"Salah satu tantangan yang menurut saya cukup berat adalah memastikan upaya mitigasi yang sudah dirancang dan diskenariokan terus berlanjut. Hal ini tentu saja butuh konsistensi para pemangku kepentingan dari level pusat hingga daerah," ujar Dwikorita dikonfirmasi di Jakarta, Jumat.
Di Indonesia, ia mengatakan, tantangan mitigasi gempa bumi dan tsunami cukup kompleks. Kompleksitas itu bukan hanya soal fenomena tsunami, namun juga kondisi sosial, ekonomi, bahkan politik yang acap kali berakibat pada tidak tercapainya keberlanjutan (sustainabilitas) upaya mitigasi yang telah dilakukan.
Menurut Dwikorita, mitigasi yang dilakukan selayaknya tidak hanya berkutat pada inovasi teknologi dengan target kecepatan, ketepatan, dan keakuratan. Namun, juga harus berinovasi pada aspek sosial demi menjamin keberlangsungan aksi mitigasi tersebut.
Baca juga: Endapan kuarter dan bebatuan lapuk perkuat guncang gempa di Mamuju
Dari serangkaian pengalaman yang pernah dihadapinya, ia menyampaikan, seringkali upaya mitigasi yang dilakukan tidak berakhir menjadi success story pada saat tsunami.
"Poin pentingnya adalah keberlanjutan, tidak boleh putus di tengah jalan, termasuk kebijakan dan strategi pembangunan harus lebih akomodatif terhadap mitigasi bencana, mulai dari konstruksi fisik bangunan, hingga perencanaan tata ruang yang berdimensi mitigasi bencana," kata Dwikorita
Dalam event JRC/DG-ECHO/UNESCO-IOC Joint Hybrid Workshop on Local Tsunami Warning in the Context of Multi-Hazard Disaster Rosk Mitigation in the NEAM Region di Kantor Joint Research Center (JRC) Ispra Italia, Rabu (5/10), Dwikorita menyampaikan kolaborasi, sinergi dan koneksitas menjadi kunci utama dalam melakukan aksi mitigasi, menghadapi ancaman gempa bumi dan tsunami yang semakin kompleks.
Dalam kesempatan itu, Dwikorita juga menyampaikan, BMKG membentuk konsorsium konsorsium Gempabumi dan Tsunami Indonesia (KGTI) guna memperkuat sistem peringatan dini tsunami.
Konsorsium itu sebagai media kolaborasi, sinergi dan koneksitas antar para pakar dan peneliti gempa bumi dan tsunami dari berbagai Kementerian/Lembaga terkait, perguruan tinggi dan praktisi kebencanaan dengan BMKG.
Baca juga: BMKG analisis 17 gempa susulan Melonguane-Talaud
Ia mengatakan, pembentukan konsorsium akan memberikan masukan dalam penyusunan pengembangan dalam bidang gempa bumi, strategi monitoring, pengolahan, analisis data, modelling, diseminasi, emerging teknologi, dan pengembangan aplikasi untuk mendukung terwujudnya infrastruktur bangunan tahan gempa.
Selanjutnya, memberikan masukan dalam penyusunan rencana kerja bidang tsunami, program jangka pendek dan menengah, dalam strategi dan kebijakan pengamatan tsunami, pengolahan dan analisis data tsunami, modelling, diseminasi, layanan peringatan dini tsunami, dan seterusnya.
Dalam konteks inovasi sosial, Dwikorita mengatakan, BMKG memiliki target tercapainya 500 doktor atau 10 persen dari total pegawai BMKG sebelum tahun 2030.
Menurutnya, peningkatan kapasitas ini menjadi penting untuk meningkatkan kemampuan analisis saat melakukan monitoring dan analisis gempa bumi dan tsunami, sehingga dapat menghasilkan produk yang lebih akurat dan berkualitas.
Baca juga: BMKG ajak warga Kabupaten Sikka pahami mitigasi gempa bumi dan tsunami