, Tidore, dan Ternate.
Peningkatan produksi pertanian perlu dipacu untuk mewujudkan kemandirian Malut dalam memenuhi kebutuhan pokok dengan cara membangun infrastruktur pertanian, seperti bendungan dan irigasi serta memberikan bantuan alat pertanian seperti traktor, bibit unggul, dan pupuk.
Para pelaku usaha juga difasilitasi untuk mengembangkan berbagai usaha di sektor peternakan, misalnya, usaha peternakan ayam petelur dan ayam pedaging, agar kebutuhan telur ayam ras dan daging ayam potong di Malut yang selama ini hampir seluruhnya didatangkan dari provinsi lain dapat dipenuhi dari produksi lokal.
Upaya mewujudkan kemandirian pemenuhan kebutuhan pokok di Malut yang sudah berhasil diwujudkan adalah daging sapi. Saat ini Malut tidak lagi mendatangkan daging sapi dari luar Malut, bahkan sudah mampu mengirim ke provinsi lain.
Keberhasilan swasembada daging sapi ini menyebabkan harga pangan ini relatif terkendali sehingga tidak termasuk salah satu variabel pembentuk inflasi.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2022
Tags: