"Jika kesehatan reproduksi tidak dilakukan pengendalian atau upaya, khusus untuk pekerja-pekerja perempuan terutama yang dengan kompetensi khusus maka akan menjadi masalah pada proses produksi perusahaan," kata Syahrul saat jadi pembicara dalam diskusi virtual membahas manfaat perlindungan anak dan fungsi reproduksi pekerja perempuan bagi keberlangsungan usaha di Jakarta, Selasa.
Dalam diskusi yang digelar Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) itu, Syahrul menjelaskan, berdasarkan penelitian, perusahaan yang berinvestasi kepada kesehatan pekerja, salah satunya reproduksi, mendapatkan beberapa manfaat dengan produktivitas meningkat tiga kali lipat, 50 persen lebih rendah kejadian cedera dan loyalitas pekerja lima kali lebih besar. Terjadi juga peningkatan kepercayaan pelanggan terhadap produk dari perusahaan yang peduli gender, brand perusahaan bernilai positif, pergantian karyawan yang minim karena masalah kesehatan spesifik dan peningkatan produktivitas karyawan.
Baca juga: Isu kesehatan reproduksi perlu dipahami remaja
Ia mengungkap, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2013 dan 2018 memperlihatkan salah satu masalah yang dialami masyarakat usia produktif di Indonesia adalah anemia. Dengan proporsi anemia ibu hamil meningkat dari 37,1 persen menjadi 48,9 persen.
Kondisi tersebut tentu akan berdampak terhadap kesehatan perempuan Indonesia, termasuk yang berstatus sebagai pekerja.
Dia mengingatkan bahwa fasilitas yang mendukung pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi, seperti ruang ASI dan klinik, wajib disediakan oleh perusahaan.
"Perusahaan wajib menyediakan itu. Kalau dia tidak bisa menyediakan secara langsung, bisa bekerja sama dengan pihak ketiga tapi dengan kontrak komitmen pelayanan kesehatan reproduksi kepada pekerja," jelasnya.
Baca juga: BKKBN: Pengetahuan kesehatan reproduksi kunci tekan kematian ibu-bayi