Jakarta (ANTARA) - Pendulum perekonomian dunia masih belum menuju kearah yang lebih baik, dan sebagai salah satu Negara yang ketahanan energinya masih bergantung pada produk impor baik Crude/BBM maupun LPG, Indonesia masih bersusah payah untuk melepaskan diri dari defisit neraca berjalan karena proses jual belinya masih menggunakan mata uang asing.
Harga Contract Price (CP) Aramco untuk bahan baku LPG (Propane & Butane) rata-rata tahun 2022 $777/MT* masih di atas asumsi awal perhitungan penghitungan Subsisi BBM tahun 2022 sebesar $569/MT dengan nilai subsidi LPG tahun 2022 sebesar Rp.134.7 triliun.
Tahun 2023 sendiri kebutuhan atas LPG 3 Kg sama dengan tahun 2022 yaitu sebesar 8Jt MT dengan besaran nilai subsidi Rp.117,4 triliun turun 12.4% dimana 80% kebutuhan LPG berasal dari impor. Secara nilai subsidi masih berpotensi meningkat ditengah ketidakjelasan arah perekonomian dunia.
Urgensi Produk Substitusi LPG
Konversi minyak tanah tahun 2007 yang berhasil dilakukan untuk menghindari beban subsidi seolah tidak ada hasilnya. Subsidi LPG makin membengkak karena pola distribusinya masih terbuka dan banyak menyasar kepada kalangan yang tidak berhak. Diperlukan upaya-upaya yang sustain dalam hal mencari sumber energi untuk masyarakat dengan mengandalkan domestic energy resources. Maka diperlukan usaha progresif untuk menyediakan energi substitusi bagi masyarakat sesegera mungkin.
Energi subsitusinya bisa berupa gasifikasi batubara menjadi Dimethyl Ether (DME) sebagai program hilirisasi batubara sesuai arahan Presiden Joko Widodo. Pemanfaatan DME sangat mungkin dimanfaatkan untuk menggantikan LPG. Hal tersebut dikarenakan DME memiliki sifat-sifat dasar yang tidak terlalu berbeda dengan LPG dan merubah spesifikasi teknik tabung LPG.
Sebagai pioneer proyek gasifikasi terletak di Kawasan Industri Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan yang dikerjakan bersama antara PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Pertamina (Persero) dan Air Products & Chemicals Inc (APCI), perusahaan petrokimia asal Amerika Serikat. Namun target produksinya sendiri masih cukup lama yakni tahun 2028.
Program lain adalah program kompor induksi yang sejak awal tahun gencar dilakukan oleh PT PLN (Persero) dikarenakan adanya kondisi over supply listrik. Diperkirakan sekitar 15 juta penambahan rumah tangga akan menggunakan kompor induksi, ujicoba sudah dilakukan namun publik dikejutkan dengan dibatalkan program tersebut secara resmi oleh PLN.
Sebagai bentuk komitmen Indonesia untuk menekan emisi gas buang dalam rangka mendukung Paris Agreement, maka dilakukan persiapan-persiapan untuk menggeser ketergantungan dari fossil energy menuju renewable energy.
Jika dikaitkan dengan upaya-upaya menekan subsidi LPG, agar sejalan dengan transisi energi, maka peningkatan gas bumi domestik khususnya untuk sektor rumah tangga harus ditingkatkan. Jaringan Gas Kota untuk sektor rumah tangga menjadi hal urgent yang harus dilakukan oleh Pemerintah. Ini merupakan langkah terbaik yang bisa dilakukan oleh Pemerintah adalah mengoptimalkan penggunaan gas bumi untuk rumah tangga sebagai produk subsitusi LPG kepada masyarakat. Jargas sendiri akan berorientasi tidak hanya kepada kalangan yang selama ini menikmati LPG subsidi namun akan secara luas dinikmati oleh kalangan umum. Pola distribusinya juga diarahkan kepada rumah tangga, bukan perorangan. Upaya kontrolnya akan lebih terkelola lebih baik.
Upaya - Upaya Akselerasi Pembagunan Jargas
Pembangunan jaringan gas kota (jargas) telah dilakukan Pemerintah dan PGN (serta anak usahanya) sejak tahun 2009 hingga tahun 2021. Telah terbangun dan aktif melayani masyarakat masing-masing sebanyak 516.720 dan 118.718 sambungan rumah (SR) pada 18 provinsi dan 64 kabupaten/kota.
Sebagai keberlanjutannya, Pemerintah telah menugaskan PT. PGN, Tbk sebagai Subholding Gas PT. Pertamina (Persero) untuk membangun jargas dengan total s.d 4Jt SR di seluruh Indonesia tahun 2024 sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Sebagai produk substitusi, tantangannya antara lain bagaimana memberikan layanan prima kepada masyarakat secara non stop dan tentu saja dengan harga yang bersaing dengan pemakaian LPG non PSO. Bilamana dikembangkan pada daerah yang infrastrukturnya sudah siap maka akan tidak membutuhkan capex yang besar, namun bila dikembangkan secara merata pada 34 Provinsi dan 514 Kab/Kota maka dibutuhkan komitmen dukungan finansial yang sangat besar. Keberhasilan pengembangan program jargas sangat membutuhkan usaha-usaha yang lintas sektoral.
Bisa diawali dengan kerjasama antara subhloding hulu (SHU) dan subholding gas/PGN berupa komitmen alokasi gas bumi untuk jargas dengan harga khusus. Sebaran WK dari SHU Pertamina sendiri (nyaris) tersebar merata se Indonesia, maka sebaran dari jargas sendiri akan lebih merata dibanding jargas existing. Penggunaan volume untuk jargas sendiri porsinya sangat kecil sehingga tidak akan mengurangi keekonomian Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) hulu migas dalam mengembangkan lapangan gas. Bagi KKKS non SHU Pertamina, tentu saja dukungan-dukungan seperti ini akan membangun citra positif kepada stakeholder baik itu di dalam maupun luar negeri.
Dengan komitmen atas alokasi dan harga, maka PGN sebagai subholding gas akan mempunyai keleluasaan mengembangkan lebih jauh jaringan gas kota yang saat ini belum ada jaringan pipa distribusi sebagai backbone infrastruktur existing jargas. Beyond pipeline merupakan pengembangan lebih jauh atas wilayah-wilayah yang belum ada jaringan pipa distribusi, bisa berbentuk perniagaan CNG atau pengembangan perniagaan skala mini LNG. Bagi SKK Migas dan BPH Migas akan sangat membantu mengoptimalkan lifting gas bumi untuk peningkatan pemakaian gas domestik.
Keberhasilan PGN dalam mengembangkan jargas secara masif, selain akan mengurangi subsidi LPG namun akan menjadi unit bisnis yang bisa memberikan profit, apabila sektor non rumah tangga/ hotel, restoran dan kafe (HOREKA) bisa menjadi pengguna jargas dan terlayani dengan baik.
Program jargas untuk sektor rumah tangga dan HOREKA akan menjadi favorit dengan nilai kemudahan operasional dan efisiensi biaya bila dibandingkan pemakaian LPG. Hal ini akan menjadi daya tarik tersendiri bagi BUMD untuk ikut mengembangkan jaringan gas kota pada wilayahnya masing-masing dan berpotensi menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Provinsi/Kabupaten/Kota yang mengembangkan atau Badan Usaha Swasta yang ingin melakukan diversifikasi usahanya.
Merupakan kewajiban bagi Pemerintah untuk menyediakan energi secara berkelanjutan, dengan harga terjangkau serta ramah lingkungan, maka pengembangan jargas harus didukung oleh seluruh stakeholder/pemangku kepentingan yang lintas sektoral.
Diperlukan leading sector yang bisa memberikan arahan dengan tata waktu yang jelas serta terukur. Program jargas sendiri bukan merupakan program konversi LPG, namun program ini memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk memilih preferensinya mendapatkan energi. Modernitas kehidupan layaknya masyarakat di Negara Maju merupakan bonus tambahan bagi masyarakat yang sudah memilih jargas.