Ternate (ANTARA) - Melahirkan kembali tenun Tidore yang sudah punah ratusan tahun sungguh bukan pekerjaan main-main.

Anita Gathmir, sosok dibalik lahirnya kembali kain tenun Tidore sekaligus pendiri Puta Dino Kayangan, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang bergerak di bidang tekstil.

Ibarat merangkai puzzle, perlu mengumpulkan berbagai catatan, penelitian hingga bukti-bukti sejarah bahwa tenun Tidore memang benar pernah ada di masa silam.

Apalagi, Kesultanan Tidore adalah kerajaan Islam yang cukup besar di Maluku Utara. Pada masa kejayaannya (sekitar abad ke-16 sampai abad ke-18), kerajaan ini menguasai sebagian besar Pulau Halmahera selatan, Pulau Buru, Pulau Seram, dan banyak pulau-pulau di pesisir Papua barat.

"Namun di upacara adat kami, malah pakai kain dari luar," tutur Anita, demikian ia biasa disapa.

Kain, alat tenun, maupun perajin sudah tidak lagi dapat dijumpai berada di antara masyarakat Tidore, Maluku Utara. Padahal Kesultanan Tidore dan masyarakat Tidore masih mempertahankan banyak tradisi dan ritual yang mengharuskan berpakaian adat, yang salah satunya adalah pemakaian kain tenun.

Kemudian muncul sebuah pertanyaan besar dalam benak Anita, mengapa kain khas Tidore tidak pernah muncul dalam acara formal, termasuk diantaranya adalah upacara-upacara adat.

Identitas Tidore harus hadir kembali. Ini bukan urusan main-main, ini adalah sebuah kehilangan besar yang tidak boleh dibiarkan.

Berbekal semangat dan alasan-alasan yang penuh tekad tersebut, Anita berupaya mewujudkan mimpi merevitalisasi kain tenun Tidore.
Pekerja menenun kain khas Tidore di rumah tenun Puta Dino Kayangan, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, Sabtu (15/10/2022). (ANTARA/Zubi Mahrofi)

Awalnya, data maupun informasi terkait kain Tidore cukup minim, bahkan nyaris tidak ada.

Anita, seorang perempuan kelahiran Soasio Tidore tergerak mengajak para pemuda Tidore (Ngofa Tidore) untuk menghidupkan kembali budaya menenun di tanah Tidore.

Jejak tenun Tidore sendiri dimulai dari ditemukannya alat tenun gedogan sulam yang sudah tua, rapuh, dan tidak terawat yang ada di Kedaton (Istana Sultan) di Tidore.

"Saya dikasih tahu paman, ia cerita dulu pernah lihat alat tenun, tapi sudah ditaruh di langit-langit rumah, artinya tidak terpakai. Saya akhirnya mendapatkan informasi," tuturnya.

Anita yang masih bagian dari keluarga Kesultanan Tidore itu tidak kesulitan untuk memasuki Kedaton demi sekedar melihat alat tenun maupun motif khas Tidore.

Di Kedaton Kesultanan Tidore ditemukan sebuah motif anyaman bambu. Motif anyaman bambu yang ditemukan itu menginspirasi pembuatan motif tenunannya nanti.

Di sisi lain, seorang nenek (Ibu Zaenab) asal Gurabati, Kecamatan Tidore Selatan, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara memberikan kepadanya kain tenun. Pengungkapan keberadaan tenun Tidore di masa lampau inipun sedikit mulai terbuka.

Anita mengatakan, masyarakat Gurabati pernah berkegiatan menenun atau membuat kain dengan alat yang sederhana. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh para wanita dewasa. Namun sayangnya, kegiatan menenun tidak diteruskan oleh anak-anaknya.

Dari berbagai penelusuran inilah akhirnya bisa dipastikan bahwa jaman dahulu ada kegiatan menenun dan memproduksi tenun di Tidore.

"Saya yakin pasti ada kain khas Tidore," ucapnya.

Informasi juga didapat dari cerita orang-orang tua yang umurnya sekitar 80-an tahun bahwa kain Tidore memang ada. Tapi bentuknya seperti apa, belum jelas.

Seiring berjalannya waktu, akhirnya didapati foto hitam putih kesultanan dalam suatu acara dengan menggunakan kain tenun, kain tenun itu pun diyakininya bahwa itu adalah kain khas Tidore.

Dengan dukungan penuh Bank Indonesia (BI) cabang Maluku Utara dibantu juga Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), Anita dan para pemuda Tidore mendapatkan pendampingan untuk merevitalisasi kain tenun khas Tidore.

Dengan dukungan-dukungan itu, Anita mengirimkan sejumlah pemuda dan pemudi Tidore untuk belajar menenun di Jawa. Anita juga mendatangkan guru Tenun ke Tidore.

Penelusuran akan motif khas Tidore pun terus dilakukan seiring dengan perluasan dan pengukuhan keterampilan (skill) menenun yang sudah didapat pemuda dan pemudi Tidore hingga akhirnya mendirikan sebuah rumah khusus tenun yang diberi nama Rumah Tenun Puta Dino Kayangan Ngofa Tidore yang diresmikan operasionalnya pada 14 September 2019.

"Berjalannya waktu kami meyakini bisa menjadi usaha terutama untuk anak-anak di Tidore," tuturnya.
Pekerja menampilkan salah satu motif tua kain khas Tidore di Rumah Tenun Puta Dino Kayangan, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, Sabtu (15/10/2022). (ANTARA/Zubi Mahrofi)


Revitalisasi kain tenun

Revitalisasi kain tenun Tidore berarti membangun ulang nilai-nilai budaya dan kearifan lokal masyarakat Tidore lewat media tenun.

Karena itu, masyarakat Tidore, khususnya yang generasi muda diajak untuk ikut terlibat dalam pelaksanaan revitalisasi tersebut.

Dengan berbagai upayanya, Anita terbilang berhasil menghadirkan kembali kain tenun, wastra milik Tidore yang kemudian diberi nama sebagai Puta Dino Kayangan, mengambil bahasa daerah Tidore.

Puta berarti kain, Dino berarti jahit atau susun, dan Kayangan tinggi. Jika ketiga kata itu digabungkan maka Puta Dino Kayangan berarti jahitan atau susunan kain yang memiliki nilai tinggi.

UMKM bidang tekstil itu pun kemudian memproduksi kain tenun berdasarkan foto-foto yang terekam di Kesultanan Tidore.

Motif anyaman bambu yang sempat ditemukan di Kedaton Kesultanan Tidore kini sudah diproduksi oleh Puta Dino yang diberi nama "Jodati" yang memiliki arti ketulusan.

Motif Jodati itu bermakna masyarakat Tidore yang selalu melakukan sesuatu bersama-sama dan mengesampingkan kepentingan pribadi.

Setidaknya, terdapat 12 motif kain tenun Tidore yang memiliki makna di dalamnya, diantaranya Marasante yang berarti keberanian, terbukti bahwa kesultanan Tidore memiliki daerah kekuasaan yang begitu luas. Barakati (diberkati), motif ini menggambarkan mahkota yang menghadap ke atas dan ke bawah dan juga gambar empat penjuru mata angin, menceritakan pemimpin yang melindungi seluruh rakyatnya.

Kemudian, motif Marimoi yang menceritakan tentang empat kesultanan besar, yakni Kesultanan Tidore, Kesultanan Ternate, Kesultanan Bacan, dan Kesultanan Jailolo yang pada masa itu bersatu agar menjadi kuat.

Serta motif tua Tobaru, menggambarkan sebuah rantai. Menceritakan tentang masyarakat adat Tidore yang hidup di Halmahera yang gambar rantainya merupakan simbol penghubung empat gunung atau Kesultanan.

Kain tenun Tidore yang merupakan kain adat kesultanan Tidore yang sempat hilang sekitar 100 tahun itu pun menjadi salah satu produk UMKM unggulan dalam Gernas BBI Maluku Utara 2022.

Melalui Puta Dino Kayangan, kekuatan Kesultanan Tidore masa lalu seolah kembali hidup. Diharapkan anak dan cucu Tidore akan menjaga peninggalan ini, dengan gaya muda mereka.

​​​​