Indonesia terbitkan kajian implementasi FLEGT entaskan pembalakan liar
24 September 2022 16:26 WIB
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) KLHK Agus Justianto (kiri) saat berbicara dalam acara peluncuran kajian implementasi Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) di Hotel Intecontinantal Berlin, Jumat (23/9/2022). ANTARA/HO-KLHK/am.
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia menerbitkan kajian implementasi Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) sebagai upaya untuk mendukung pemberantasan pembalakan liar dan peningkatan perdagangan kayu legal.
"Kajian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai keberterimaan, pengakuan, persepsi dan insentif pasar, khususnya pasar Eropa atas kayu berlisensi FLEGT," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) KLHK Agus Justianto dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Ia mengatakan Indonesia telah menandatangani Perjanjian Kemitraan Sukarela (VPA) FLEGT dengan Uni Eropa sejak September 2013, serta menjadi negara pertama yang sepenuhnya menerapkan FLEGT VPA dengan menerbitkan Lisensi FLEGT pertama di dunia pada November 2016.
Menurut Agus, Indonesia beserta pihak terkait telah mengembangkan skema nasional penjaminan legalitas kayu sejak 2003, yaitu Sistem Verifikasi Legalitas kayu (SVLK), dalam rangka menjawab tuntutan pasar global.
Baca juga: Produk kayu RI ke EU di bawah AS dan China meski ada skema FLEGT
Baca juga: Dukungan keberlanjutan pada SVLK Indonesia
Dalam konteks ini, kata Agus, Pemerintah Indonesia menginisiasi kajian tentang implementasi FLEGT dan pergeseran kebijakan di pasar global sehubungan dengan perdagangan produk hasil hutan dan komoditas pertanian lainnya dikaitkan dengan aspek deforestasi dan kerusakan hutan.
Ia menjelaskan kajian Implementasi FLEGT merupakan tonggak penting untuk mengetahui kebijakan global terkait aspek legalitas produk dan kelestarian hutan dalam perdagangan hasil hutan.
Menurutnya, kajian itu memberikan gambaran mengenai perkembangan di negara produsen selain Indonesia dalam mengembangkan, menegosiasikan, dan implementasi FLEGT-VPA, khususnya dalam kebijakan negara pasar.
Agus mengatakan kajian tersebut merupakan tindak lanjut dari diskusi tingkat tinggi antara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan para Duta Besar Republik Indonesia RI untuk Eropa.
Kajian dilaksanakan oleh tim dari Universitas Freiburg Jerman dan Institut Sebijak Universitas Gajah Mada dengan dukungan pembiayaan dari Pemerintah Indonesia (Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Republik Federal Jerman) dan dari Pemerintah Inggris.
"Kajian diharapkan dapat memberikan informasi tentang bagaimana VPA FLEGT saat ini berfungsi, khususnya di Indonesia dan Eropa, apa saja langkah-langkah kebijakan sisi permintaan baru yang muncul di beberapa pasar utama, dan apa implikasinya bagi negara-negara produsen seperti Indonesia dari kebijakan dan kerangka hukum internasional yang baru dan berkembang ini," katanya.
Agus berharap FLEGT VPA dapat diimplementasikan secara konsisten oleh kedua belah, baik dari sisi negara produsen maupun negara konsumen.
"Negara produsen perlu memberikan pengakuan pasar yang lebih luas atas sistem nasional melalui kemitraan yang menerapkan prinsip-prinsip saling percaya, saling menghormati dan saling menguntungkan pihak-pihak yang terlibat," katanya.*
Baca juga: FAO dukung produksi, perdagangan kayu legal di Indonesia
Baca juga: FAO bantu pengrajin kayu Jepara urus sertifikasi ramah lingkungan
"Kajian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai keberterimaan, pengakuan, persepsi dan insentif pasar, khususnya pasar Eropa atas kayu berlisensi FLEGT," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) KLHK Agus Justianto dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Ia mengatakan Indonesia telah menandatangani Perjanjian Kemitraan Sukarela (VPA) FLEGT dengan Uni Eropa sejak September 2013, serta menjadi negara pertama yang sepenuhnya menerapkan FLEGT VPA dengan menerbitkan Lisensi FLEGT pertama di dunia pada November 2016.
Menurut Agus, Indonesia beserta pihak terkait telah mengembangkan skema nasional penjaminan legalitas kayu sejak 2003, yaitu Sistem Verifikasi Legalitas kayu (SVLK), dalam rangka menjawab tuntutan pasar global.
Baca juga: Produk kayu RI ke EU di bawah AS dan China meski ada skema FLEGT
Baca juga: Dukungan keberlanjutan pada SVLK Indonesia
Dalam konteks ini, kata Agus, Pemerintah Indonesia menginisiasi kajian tentang implementasi FLEGT dan pergeseran kebijakan di pasar global sehubungan dengan perdagangan produk hasil hutan dan komoditas pertanian lainnya dikaitkan dengan aspek deforestasi dan kerusakan hutan.
Ia menjelaskan kajian Implementasi FLEGT merupakan tonggak penting untuk mengetahui kebijakan global terkait aspek legalitas produk dan kelestarian hutan dalam perdagangan hasil hutan.
Menurutnya, kajian itu memberikan gambaran mengenai perkembangan di negara produsen selain Indonesia dalam mengembangkan, menegosiasikan, dan implementasi FLEGT-VPA, khususnya dalam kebijakan negara pasar.
Agus mengatakan kajian tersebut merupakan tindak lanjut dari diskusi tingkat tinggi antara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan para Duta Besar Republik Indonesia RI untuk Eropa.
Kajian dilaksanakan oleh tim dari Universitas Freiburg Jerman dan Institut Sebijak Universitas Gajah Mada dengan dukungan pembiayaan dari Pemerintah Indonesia (Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Republik Federal Jerman) dan dari Pemerintah Inggris.
"Kajian diharapkan dapat memberikan informasi tentang bagaimana VPA FLEGT saat ini berfungsi, khususnya di Indonesia dan Eropa, apa saja langkah-langkah kebijakan sisi permintaan baru yang muncul di beberapa pasar utama, dan apa implikasinya bagi negara-negara produsen seperti Indonesia dari kebijakan dan kerangka hukum internasional yang baru dan berkembang ini," katanya.
Agus berharap FLEGT VPA dapat diimplementasikan secara konsisten oleh kedua belah, baik dari sisi negara produsen maupun negara konsumen.
"Negara produsen perlu memberikan pengakuan pasar yang lebih luas atas sistem nasional melalui kemitraan yang menerapkan prinsip-prinsip saling percaya, saling menghormati dan saling menguntungkan pihak-pihak yang terlibat," katanya.*
Baca juga: FAO dukung produksi, perdagangan kayu legal di Indonesia
Baca juga: FAO bantu pengrajin kayu Jepara urus sertifikasi ramah lingkungan
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022
Tags: