Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan terjadinya resistensi antimikroba (AMR) perlu diwaspadai karena mengancam ketahanan pangan dan produktivitas hewan-hewan ternak di Indonesia.

“Resistensi antibiotik tidak hanya mengancam kelangsungan kemampuan dalam mengendalikan penyakit infeksi pada hewan, tetapi juga sangat mengancam keberlangsungan ketahanan pangan terutama kelangsungan produktivitas bidang peternakan,” kata Sekretaris Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan Makmun dalam Media Gathering Bersama WHO dan FAO di Jakarta, Rabu.

Ia menuturkan AMR memungkinkan terjadi dalam aspek pertanian, bila masyarakat tidak segera melakukan upaya konkret dalam pengendalian antimikroba. Hal itu disebabkan oleh kesehatan hewan yang memengaruhi pasokan pangan.

Bakteri-bakteri atau mikroba yang ada di dalam tubuh hewan, bisa dipaparkan terlebih dahulu di suatu lingkungan dengan antibiotik yang rendah. Paparan kemudian membuat hewan tersebut kebal dan terjadi eksposur dari tubuh hewan.

Bila terpapar, hewan yang bersangkutan dapat membahayakan manusia yang mengonsumsinya akibat adanya potensi penularan melalui asupan makanan tersebut.

“Makanya kami melakukan pelarangan (penggunaan antimikroba, red.), kalau itu tantangannya juga luar biasa. Namun demikian bahwa kesehatan ini harus kita jaga segala tantangan yang harus kita hadapi secara bersama-sama,” katanya.

Baca juga: Kemenkes: AMR ancam turunkan kualitas pelayanan kesehatan

Menurutnya, AMR dapat menjadi pandemi senyap yang membahayakan keberlangsungan hidup hewan. Dengan demikian, pendekatan one health harus bangun kesatuan dalam langkah dan gerak harmonisasi.

Kementan juga menghindari penggunaan antimikroba pada pengendalian kesehatan pada manusia, supaya tidak ada residu dan risiko.

Kementan dalam mendukung perbaikan pada kesehatan manusia turut menerbitkan peraturan yakni Keputusan Menteri Pertanian Nomor 9736 Tahun 2020 tentang klasifikasi obat hewan yang melarang penggunaan colistin pada ternak yang produknya dikonsumsi manusia.

Kementan juga berperan aktif dalam menyusun regulasi dan kebijakan lintas sektor dalam pengendalian AMR untuk menyusun aturan sehingga bisa mencegah meningkatnya kejadian AMR.

Makmun menambahkan Kementan sedang melakukan modernisasi pola peternakan yang dulu berbentuk open site, berubah menjadi close house sebagai upaya kontaminasi dari berbagai mikroba berkurang.

“Jadi penyakit pada ternak berkurang, tentu penggunaan antimikroba di dalam industri peternakan jadi berkurang. Ini yang harus kita lakukan, dengan begitu penggunaannya berkurang tentu risiko resistensi juga akan berkurang,” katanya.

Baca juga: Kemenko PMK minta produsen beri label antimikroba minimalisir AMR

Dengan demikian, Makmun menekankan bahwa salah satu usaha keberlanjutan di pertanian memastikan bagaimana degradasi lingkungan tidak semakin menurun.

Dirinya turut mengajak semua pihak untuk mulai melakukan perbaikan yang signifikan pada kompleksitas ancaman kesehatan dan perkembangan epidemiologi penyakit infeksi baru ataupun AMR.

“Kami mengajak peran aktif sektor pelaku usaha dan asosiasi profesi, untuk dapat mempromosikan kesadaran menerapkan praktik-praktik baik dalam mendukung penggunaan antimikroba yang bijak dan bertanggung jawab,” ujarnya.

Baca juga: WHO: Cermati resistensi antimikroba hindari penyakit sulit diobati
Baca juga: Kemenkes: Resistensi antimikroba jadi pandemi senyap ancam dunia