Malinau (ANTARA) - Masyarakat pedalaman Kalimantan Utara di Desa Long Nyau Kabupaten Malinau berhasil membudidayakan gaharu (Aquilaria malaccensis)
sehingga mereka sudah tidak mengandalkan pohon yang getahnya bernilai tinggi itu dari hutan alam lagi.

Muhammad Alfindo, Fasilitator Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi di Malinau, Jumat mengatakan bahwa hal itu menjadi alasan pihaknya memberikan beberapa kali pelatihan mengolah serpihan/ limbah gaharu (totok) disuling menjadi minyak bernilai tinggi karena bahan baku tersedia tidak tergantung pemburuan di hutan alam.

Warsi adalah sebuah lembaga non pemerintah yang menjadi pendamping masyarakat sekitar hutan, termasuk di pedalaman Malinau, Kaltara.

Beberapa kali Warsi didukung oleh pemerintah mengadakan pelatihan penyulingan gaharu agar masyarakat tidak hanya bergantung pada isi gaharu, tetapi juga bisa memanfaatkan serpihan gaharu atau diistilahkan dengan sebutan totok.

Masyarakat Desa Long Nyau Kecamatan Sungai Tubu Malinau membudidayakan gaharu di ladangnya sendiri sejak 2006.

Muhammad Alfindo menilai keberhasilan warga dalam membudidayakan gaharu sangat positif, yakni satu sisi berhasil melestarikan pohon langka itu, di sisi lain berhasil meningkatkan kesejahteraan warga sekitar hutan karena punya pendapatan tetap bukan lagi meramu hasil hutan.

Hal itu dibenarkan oleh Kepala Desa Long Nyau, Lukas Luwau Suan Kirut yang juga Ketua LPHD (Lembaga Pengelola Hutan Desa) bahwa budi daya gaharu telah dilakukan oleh semua masyarakat desanya.

Saat ini setiap keluarga bisa memiliki kurang lebih 100 pohon gaharu dengan luas dua hektare

“Gaharu kini menjadi sumber mata pencaharian masyarakat Desa Long Nyau. Agar gaharu di hutan tidak cepat habis, kami juga melakukan budi daya gaharu di kebun,” katanya.

Menurut Suan Kirut, potensi gaharu ini dimanfaatkan oleh Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Gaharu Desa Long Nyau.

Secara teknis satu kali penyulingan dibutuhkan 100 kg totok yang dapat menghasilkan minyak gaharu sekitar 30 sampai 40 gram. Sementara
itu, harga minyak gaharu dijual dengan harga Rp150 ribu per gram.

"Rata-rata, satu kali penyulingan totok bisa menghasilkan Rp4 juta sampai Rp6 juta" ujarnya.

Limbah bekas penyulingan gaharu bisa diolah dan dijual kembali. Air bekas penyulingan bisa digunakan sebagai parfum burung walet dengan harga Rp50 ribu per botol ukuran 1,5 liter.

Selain itu, limbah totok gaharu bisa dijual sebagai bahan baku dupa seharga Rp3 ribu per kilogram.

Baca juga: Tingkatkan kesejahteraan warga, "sulap" limbah gaharu jadi "cuan"

Baca juga: Jokowi dan Jose Ramos-Horta tanam Pohon Gaharu bersama di Istana Bogor

Baca juga: Tasbih gaharu Sampit tembus pasar luar negeri