Apabila air disimpan dalam kemasan plastik suhu normal hanya melepaskan 0,13 ppb atau part per billion. Namun, jika air mineral dalam kemasan itu mengalami pemanasan hingga 40 derajat akibat panas matahari nilai pelarutannya meningkat menjadi 18 ppb.
"Studi-studi meyakinkan itu dan banyak. Artinya apa? Bisfenol ini mudah terlepas," kata Budiawan dalam sebuah diskusi yang digelar di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa malam.
Senyawa Bisfenol A yang larut dalam produk minuman maupun makanan akibat penggunaan kemasan plastik memberikan efek jangka panjang bagi tubuh manusia, sebab BPA memiliki sifat persisten, akumulatif, dan toksik.
Dalam berbagai riset, konsumsi BPA secara jangka panjang dapat mempengaruhi hormon kesuburan dan mengganggu sistem syaraf pada otak manusia.
Bahaya kandungan BPA pada kemasan pangan saat ini bukan lagi isu nasional, tetapi sudah menjadi isu global. Pada 2010 lalu, Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) menyatakan bahwa nilai tolerir BPA adalah 50 mikrogram per kilogram berat badan.
Baca juga: Net Zero Waste: Senyawa Bisfenol A tidak untuk kemasan pangan
Namun, lima tahun berselang tepatnya pada 2015, Otoritas Keamanan Pangan Eropa menurunkan nilai tolerir BPA menjadi 4 mikrogram pe kilogram berat badan. Pada 2021, mereka kembali menurunkan nilai tolerir hingga 100 ribu kali lebih rendah dibandingkan nilai tolerir BPA pada tahun 2015 lalu.
"Artinya ada informasi akurat bagi mereka dalam pengertian ini sesuatu yang menjadi consent bahkan dibatasi dengan ketat," ujar Budiawan.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah melakukan survei lapangan mengenai kandungan BPA dalam air minum dalam kemasan dengan hasil sebanyak 3,4 persen sampel di sarana peredaran tidak memenuhi syarat batas maksimal migrasi BPA, yaitu 0,6 bagian per juta (bpj).
Dalam survei lapangan yang dilakukan pada 2021 sampai 2022 tersebut, BPOM menemukan fakta ada 46,97 persen sampel di sarana peredaran dan 30,91 persen sampel di sarana produksi sudah masuk kategori mengkhawatirkan berada pada kisaran 0,05 bpj sampai 0,6 bpj.
Dalam survei lapangan itu juga ditemukan ada 5 persen sampel galon baru di sarana produksi dan 8,67 persen di sarana peredaran yang sudah masuk kategori berisiko terhadap kesehatan dengan kandungan BPA di atas 0,01 bpj.
Baca juga: BPOM diminta percepat pelabelan galon guna ulang
Koordinator Kelompok Substansi Standardisasi Bahan Baku, Kategori, Informasi dan Harmonisasi Pangan Olahan BPOM Yeni Restiani mengatakan hasil penelitian itu telah membuktikan bahwa senyawa BPA ada di dalam air kemasan yang masyarakat minum.
"Bagi kami ini menjadi peringatan yang perlu diatur dan menjadi latar belakang kenapa BPOM melakukan inisiasi untuk merevisi peraturan," kata Yeni.
Sejak 2021 lalu, BPOM sudah mulai melakukan revisi regulasi tentang pengawasan pangan yang salah satunya adalah mengatur tentang batas migrasi BPA dengan batas maksimal 0,06 bpj.
BPOM telah melakukan pembahasan dengan kementerian dan lembaga, pakar, dan stakeholders, termasuk konsultasi publik dengan konsumen maupun pengusaha untuk melihat dan memahami revisi regulasi yang sedang disusun tersebut.
Setiap air mineral dalam kemasan yang dikemas dengan plastik polikarbonat wajib mencantumkan informasi berpotensi mengandung BPA, seperti kalimat peringatan yang kini tertera pada setiap kemasan rokok.
Revisi itu memiliki grace period sampai dengan dua tahun sejak regulasi tersebut akan disahkan menjadi peraturan terbaru.
Baca juga: Ombudsman RI: Gencarkan sosialisasi bahaya BPA pada galon guna ulang
Baca juga: Akademisi ingatkan bahaya BPA pada air minum kemasan bagi manusia