Jakarta (ANTARA) - Pandemi COVID-19 memukul hampir seluruh sektor perekonomian tanpa pandang bulu sehingga pada akhirnya membuat pendapatan negara seret, utamanya penerimaan pajak.

Mulai muncul pada tahun 2019 di Tiongkok, virus mematikan tersebut membuat perekonomian Negeri Panda terjatuh dan memberikan dampak yang tak sedikit pada dunia, terutama kepada negara mitra dagang Tiongkok.

Indonesia pun mulai merasakan dampaknya pada Januari 2020 sehingga saat itu penerimaan pajak terkontraksi sebesar 6,86 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Padahal pada Desember 2019, penerimaan pajak masih bisa tumbuh 1,43 persen (year on year/yoy).

Setelah itu, penerimaan pajak terus tumbuh negatif bahkan berlanjut menjadi kontraksi dua digit sejak Mei 2020 dan mencapai titik terdalam pada Desember 2020 yang minus 19,71 persen (yoy).

Kontraksi selama tahun 2020 seiring tingginya angka kasus COVID-19 yang menyebabkan pembatasan kegiatan serta belum adanya obat yang bisa mengatasi virus tersebut. Namun seiring ditemukan vaksin COVID-19 dan vaksinasi perdana dimulai di Indonesia pada awal Desember 2020, penerimaan pajak mulai menemukan titik terang.

Meski masih terkontraksi sebesar 15,3 persen (yoy) pada Januari 2021, penerimaan pajak mulai membaik dengan penurunan kontraksi pada bulan Februari 2021, yakni minus 4,8 persen (yoy). Beberapa bulan setelahnya, kontraksi terus menurun hingga pada Mei 2021 penerimaan pajak mulai berhasil tumbuh positif, yakni 3,4 persen (yoy).

Perbaikan penerimaan pajak tersebut terus berlanjut hingga pengujung tahun 2021 bahkan menyentuh pertumbuhan dua digit mulai September sampai Desember 2021. Kala itu, Indonesia memang telah berhasil perlahan melewati puncak kasus COVID-19 akibat merebaknya varian Delta pada bulan Juli 2021.

Melonjaknya penerimaan pajak sepanjang tahun lalu membuat realisasi penerimaan pajak pada akhir tahun 2021 mencapai target untuk kali pertama dalam 12 tahun terakhir, yakni Rp1.277,5 triliun atau setara 103,9 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 sebesar Rp1.229,6 triliun.

Tercapainya target penerimaan pajak tahun lalu tersebut menggambarkan pemulihan ekonomi yang terjadi di Indonesia.

"Bahkan pada triwulan III-2021 dan triwulan IV-2021 terdapat peningkatan penerimaan pajak yang besar dan terlihat seperti tidak ada COVID-19," ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan capaian penerimaan pajak tahun lalu juga tercatat tumbuh 19,2 persen (yoy) dari penerimaan pajak tahun 2020 sebesar Rp1.072,1 triliun akibat terpukul pandemi COVID-19.

Perbaikan penerimaan pajak di 2021 juga berhasil membuat realisasi rasio pajak atau tax ratio mencapai 9,11 persen dari produk domestik bruto (PDB), melampaui target pemerintah sebesar 8,18 persen terhadap PDB.

Kinerja fantastis

Mengawali tahun 2022, penerimaan pajak makin menunjukkan kinerja fantastis dengan pertumbuhan 59,39 persen (yoy), yang salah satunya didukung oleh tren pertumbuhan ekonomi Indonesia yang membaik.

Kenaikan pertumbuhan yang menakjubkan tersebut terus berlangsung selama tahun ini, sampai pada akhirnya pada Agustus 2022 pun penerimaan pajak tetap tumbuh fantastis sebesar 58,06 persen (yoy) mencapai Rp1.171,77 triliun. Realisasi tersebut setara dengan 78,91 persen target penerimaan pajak terbaru yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022 yaitu Rp1.484,96 triliun.

Capaian yang kuat tersebut merupakan buah dari peningkatan harga komoditas, pemulihan ekonomi, penyesuaian insentif perpajakan, serta implementasi kebijakan pajak yang di antaranya mencakup Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dan penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Selain faktor-faktor umum yang telah disebutkan sebelumnya, beberapa faktor khusus dapat menjelaskan tingginya pertumbuhan penerimaan pajak bulan lalu. Pertama, penerimaan pajak bulan Agustus 2022 didorong oleh tingginya kinerja Pajak Penghasilan (PPh) Badan.

Tingginya kinerja penerimaan PPh Badan tersebut sejalan dengan peningkatan laba badan usaha pada semester I-2022. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), laba 722 emiten mengalami peningkatan sebesar 110,01 persen (yoy) pada kuartal pertama tahun ini.

Sementara pada triwulan II-2022, OJK mencatat pertumbuhan nilai laba sebesar 7.904,59 persen (yoy), 1.238,84 persen (yoy), dan 397,59 persen (yoy) secara berturut-turut dari emiten yang bergerak di bidang teknologi, transportasi, dan energi.

Faktor lainnya yang mendorong membaiknya kinerja penerimaan bulan Agustus 2022 dan berkontribusi besar adalah adanya pembayaran pajak atas aktivitas yang bersifat insidental seperti pembayaran dividen, bunga dan royalti, serta penjualan aset.

Masih berlanjutnya tren kenaikan harga komoditas, pemulihan ekonomi yang tetap terjaga, dan adanya penyesuaian atas tarif PPN dan kebijakan insentif diharapkan menjadi katalis terhadap normalisasi penerimaan pajak pascapandemi. Kondisi tersebut menumbuhkan optimisme penerimaan pajak pada paruh kedua tahun ini masih akan tumbuh dengan baik.

Kendati demikian, pertumbuhan penerimaan semester II-2022 kemungkinan tidak akan lagi didorong oleh beberapa faktor penentu penerimaan pada semester I-2022, seperti penerimaan dari PPS dan setoran PPh Orang Pribadi (OP) atau Badan secara tahunan. Hilangnya unsur pendorong tersebut diperkirakan berdampak pada laju pertumbuhan penerimaan pajak yang berpotensi melambat di paruh kedua tahun ini.

Adapun tingginya angka pertumbuhan penerimaan pajak tersebut merupakan resultan dari kinerja yang sangat baik pada masing-masing kelompok pajak utama. Jenis pajak dengan kontribusi terbesar 21,7 persen yaitu PPh Badan tumbuh 131,47 persen (yoy) menjadi Rp254,15 triliun.

PPh Badan merupakan jenis pajak yang secara konsisten mengalami pertumbuhan yang tinggi belakangan ini, yang sejalan dengan profitabilitas yang mulai membaik pada tahun 2021 dan ekspektasi berlanjutnya perbaikan tingkat profitabilitas pada tahun 2022.


Kenaikan harga komoditas

Dari sisi sektoral, penerimaan pajak mengalami pertumbuhan positif pada seluruh sektor utama, sebagai buah dari berlanjutnya pemulihan ekonomi dan kenaikan harga komoditas, serta bauran kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

Namun demikian, besaran laju pertumbuhan penerimaan di sektor pertambangan masih unggul dibanding laju pertumbuhan sektor utama lainnya dengan capaian sebesar 233,82 persen (yoy), yang merupakan dampak dari kenaikan pembayaran PPh Pasal 25/29 Badan yang tumbuh mencapai 416,17 persen (yoy).

Kenaikan pembayaran PPh Pasal 25/29 Badan tersebut menggambarkan kenaikan tingkat profitabilitas wajib pajak pada sektor tersebut, yang utamanya disebabkan oleh berlanjutnya tren kenaikan harga komoditas energi.

Sebagai ilustrasi, harga batu bara acuan (HBA) rata-rata sampai Agustus 2022 berada di atas rata-rata HBA periode yang sama tahun 2021 sehingga menyebabkan kenaikan nilai penjualan maupun laba yang pada akhirnya berdampak pada kenaikan pembayaran pajak dari wajib pajak pada sub sektor pertambangan batu bara.

Pada akhirnya, perbaikan kinerja pajak selama tahun 2022 berhasil membuat APBN mencatat surplus sejak Januari 2022yang senilai Rp28,9 triliun atau 0,16 persen PDB. Surplus tersebut terus berlanjut dan meningkat, yakni menjadi Rp19,7 triliun atau 0,11 persen PDB pada Februari 2022, 10,3 triliun atau 0,06 persen PDB pada Maret 2022.

Selanjutnya, surplus kas negara kian melonjak menjadi Rp103,1 triliun atau 0,58 persen PDB di April 2022, Rp132,2 triliun pada Mei 2022 atau 0,74 persen PDB, Rp73,6 triliun per Juni atau 0,39 persen PDB, Rp106,1 triliun di Juli atau 0,57 persen PDB, serta terakhir pada Agustus mencapai Rp107,4 triliun atau 0,58 persen PDB.

Dengan terus berlanjutnya surplus hingga bulan kedelapan tahun ini, defisit APBN diperkirakan Kemenkeu akan berada di level 3,92 persen PDB pada akhir tahun 2022 atau lebih rendah dari target APBN yang sebesar 4,5 persen PDB. Beberapa lembaga riset pun senada dengan proyeksi tersebut.

Center of Reform on Economics (Core) Indonesia yang memperkirakan defisit kas negara hanya akan mencapai 3,9 persen PDB pada tahun 2022.

Namun, ekonom lembaga riset tersebut, Ahmad Akbar Soesamto, mengingatkan belanja pemerintah tetap harus digunakan secara hati-hati dan untuk kegiatan produktif meski defisit diperkirakan lebih rendah.