New York (ANTARA) - Harga minyak tergelincir sekitar dua dolar AS per barel pada akhir perdagangan Senin (Selasa pagi WIB), menetap di posisi terendah sembilan bulan dalam perdagangan yang bergejolak, tertekan oleh penguatan dolar ketika pelaku pasar menunggu rincian sanksi baru terhadap Rusia.

Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman November merosot 2,09 dolar atau 2,4 persen, menjadi menetap di 84,06 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange, jatuh di bawah level yang dicapai pada 14 Januari.

Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman November terpangkas 2,03 dolar AS atau 2,6 persen, menjadi ditutup pada 76,71 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange, merupakan level terendah sejak 6 Januari.

Kedua kontrak telah naik di awal sesi setelah merosot sekitar 5,0 persen pada Jumat (23/9/2022).

Pergerakan di atas terjadi karena momentum kenaikan dolar AS berlanjut setelah Federal Reserve memberlakukan kenaikan suku bunga tiga perempat poin ketiga berturut-turut minggu lalu dan mengisyaratkan jalur yang lebih hawkish ke depan.

Indeks dolar, yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama lainnya, melonjak 0,81 persen menjadi 114,1030 pada akhir perdagangan Senin (26/9/2022), menyusul lonjakan 1,65 persen di sesi sebelumnya. Secara historis, harga minyak berbanding terbalik dengan harga dolar AS.

Indeks dolar mencapai level tertinggi baru dua dekade, menekan permintaan minyak yang dihargai dalam mata uang AS. Dampak dolar yang kuat pada harga minyak paling menonjol dalam lebih dari setahun, data Refinitiv Eikon menunjukkan.

"Sulit bagi siapa pun untuk mengharapkan minyak akan pulih setelah greenback semahal ini," kata Bob Yawger, direktur energi berjangka di Mizuho.

Gangguan dari perang Rusia-Ukraina juga menghantam pasar minyak, dengan sanksi Uni Eropa yang melarang minyak mentah Rusia akan dimulai pada Desember bersama dengan rencana oleh negara-negara G7 untuk pembatasan harga minyak Rusia yang tampaknya akan memperketat pasokan.

Kenaikan suku bunga oleh bank sentral di banyak negara konsumen minyak telah menimbulkan kekhawatiran perlambatan ekonomi yang dapat menekan permintaan minyak.

"Dengan semakin banyak bank sentral dipaksa untuk mengambil langkah-langkah luar biasa tidak peduli biaya ekonomi, permintaan akan terpukul yang dapat membantu menyeimbangkan kembali pasar minyak," kata Craig Erlam, analis pasar senior di Oanda di London.

Perhatian beralih ke apa yang Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutu yang dipimpin oleh Rusia, bersama-sama dikenal sebagai OPEC+, akan lakukan ketika mereka bertemu pada 5 Oktober, setelah sepakat pada pertemuan mereka sebelumnya untuk memangkas produksi secara moderat.

Namun, OPEC+ berproduksi jauh di bawah produksi yang ditargetkan, yang berarti bahwa pemotongan lebih lanjut mungkin tidak berdampak banyak pada pasokan.

"Peluang akan muncul cukup tinggi untuk penyesuaian produksi yang turun oleh organisasi OPEC +," kata Jim Ritterbusch, presiden Ritterbusch and Associates di Galena, Illinois.

Data pekan lalu menunjukkan OPEC+ meleset dari target produksinya sebesar 3,58 juta barel per hari pada Agustus, penurunan yang lebih besar daripada Juli.

Baca juga: Harga minyak naik tipis, dipicu kekhawatiran pasokan ketat

Baca juga: Harga minyak Asia naik tipis, namun di jalur penurunan mingguan


Baca juga: Minyak turun untuk hari kedua di tengah kekhawatiran resesi global