Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani mengingatkan terdapat risiko yang dapat dialami pekerja migran Indonesia (PMI) yang ditempatkan secara ilegal termasuk mengalami kekerasan dan gaji tidak dibayar.

"Risiko yang dialami pasti kekerasan fisik, kekerasan seksual, gaji yang tidak dibayar karena tidak pernah diikat perjanjian kerja," kata Kepala BP2MI Benny dalam acara penandatanganan nota kesepahaman dengan pemerintah daerah di Kantor BP2MI, Jakarta, Rabu.

Para pekerja tersebut juga rawan menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO), mengalami eksploitasi waktu kerja serta pemutusan hubungan kerja sepihak akibat tidak adanya perjanjian kerja.

Tidak hanya itu, banyak di antara mereka yang tidak dapat kembali ke Tanah Air karena dokumen resmi seperti paspor dapat disimpan oleh pihak yang menmpatk secara ilegal untuk memastikan pekerja itu tidak dapat melarikan diri.

Baca juga: BP2MI perkuat sinergi dengan pemda dalam melindungi pekerja migran

Baca juga: BP2MI gagalkan penempatan 319 pekerja migran Indonesia nonprosedural


Berdasarkan data BP2MI pada 2020-13 September 2022 telah ditangani 79.153 tenaga kerja Indonesia (TKI) terkendala, 3.306 orang dipulangkan karena sakit dan pemulangan 1.421 jenazah pekerja asal Indonesia.

Berdasarkan data itu, sekitar 90 persen adalah korban penempatan PMI tidak sesuai prosedur dan 80 persen korban adalah perempuan.

Hal itu bertolak belakang dengan PMI yang diberangkatkan secara resmi, kata Benny. Para pekerja migran itu mendapatkan jaminan perlindungan negara dan kemudahan fasilitas pembiayaan.

"Di sisi lain penempatan yang secara resmi adalah penempatan yang pasti, kami yakinkan, akan mendapatkan perlakukan hormat negara," demikian Benny Rhamdani.

Baca juga: Kepala BP2MI sebut kebijakan terus dibuat untuk hormati pekerja migran

Baca juga: BP2MI sebut korban kekerasan kerja mayoritas PMI ilegal