Telaah
Mencapai nilai tukar petani yang ideal untuk Indonesia
Oleh Entang Sastraatmadja*)
12 Oktober 2022 20:32 WIB
Dokumen - Petani mengecek padi rawa di areal ekstentifikasi lahan sawah untuk food estate di Desa Pilang, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Sabtu (8/10/2022). . ANTARA FOTO/Makna Zaezar/rwa.
Jakarta (ANTARA) - Badan Pusat Statistik (BPS) kembali merilis Nilai Tukar Petani (NTP) pada September 2022 mencapai 106,82 atau naik sebesar 0,49 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Penyebab kenaikan tersebut dikarenakan indeks harga yang diterima petani meningkat sebesar 1,62 persen.
NTP meningkat karena indeks harga yang diterima petani jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan indeks yang harus dibayar petani.
Di sisi lain, sebanyak 19 provinsi di seluruh Indonesia juga mengalami kenaikan NTP. Hal inilah yang mendorong dan berkontribusi besar terhadap kenaikan NTP nasional.
Indeks harga yang diterima petani mengalami peningkatan 1,62 persen. Wilayah Sulawesi Barat menjadi daerah tertinggi yang mengalami kenaikan NTP, yaitu sebesar 6,20 persen.
BPS juga menggambarkan secara detail, penyebab kenaikan NTP dipengaruhi oleh naiknya subsektor tanaman pangan yang mencapai 1,49 persen dan perkebunan rakyat yang mencapai 0,62 persen.
Adapun penyumbang kenaikan tersebut berasal dari komoditas kelapa sawit, gabah, kopi, dan cabe rawit, yang memberi kontribusi secara signifikan terhadap kenaikan NTP tersebut.
Dalam 20 tahun terakhir ini, NTP memang dalam grafik yang naik turun dan berada pada kisaran angka 98 - 109. Naik turun sudah seperti menjadi "kebiasaan" bagi NTP.
Jika NTP dimaknai dengan tingkat kesejahteraan petani, betapa memilukannya nasib dan kehidupan petani di negara ini. Kalau angkanya di atas 100, petani berhak disebut sejahtera. Tapi sebaliknya, kalau angkanya di bawah 100, petani dikatakan tidak sejahtera.
Catatan kritisnya adalah mengapa kebijakan pembangunan petani di negeri ini belum mampu mendorong NTP ke angka yang ideal, atau tetap konsisten pada posisi angka NTP di atas 100.
Bahkan akan lebih indah, jika negeri ini mampu mengarahkan NTP pada angka 120. Ini yang akan menjadi terobosan cerdas menyejahterakan petani.
Angka NTP sebesar 120 menunjukkan ada peningkatan kesejahteraan petani yang lebih nyata dan terasakan oleh para petani dan keluarganya.
Persoalannya, mengapa Indonesia seperti terasa sulit untuk mencapai angka NTP 120? Inilah yang butuh kejujuran untuk menjawabnya.
Lantaran terkait langsung dengan upaya untuk menyejahterakan petani, maka niat ini harus sama-sama dibangun oleh seluruh elemen bangsa ini tanpa kecuali. Jangan sampak ada pihak yang justru kontraproduktif atau cenderung ingin mempertahankan NTP agar tetap berada dalam kisaran mendekati angka 100. Ini sebetulnya yang perlu dibincangkan lebih lanjut.
Kesejahteraan petani
Sepertinya sudah banyak keinginan agar perhitungan NTP untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani perlu dikaji ulang.
Banyak kalangan malah menilai NTP itu sudah kurang sesuai dengan situasi saat ini. Derajat kesejahteraan petani, tidak bisa lagi hanya diukur dari rasio pendapatan yang diperoleh petani dengan pengeluaran keseharian petani guna mempertahankan kehidupannya.
Atas hal yang demikian, wajar jika diskusi tentang perlunya mencari ukuran yang lebih pas untuk menilai kesejahteraan petani, hingga kini masih terus berlangsung.
Apalagi setelah Bank Dunia mengubah batas garis kemiskinan, yang membuat jumlah orang miskin di negeri ini bertambah sebesar 13 juta orang. Dapat dipastikan sebagian besar dari mereka adalah para petani gurem dan petani buruh.
Warga miskin di negeri ini, tentu memiliki hak untuk hidup sejahtera. Sebagaimana anak bangsa yang sekarang terlihat hidup serba berkecukupan, bahkan ada yang memiliki jet pribadi segala, para warga miskin pun berhak untuk menjadi penikmat pembangunan.
Tidak ada satu aturan di negeri ini yang melarang warga miskin untuk merasakan betapa indahnya kemerdekaan.
Untuk mewujudkan hal yang seperti ini, pemerintah memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk mewujudkannya.
Petani punya hak, pemerintah punya kewajiban. Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa setelah 77 tahun merdeka, sebagian warga miskin, khususnya petani gurem dan buruh tani, masih terjebak dalam suasana hidup miskin? Kapan mereka pun akan mampu merasakan hidup layak sebagai warga bangsa yang berkarakter?
Inilah "pekerjaan rumah" bersama. Keinginan pemerintah untuk mendongkrak produksi pertanian setinggi-tingginya sehingga swasembada, mestinya dibarengi pula dengan upaya untuk mampu meningkatkan kesejahteraan para petaninya.
Dalam hal peningkatan produksi, khususnya padi, negeri ini memang beberapa kali mendapat penghargaan dunia lewat kisah sukses swasembada beras.
Sayang, keberhasilan ini tidak dapat diikuti dengan semakin membaiknya kesejahteraan petaninya secara signifikan. Para petani padi, masih saja dihadapkan pada berbagai masalah klasik yang sepertinya sulit dituntaskan.
Saat musim tanam tiba, petani akan kesulitan mendapatkan pupuk, sedangkan pada saat musim panen tiba, petani selalu dihadapkan pada harga gabah yang rendah.
Semua tidak tahu persis, mengapa ada kesulitan untuk menuntaskan masalah ini. Ada apa sebetulnya dengan soal perpupukan dan soal harga gabah atau beras di tingkat petani?
Apakah disebabkan oleh tata kelola pupuk bersubsidi yang belum efisien, sehingga memungkinkan adanya oknum-oknum tertentu untuk memanfaatkan kesempatan yang ada? Atau ada hal lain, yang hingga kini masih belum terang benderang?
Setiap BPS merilis NTP, semua sering mempertanyakan apakah data ini selalu dijadikan dasar oleh penentu kebijakan dalam merancang dan merumuskan kebijakan, program, dan kegiatan di sektor pertanian yang disusunnya?
Apakah pemerintah sudah mulai menggunakan data BPS tentang NTP untuk mulai mencari terobosan cerdas untuk mendorong naiknya NTP ini? Termasuk di dalamnya soal NTP yang pantas untuk diperoleh para petani.
Berapa NTP yang sebaiknya diterima petani? Bagaimana kalau NTP ditarget sebesar 120? Lalu, langkah apa yang sebaiknya dilakukan agar NTP tidak hanya berkisar diantara angka 98 - 109?
Apakah semua akan tetap berdiam diri membaca data BPS yang menyimpulkan naik turunnya angka NTP? Mestinya memang semua pihak peduli dan bersinergi untuk ikut serta memberikan hak kesejahteraan kepada petani.
Semua elemen harus berani menjawab dan menetapkan target yang lebih pas untuk mengantarkan petani di negeri ini mampu hidup sejahtera dan bahagia.
*) Entang Sastraatmadja adalah Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.
Penyebab kenaikan tersebut dikarenakan indeks harga yang diterima petani meningkat sebesar 1,62 persen.
NTP meningkat karena indeks harga yang diterima petani jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan indeks yang harus dibayar petani.
Di sisi lain, sebanyak 19 provinsi di seluruh Indonesia juga mengalami kenaikan NTP. Hal inilah yang mendorong dan berkontribusi besar terhadap kenaikan NTP nasional.
Indeks harga yang diterima petani mengalami peningkatan 1,62 persen. Wilayah Sulawesi Barat menjadi daerah tertinggi yang mengalami kenaikan NTP, yaitu sebesar 6,20 persen.
BPS juga menggambarkan secara detail, penyebab kenaikan NTP dipengaruhi oleh naiknya subsektor tanaman pangan yang mencapai 1,49 persen dan perkebunan rakyat yang mencapai 0,62 persen.
Adapun penyumbang kenaikan tersebut berasal dari komoditas kelapa sawit, gabah, kopi, dan cabe rawit, yang memberi kontribusi secara signifikan terhadap kenaikan NTP tersebut.
Dalam 20 tahun terakhir ini, NTP memang dalam grafik yang naik turun dan berada pada kisaran angka 98 - 109. Naik turun sudah seperti menjadi "kebiasaan" bagi NTP.
Jika NTP dimaknai dengan tingkat kesejahteraan petani, betapa memilukannya nasib dan kehidupan petani di negara ini. Kalau angkanya di atas 100, petani berhak disebut sejahtera. Tapi sebaliknya, kalau angkanya di bawah 100, petani dikatakan tidak sejahtera.
Catatan kritisnya adalah mengapa kebijakan pembangunan petani di negeri ini belum mampu mendorong NTP ke angka yang ideal, atau tetap konsisten pada posisi angka NTP di atas 100.
Bahkan akan lebih indah, jika negeri ini mampu mengarahkan NTP pada angka 120. Ini yang akan menjadi terobosan cerdas menyejahterakan petani.
Angka NTP sebesar 120 menunjukkan ada peningkatan kesejahteraan petani yang lebih nyata dan terasakan oleh para petani dan keluarganya.
Persoalannya, mengapa Indonesia seperti terasa sulit untuk mencapai angka NTP 120? Inilah yang butuh kejujuran untuk menjawabnya.
Lantaran terkait langsung dengan upaya untuk menyejahterakan petani, maka niat ini harus sama-sama dibangun oleh seluruh elemen bangsa ini tanpa kecuali. Jangan sampak ada pihak yang justru kontraproduktif atau cenderung ingin mempertahankan NTP agar tetap berada dalam kisaran mendekati angka 100. Ini sebetulnya yang perlu dibincangkan lebih lanjut.
Kesejahteraan petani
Sepertinya sudah banyak keinginan agar perhitungan NTP untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani perlu dikaji ulang.
Banyak kalangan malah menilai NTP itu sudah kurang sesuai dengan situasi saat ini. Derajat kesejahteraan petani, tidak bisa lagi hanya diukur dari rasio pendapatan yang diperoleh petani dengan pengeluaran keseharian petani guna mempertahankan kehidupannya.
Atas hal yang demikian, wajar jika diskusi tentang perlunya mencari ukuran yang lebih pas untuk menilai kesejahteraan petani, hingga kini masih terus berlangsung.
Apalagi setelah Bank Dunia mengubah batas garis kemiskinan, yang membuat jumlah orang miskin di negeri ini bertambah sebesar 13 juta orang. Dapat dipastikan sebagian besar dari mereka adalah para petani gurem dan petani buruh.
Warga miskin di negeri ini, tentu memiliki hak untuk hidup sejahtera. Sebagaimana anak bangsa yang sekarang terlihat hidup serba berkecukupan, bahkan ada yang memiliki jet pribadi segala, para warga miskin pun berhak untuk menjadi penikmat pembangunan.
Tidak ada satu aturan di negeri ini yang melarang warga miskin untuk merasakan betapa indahnya kemerdekaan.
Untuk mewujudkan hal yang seperti ini, pemerintah memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk mewujudkannya.
Petani punya hak, pemerintah punya kewajiban. Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa setelah 77 tahun merdeka, sebagian warga miskin, khususnya petani gurem dan buruh tani, masih terjebak dalam suasana hidup miskin? Kapan mereka pun akan mampu merasakan hidup layak sebagai warga bangsa yang berkarakter?
Inilah "pekerjaan rumah" bersama. Keinginan pemerintah untuk mendongkrak produksi pertanian setinggi-tingginya sehingga swasembada, mestinya dibarengi pula dengan upaya untuk mampu meningkatkan kesejahteraan para petaninya.
Dalam hal peningkatan produksi, khususnya padi, negeri ini memang beberapa kali mendapat penghargaan dunia lewat kisah sukses swasembada beras.
Sayang, keberhasilan ini tidak dapat diikuti dengan semakin membaiknya kesejahteraan petaninya secara signifikan. Para petani padi, masih saja dihadapkan pada berbagai masalah klasik yang sepertinya sulit dituntaskan.
Saat musim tanam tiba, petani akan kesulitan mendapatkan pupuk, sedangkan pada saat musim panen tiba, petani selalu dihadapkan pada harga gabah yang rendah.
Semua tidak tahu persis, mengapa ada kesulitan untuk menuntaskan masalah ini. Ada apa sebetulnya dengan soal perpupukan dan soal harga gabah atau beras di tingkat petani?
Apakah disebabkan oleh tata kelola pupuk bersubsidi yang belum efisien, sehingga memungkinkan adanya oknum-oknum tertentu untuk memanfaatkan kesempatan yang ada? Atau ada hal lain, yang hingga kini masih belum terang benderang?
Setiap BPS merilis NTP, semua sering mempertanyakan apakah data ini selalu dijadikan dasar oleh penentu kebijakan dalam merancang dan merumuskan kebijakan, program, dan kegiatan di sektor pertanian yang disusunnya?
Apakah pemerintah sudah mulai menggunakan data BPS tentang NTP untuk mulai mencari terobosan cerdas untuk mendorong naiknya NTP ini? Termasuk di dalamnya soal NTP yang pantas untuk diperoleh para petani.
Berapa NTP yang sebaiknya diterima petani? Bagaimana kalau NTP ditarget sebesar 120? Lalu, langkah apa yang sebaiknya dilakukan agar NTP tidak hanya berkisar diantara angka 98 - 109?
Apakah semua akan tetap berdiam diri membaca data BPS yang menyimpulkan naik turunnya angka NTP? Mestinya memang semua pihak peduli dan bersinergi untuk ikut serta memberikan hak kesejahteraan kepada petani.
Semua elemen harus berani menjawab dan menetapkan target yang lebih pas untuk mengantarkan petani di negeri ini mampu hidup sejahtera dan bahagia.
*) Entang Sastraatmadja adalah Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.
Copyright © ANTARA 2022
Tags: