Biak (ANTARA) - Dominasi laki-laki di ruang publik dan politik memang masih kuat. Namun, belakangan ini partisipasi kaum perempuan asli Papua di lembaga politik maupun dan institusi publik kian menggembirakan.

Perempuan asli Papua kian menyadari bahwa kaumnya mempunyai potensi yang tidak kalah dengan laki-laki termasuk dalam hal memimpin.

Kepemimpinan pada dasarnya tidak mengenal sekat gender sehingga sebagai individu, kaum hawa juga bisa berperan sebagai pemimpin.

Banyak yang menghubungkan antara kemampuan individu dalam memimpin dengan aspek biologis yang melekat pada diri perempuan. Padahal mengaitkannya dengan hal itu sama sekali tidak relevan dan tidak pula faktual. Setiap individu, laki-laki maupun perempuan, memiliki hak dan kesempatan sama tampil sebagai pemimpin.

Oleh karena itu, sudah saatnya perempuan Papua mengisi kuota keterwakilan di parlemen sedikitnya 30 persen.

Keterlibatan perempuan asli Papua di lembaga politik dan pemerintahan, menurut Ketua DPRD Biak Milka Rumaropen, dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan.

Untuk memberi partisipasi lebih luas kepada perempuan Papua, partai politik diminta bisa merekrut melampaui dari kuota 30 persen yang disediakan guna memberikan akses kepada kaum perempuan Papua.

Salah satu indikator tren peningkatan keterwakilan perempuan saat ini terlihat di DPRD Biak dan DPRP Papua hasil Pemilu 1999 hingga Pemilu 2019.

Hasil Pemilu 1999 hingga 2014, keterwakilan perempuan Papua di lembaga legislatif masih sedikit.

Namun, seiring dengan makin banyaknya partai politik mengusung perempuan Papua menjadi calon anggota legislatif, pada Pemilu 2019 banyak perempuan terpilih menjadi anggota dewan.

Di DPRD Biak, misalnya, hasil Pemilu 2019 menempatkan empat perempuan Papua sebagai anggota dewan, dua di antara terpilih sebagai Ketua DPRD, yakni Milka Rumaropen (Fraksi PDIP) dan Wakil Ketua Aneta Kbarek (Fraksi Golkar) .

Sejalan dengan diterbitkannya UU No. 2 tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua, peluang keterpilihan perempuan asli Papua kian terbuka.

Potensi
Akademisi Uncen Papua cum mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Yohana Yembise menyatakan perempuan Papua harus maju dan tidak terkurung dalam kegelapan intelektual.

Perempuan Papua yang dulu hanya diperbolehkan membersihkan rumah, memasak, menjahit, dan mengurus anak di rumah, kini sudah dapat menikmati pendidikan, kesehatan, dan hak politik yang sejajar dengan kaum pria.

Tugas dan tanggung jawab seorang perempuan bukan sekadar menjadi pelengkap isi rumah tangga namun harus bisa membicarakan arah kemajuan bangsa dan daerahnya.

Untuk bisa memperjuangkan kaumnya, representasi perempuan di bidang politik harus diperbesar, caranya dengan terlibat dalam organisasi politik hingga menjadi anggota legislatif.

Perempuan yang terjun dalam dunia politik, menurut dia, masih terbelenggu dengan latar belakang, budaya patriarki, serta perbedaan gender karena masih ada anggapan sumir bahwa perempuan memiliki kelemahan dan kekurangan.

Oleh karena itu, perempuan Papua harus diberikan ruang dan kesempatan mengekspresikan potensi diri untuk berpartisipasi aktif membangun tanah Papua yang sejahtera, berkeadilan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi.

Saat ini memang selalu ada upaya untuk mengatasi persoalan tersebut agar ke depan perempuan Papua bisa menjadi tuan di negeri sendiri.

Perempuan Papua masih menghadapi beberapa kendala untuk menyejajarkan diri dengan laki-laki di berbagai bidang.

Untuk menjadi politikus, misalnya, kesempatan perempuan relatif masih terbatas karena bias persepsi pembagian peran yang membatasi peran perempuan hanya pada urusan rumah tangga.

Kurangnya representasi perempuan di lembaga politik, antara lain, disebabkan masih kuatnya budaya patriarki.

Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 Pasal 55 ayat 2 menerapkan zipper system yang mengatur sekurang-kurangnya satu orang perempuan harus masuk dalam penempatan jabatan apa pun.

Namun, pemenuhan kuota 30 persen keterwakilan perempuan di lembaga parlemen masih harus terus diperjuangkan. Kuota tersebut tidak tercapai bahkan malah menimbulkan pro dan kontra di internal partai politik tertentu.

Ketua Tim Penggerak PKK Biak Ruth Naomi Rumkabu menegaskan keterlibatan perempuan Papua menjadi syarat mutlak dalam upaya mewujudkan pembangunan yang setara dan berkeadilan.

Negara tidak mungkin sejahtera jika kaum perempuan dibiarkan tetap tertinggal, tersisihkan, dan menjadi penonton derap pembangunan daerah.

Kesetaraan gender

Ia mengajak semua perempuan di Kabupaten Numfor bersama-sama membantu program pemerintah dalam mewujudkan kesetaraan gender.

Kaum perempuan di tanah Papua saat ini memang masih tertinggal di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hingga keterwakilan perempuan dalam lembaga politik dan pemerintahan.

Sejumlah tantangan dihadapi perempuan Papua, antara lain, gencarnya perubahan arus modernisasi di semua lini kehidupan dan di lingkungan keluarga. Pengaruh modernisasi menimbulkan perubahan tata nilai atau tatanan sosial kemasyarakatan yang tidak sesuai dengan kebiasaan adat istiadat setempat.

Papua masih kental dengan budaya patriarki sehingga perempuan dipandang sebagai orang lemah dan tidak mampu.

Faktor kepemimpinan juga sangat berhubungan erat dengan proses seleksi yang ada dalam partai politik. Seleksi caleg perempuan biasanya dilakukan oleh sekelompok kecil pimpinan partai, yang hampir selalu didominasi laki-laki.

Kendala lain, perempuan Papua masih kurang percaya diri dengan kemampuan dan kompetensi dimilikinya.

Media massa pun berperan penting dalam membangun opini publik mengenai pentingnya representasi keterwakilan perempuan dalam parlemen dan pemerintahan.

Sementara hal lain menjadi tantangan dihadapi perempuan Papua yakni keterbatasan sumber daya finansial.

Terjun di dunia politik perempuan tidak hanya mengandalkan kemampuan intelektual namun harus ditopang kapasitas lainnya.

Kaum perempuan Papua sering kali dihadapkan dengan kaum laki-laki dalam memperebutkan kursi jabatan dalam lingkup pemerintah maupun kehidupan sosial kemasyarakatan.

Dalam praktik demokrasi di Papua tidak dibenarkan ada diskriminasi, pengotakan, atau pengkelasan dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Semua warga Papua harus dianggap sebagai entitas yang sama dan sejatinya harus diperlakukan secara berkeadilan dalam ruang politik, ekonomi, dan sosial kemasyarakatan.

Pemberlakuan UU No 2 Tahun 2021 tentang otonomi khusus Papua secara implementasi juga memberikan hak istimewa kepada keterwakilan perempuan Papua untuk bisa berkiprah di lembaga kultural Majelis Rakyat Papua. Sedangkan Peraturan Pemerintah 106 Tahun 2021 tentang Pengisian Anggota DPRP yang diangkat 1/4 (seperempat) kali dari jumlah anggota DPRP yang dipilih melalui pemilu.

Adapun anggota DPRK yang diangkat dari unsur orang asli Papua sebanyak 1/4 (seperempat) kali dari jumlah anggota DPRK, membuka kesempatan perempuan Papua menjadi anggota legislatif melalui pengangkatan jalur otonomi khusus.

Adanya kebijakan khusus tersebut menjamin perempuan Papua mendapatkan akses ke sektor publik termasuk di lembaga politik maupun pemerintahan.






Editor: Achmad Zaenal M