Jakarta (ANTARA) - Pengamat militer Anton Aliabbas mengatakan ada tiga pekerjaan yang harus dibenahi oleh pimpinan TNI di usia institusi TNI yang menginjak 77 tahun.

"Pertama, fenomena kekerasan terhadap masyarakat sipil masih terjadi," kata Anton di Jakarta, Rabu, menanggapi Peringatan HUT Ke-77 TNI.

Yang terbaru, kata dia, adalah aksi kekerasan yang dilakukan sejumlah prajurit dalam tragedi Kanjuruhan akhir pekan lalu yang terekam dalam video viral di media sosial.

Penghukuman semestinya tidak hanya dibebankan pada prajurit yang melakukan kekerasan, tetapi juga komandan satuan yang bertugas.

"Harapannya, komandan satuan dapat melakukan kontrol dengan lebih ketat dan baik," ujar Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) itu.

Kedua, masih terjadinya insiden kecelakaan alutsista yang mengakibatkan prajurit terampil meninggal dunia. Dalam konteks ini, pemeliharaan dan pengecekan terhadap kelaikan alutsista yang digunakan adalah syarat utama yang wajib dipenuhi sebelum digunakan.

"Prajurit yang mengawaki jelas memiliki keterampilan tertentu sehingga penting kiranya bagi petinggi TNI untuk mengutamakan keselamatan mereka. Sebab kehilangan mereka akibat insiden kecelakaan alutsista adalah bentuk kerugian besar terhadap TNI," ucapnya.

Ketiga, masih belum ditatanya skema pemisahan dan penyaluran (sahlur) bagi anggota TNI, sehingga mengakibatkan polemik terkait penunjukan TNI aktif sebagai penjabat kepala daerah.

Pengangkatan perwira aktif sebagai pejabat sementara kepala daerah, kata Anton, jelas melanggar pasal 47 ayat 1 UU 34/2004 bahwa prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.

"Dan jabatan kepala daerah bukanlah ruang jabatan yang masuk dalam 10 kantor seperti yang tertera dalam Pasal 47 ayat 2 UU TNI," paparnya.

Pengangkatan prajurit aktif juga tidak sejalan dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam amar putusan Nomor 67/PUU-XIX/2021, yakni prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.

Perbaikan skema sahlur termasuk kebijakan pensiun dini akan berkontribusi mengurai penumpukan perwira menengah dan tinggi TNI yang non-job.

"Penundaan penyelesaian masalah perwira non-job justru akan menyebabkan beban organisasi semakin kompleks," ujarnya.

Di sisi lain, pemerintah hendaknya membangun secara serius kompetensi prajurit TNI untuk tugas non-perang terutama penanganan bencana alam karena institusi militer kerap kali diandalkan dalam penanganan awal dampak bencana alam.

Sementara, pemerintah terkesan kurang memprioritaskan pembangunan kapasitas dan kompetensi TNI dalam masalah tersebut. Mengingat, wilayah Indonesia rentan terhadap bencana alam maka pengayaan kompetensi prajurit dan kapasitas TNI dalam penanganan bencana alam tidak bisa ditunda.

Dalam konteks ini, penting kiranya pemerintah untuk mempertimbangkan ulang penerapan kebijakan "refocusing" anggaran untuk anggaran pertahanan.

"Pengurangan anggaran pertahanan jelas akan berdampak signifikan dalam pemenuhan rencana pembangunan TNI termasuk penuntasan 'Minimum Essential Forces' (MEF) Tahap 3," kata Anton.

Perbaikan kesejahteraan melalui peningkatan persentase tunjangan kinerja bagi prajurit dan PNS di lingkungan TNI hendaknya ikut dapat diimplementasikan.

"Dengan demikian, narasi adanya perbaikan kesejahteraan prajurit TNI dapat dirasakan secara nyata hingga satuan bawah," tuturnya.