Jakarta (ANTARA) - Jika dicermati tujuan ke-2 Sustainable Development Goals (SDGs), di dalamnya jelas tersirat ada semangat untuk mengembangkan ketahanan pangan dan perbaikan nutrisi dalam rangka mewujudkan dunia tanpa kelaparan.

Bagi bangsa Indonesia, secara regulasi, esensi ketahanan pangan dan gizi sendiri sebetulnya telah diatur cukup rinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan Gizi sebagai turunan dari Undang Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

SDGs dicanangkan pada tahun 2015. Saat itu, para pemimpin dunia sepakat untuk menggarap 17 tujuan pembangunan yang perlu dijadikan prioritas selama 15 tahun ke depan.

Jika melihat target tersebut, maka bangsa ini masih memiliki waktu sekitar 8 tahun ke depan untuk menggapai 17 tujuan SDGs tersebut. Salah satunya seperti yang telah disebutkan yakni dunia tanpa kelaparan (zero hunger).

Secara normatif, bila dikaji lebih dalam UU Pangan, maka Ketahanan Pangan merupakan kebutuhan mendasar yang harus diperkokoh dalam melakoni kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Dari beragam literatur yang ada, sedikitnya ada tiga hal yang perlu diwujudkan dalam pembangunan ketahanan pangan. Pertama, tentu saja yang berkaitan dengan ketersediaan pangan itu sendiri.

UU Nomor 18 Tahun 2012 dengan gamblang mendefinisikan bahwa ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional serta impor apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan.

Pengertian ini memberi gambaran, yang namanya impor pangan tidak diharamkan selama bangsa ini tidak mampu memenuhi kebutuhan dari hasil produksi petani di dalam negeri.

Selain beras yang sudah mampu swasembada, rupanya masih banyak jenis pangan yang harus didatangkan dari luar negeri.

Pemerintah juga mengakui setidaknya ada lima jenis bahan pangan yang defisit. Kelimanya adalah kedelai, terigu, daging sapi, bawang putih, dan gula pasir. Inilah tantangan utama pembangunan pangan ke depan. Bagaimana upayanya, agar yang defisit bisa jadi surplus?

Ketersediaan pangan yang kuat menjadi syarat pokok dalam memperkokoh ketahanan pangan. Itu sebabnya, semua pihak patut mendukung langkah Pemerintah dalam mengembangkan lumbung pangan (food estate) di berbagai daerah.

Food estate yang mengembangkan beragam komoditas pangan, pada dasarnya merupakan kebijakan Pemerintah yang sangat tepat, di saat warga dunia dihantui akan adanya krisis pangan global.

Kedua, terkait dengan keterjangkauan. Ketahanan pangan juga akan ditentukan sampai sejauh mana masyarakat dapat mengakses pangan untuk kebutuhan hidupnya. Dalam hal ini, soal harga pangan dan distribusi menjadi faktor penting dalam memperkuat ketahanan pangan. Selain itu, keterjangkauan pangan membutuhkan pula sistem informasi pangan yang diterapkan dan berkualitas.

Ketiga, terkait dengan pemanfaatan pangan, yakni kemampuan dalam memanfaatkan bahan pangan dengan benar dan tepat secara proporsional.

Pemerintah sendiri kini tengah mengkampanyekan B2SA, kependekan dari beragam, bergizi, seimbang, dan aman. Esensi dari poin ke tiga ini adalah terkait dengan aspek konsumsi dan diversifikasi atau penganekaragaman pangan.

Inilah tiga poin penting terkait dengan ketahanan pangan. Satu jawaban atas datangnya krisis pangan global seperti yang diramalkan oleh Badan Pangan Dunia atau FAO adalah dengan jalan memperkuat ketahanan pangan keluarga yang kemudian bermuara menjadi ketahanan pangan bangsa.

Itu sebabnya Pemerintah sering menegaskan bangsa ini harus serius dalam membangun ketahanan pangan.


Dana Desa

Munculnya kebijakan Pemerintah yang menetapkan sebesar 20 persen dari dana desa yang dikucurkan Pemerintah untuk kegiatan ketahanan pangan nabati dan hewani, pada dasarnya menunjukkan keberpihakan nyata Pemerintah terhadap perwujudan ketahanan pangan yang berkualitas dalam kehidupan warga perdesaan khususnya dan warga bangsa secara umum. Kemauan dan tindakan politik Pemerintah semacam ini, tentu perlu didukung sepenuh hati.

Tantangan berat yang harus dihadapi untuk mewujudkan ketahanan pangan yang berkualitas di perdesaan adalah belum terbangunnya pola pikir di kalangan warga perdesaan terhadap makna ketahanan pangan itu sendiri.

Undang Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi, masih belum "bersahabat" dalam kehidupan warga desa.

Bahkan bisa jadi hampir seluruh warga desa belum pernah membacanya. Padahal, UU dan PP tersebut telah diterbitkan beberapa tahun lalu.

Inilah salah satu titik lemah bangsa ini yang sesegera mungkin harus dicarikan solusi cerdasnya. Bagaimana caranya meningkatkan literasi masyarakat agar setiap regulasi yang dilahirkan Pemerintah dapat dibaca dan dipahami esensinya oleh seluruh warga negara. Begitu pun dengan soal ketahanan pangan ini.

Diperkirakan, salah satu penyebab utama hal seperti ini dapat terjadi karena lemahnya sosialisasi, internalisasi, dan advokasi yang dilakukan.

Selama ini, Pemerintah dan DPR masih terfokus pada soal membuat kemudian merampungkan regulasi. Setelah UU tersusun, soal mau dipahami atau tidak oleh rakyat, sepertinya masih kurang ditangani dengan baik. Inilah yang masih menjadi pekerjaan rumah besar bangsa ini.

Akibatnya, wajar ketika Pemerintah menetapkan agar Dana Desa yang dikucurkan itu sebesar 20 persen digunakan untuk program dan kegiatan ketahanan pangan, hampir sebagian besar desa gagap untuk menerapkan kebijakan Pemerintah tersebut.

Yang terjadi kemudian, setiap desa membuat tafsir sendiri yang dasar programnya berbasis kepada Peraturan Menteri Desa Tertinggal dan Transmigrasi.

Ketahanan pangan perdesaan ujung-ujungnya diterjemahkan sesuai pemahaman kepala desa dan badan permusyawaratan desa (BPD) masing-masing.

Jika sedini mungkin sudah ada konsep dan kebijakan yang jelas tentang ketahanan pangan perdesaan, lalu dirumuskan lewat desain besar dan peta jalan yang terukur, kemudian disosialisasikan kepada masyarakat pedesaan, tentu hasilnya akan lebih berkualitas dan senapas dengan kebijakan ketahanan pangan secara nasional.

Ke depan, semua pihak berharap adanya penyempurnaan seluruh kebijakan yang diterapkan selama ini. Termasuk mengoptimalkan penggunaan 20 persen Dana Desa untuk ketahanan pangan. ***1***


*) Entang Sastraatmadja, Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.