Jakarta (ANTARA) - Psikiater dari Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo dr. Gina Anindyajati, SpKJ mengatakan ekosistem kampus perlu memiliki kepekaan terhadap risiko bunuh diri yang bisa menyerang mahasiswa, dan diharapkan mampu menjadi garda terdepan dalam mencegah kasus bunuh diri.

"Pihak kampus perlu mengembangkan kepekaan terhadap risiko bunuh diri yang cukup tinggi pada populasi remaja usia transisi. Ada begitu banyak adaptasi yang perlu dilakukan oleh mahasiswa selama menjalani kehidupan kampusnya, sehingga perlu juga disiapkan sistem dukungan yang mumpuni oleh kampus," kata dr. Gina dalam keterangan yang diterima ANTARA, Jumat.

Lebih lanjut, psikiater lulusan Universitas Indonesia tersebut juga mengatakan, mengembangkan kampus yang aman dan nyaman, baik secara fisik maupun mental juga dirasa penting. Sehingga, para peserta didik dapat terbebas dari risiko berbagai risiko kekerasan, yang merupakan hal lain yang menjadi faktor risiko utama masalah kesehatan jiwa.

Selain itu, dr. Gina juga mengatakan tiap kampus memiliki sistem pendampingan berlapis, mulai dari pendampingan sebaya, mentor akademik, hingga layanan kesehatan jiwa formal.

"Sebaiknya setiap kampus memiliki program layanan kesehatan mental yang dapat diakses secara bebas oleh mahasiswa, mulai dari pembekalan saat maba (mahasiswa baru) maupun pendampingan selama masa kuliah," ujar dr. Gina.

"Lalu, (kampus) bekerja sama dengan stakeholders terkait untuk menciptakan lingkungan kampus yang aman dan meminimalkan akses kepada alat yang berisiko digunakan untuk mengakhiri hidup," imbuhnya.

Upaya pencegahan bunuh diri di lingkungan akademis pun tidak hanya dilakukan oleh pihak kampus saja, menurut Gina. Teman-teman di lingkungan perguruan tinggi juga memiliki peranan penting dalam upaya pencegahan tersebut.

"Sebagai teman, maka kita perlu belajar peka dengan keadaan orang sekitar kita, termasuk menangkap ungkapan yang mengarah pada ketidaknyamanan, apalagi ide untuk mengakhiri hidup," kata dr. Gina.

Adapun sikap yang dapat ditunjukkan sebagai teman antara lain mendengarkan tanpa menghakimi, berusaha memahami posisi yang bercerita, mendukung teman tersebut untuk mencari pertolongan, bahkan berperan secara aktif menemani bila diperlukan.

"Kehadiran kita secara utuh (tanpa ada distraksi atau selingan) memiliki makna yang besar bagi orang yang sedang membutuhkan dukungan, oleh karena itu kita juga perlu menyiapkan diri sebelum memberi pertolongan," kata dia.

"Pastikan kita dalam kondisi yang cukup mampu untuk membantu. Kita juga bisa belajar menjadi penolong dengan mengikuti berbagai kegiatan seminar yang marak diselenggarakan selama pandemi ini," ujarnya menambahkan.

Baca juga: Waspada, ini "red flag" dalam hubungan asmara

Baca juga: Waspada, ini sinyal pasangan berpotensi lakukan KDRT

Baca juga: Penguatan kesehatan mental komunitas