BNPT: Generasi Z dan milenial rentan terpapar radikalisme
30 September 2022 20:56 WIB
Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Polisi R. Ahmad Nurwakhid saat berorasi dalam acara Pelibatan Pemuda dalam Pencegahan Radikalisme dan Terorisme dengan Pitutur Kebangsaan yang digelar FKPT DIY di Universitas Negeri Yogyakarta, Jumat (30/9/2022). (ANTARA/Luqman Hakim)
Yogyakarta (ANTARA) - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebut para pemuda generasi Z dan milenial di Tanah Air hingga kini masih rentan terpapar paham radikal.
"Anak muda biasanya kontrol emosinya masih labil, masih suka cari tantangan baru. Sementara wawasan kebangsaan dan pengetahuan keagamaan mereka masih tumbuh dan berkembang, belum matang," ujar Direktur Pencegahan BNPT Brigadir Jenderal Polisi R. Ahmad Nurwakhid di sela acara Pelibatan Pemuda dalam Pencegahan Radikalisme dan Terorisme dengan Pitutur Kebangsaan di Universitas Negeri Yogyakarta, Jumat.
Pada kegiatan yang digelar Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FPKT) Daerah Istimewa Yogyakarta itu, ia menyebutkan indeks potensi radikalisme di Indonesia tahun 2019 berada pada angka 38,4 persen dan turun menjadi 12,2 persen pada 2020 sampai 2021.
Dari indeks tersebut, persentase anak muda generasi Z berusia 14 hingga 19 tahun dan milenial berusia 20 hingga 39 tahun mendominasi, yakni mencapai lebih dari 50 persen. "Dan kebanyakan dari generasi Z dan milenial ini adalah perempuan," ujar Nurwakhid.
Menurut Nurwakhid, generasi muda usia tersebut memang menjadi sasaran dari kelompok radikal karena memiliki masa yang panjang untuk dipersiapkan sebagai kader. Generasi muda menjadi target kelompok radikal untuk mendukung agenda utama mereka, yakni mengganti ideologi negara melalui kekuasaan.
Oleh karena itu, BNPT melalui Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) yang tersebar pada 34 provinsi hingga kini terus menggencarkan berbagai upaya pencegahan.
"Mereka yang masih moderat karena rentan terpapar kami berikan vaksin ideologi, tapi yang sudah OTG (terpapar radikalisme, namun tidak sadar) kami berikan kontra-radikalisme di dunia maya maupun nyata melalui kontra-ideologi, kontra-narasi, atau kontra-propaganda," jelas Nurwakhid.
Upaya pencegahan, lanjutnya, perlu terus digencarkan karena hingga kini belum ada instrumen hukum untuk menindak penyebaran radikalisme kanan atau radikalisme agama.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, kata Nurwakhid, belum mampu menjangkau paham radikal kecuali mereka telah masuk jaringan teror dan sudah siap beraksi dengan sejumlah indikator.
Ia menyebutkan beberapa tanda radikalisme, antara lain dapat dilihat dari sikap anti terhadap Pancasila, gemar mengafirkan orang lain termasuk mengafirkan negara, intoleran terhadap perbedaan, hingga antipemerintah yang sah.
"Anti di sini bukan dalam arti-oposisi atau kritis, tapi sikap membenci dengan membangun permusuhan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap negara maupun pemimpin yang sah dengan menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, adu domba, fitnah, dan lainnya," ujar Nurwakhid.
Perwakilan FKPT Daerah Istimewa Yogyakarta Fahmi Akbar Idris mengatakan mencegah paparan paham radikal di kalangan anak muda tidak mudah karena di dunia maya mereka memiliki akses yang luas untuk mendapatkan beragam informasi.
Oleh karena itu, satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah terus menerus melakukan edukasi dan menanamkan nilai kebangsaan kepada mereka.
"Anak muda sekarang kan punya dunianya sendiri melalui media sosial, di rumah saja sudah dapat informasi. Tidak keluar rumah malah dapat banyak hal tanpa bisa dikontrol," ucap Fahmi.
"Anak muda biasanya kontrol emosinya masih labil, masih suka cari tantangan baru. Sementara wawasan kebangsaan dan pengetahuan keagamaan mereka masih tumbuh dan berkembang, belum matang," ujar Direktur Pencegahan BNPT Brigadir Jenderal Polisi R. Ahmad Nurwakhid di sela acara Pelibatan Pemuda dalam Pencegahan Radikalisme dan Terorisme dengan Pitutur Kebangsaan di Universitas Negeri Yogyakarta, Jumat.
Pada kegiatan yang digelar Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FPKT) Daerah Istimewa Yogyakarta itu, ia menyebutkan indeks potensi radikalisme di Indonesia tahun 2019 berada pada angka 38,4 persen dan turun menjadi 12,2 persen pada 2020 sampai 2021.
Dari indeks tersebut, persentase anak muda generasi Z berusia 14 hingga 19 tahun dan milenial berusia 20 hingga 39 tahun mendominasi, yakni mencapai lebih dari 50 persen. "Dan kebanyakan dari generasi Z dan milenial ini adalah perempuan," ujar Nurwakhid.
Menurut Nurwakhid, generasi muda usia tersebut memang menjadi sasaran dari kelompok radikal karena memiliki masa yang panjang untuk dipersiapkan sebagai kader. Generasi muda menjadi target kelompok radikal untuk mendukung agenda utama mereka, yakni mengganti ideologi negara melalui kekuasaan.
Oleh karena itu, BNPT melalui Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) yang tersebar pada 34 provinsi hingga kini terus menggencarkan berbagai upaya pencegahan.
"Mereka yang masih moderat karena rentan terpapar kami berikan vaksin ideologi, tapi yang sudah OTG (terpapar radikalisme, namun tidak sadar) kami berikan kontra-radikalisme di dunia maya maupun nyata melalui kontra-ideologi, kontra-narasi, atau kontra-propaganda," jelas Nurwakhid.
Upaya pencegahan, lanjutnya, perlu terus digencarkan karena hingga kini belum ada instrumen hukum untuk menindak penyebaran radikalisme kanan atau radikalisme agama.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, kata Nurwakhid, belum mampu menjangkau paham radikal kecuali mereka telah masuk jaringan teror dan sudah siap beraksi dengan sejumlah indikator.
Ia menyebutkan beberapa tanda radikalisme, antara lain dapat dilihat dari sikap anti terhadap Pancasila, gemar mengafirkan orang lain termasuk mengafirkan negara, intoleran terhadap perbedaan, hingga antipemerintah yang sah.
"Anti di sini bukan dalam arti-oposisi atau kritis, tapi sikap membenci dengan membangun permusuhan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap negara maupun pemimpin yang sah dengan menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, adu domba, fitnah, dan lainnya," ujar Nurwakhid.
Perwakilan FKPT Daerah Istimewa Yogyakarta Fahmi Akbar Idris mengatakan mencegah paparan paham radikal di kalangan anak muda tidak mudah karena di dunia maya mereka memiliki akses yang luas untuk mendapatkan beragam informasi.
Oleh karena itu, satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah terus menerus melakukan edukasi dan menanamkan nilai kebangsaan kepada mereka.
"Anak muda sekarang kan punya dunianya sendiri melalui media sosial, di rumah saja sudah dapat informasi. Tidak keluar rumah malah dapat banyak hal tanpa bisa dikontrol," ucap Fahmi.
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2022
Tags: