Regenerasi petani, sebuah refleksi di Hari Tani 2022
Oleh Entang Sastraatmadja*
24 September 2022 09:36 WIB
Ilustrasi - Petani memanen padi di desa Brondong, Kecamatan Pasekan, Indramayu, Jawa Barat, Jumat (8/5/2022). ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/nym/pri.
Jakarta (ANTARA) - Tanggal 24 September 2022, kembali bangsa ini memperingati Hari Tani Nasional. Para petani di seluruh Indonesia merayakannya. Tanggal 24 September adalah pengingat bahwa pada tanggal itu di tahun 1960, Presiden Republik Indonesia Ir Soekarno menetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Memperingati Hari Tani, tentu tidak lepas dengan kiprah petani. Menurut Ir Soekarno, petani merupakan akronim dari Penyangga Tatanan Negara Indonesia. Kepanjangan yang khusus disematkan untuk kata 'petani' tersebut disampaikan pertama kali pada tahun 1952.
Pada peringatan Hari Tani Nasional saat ini, ada satu persoalan besar yang perlu dijadikan permenungan, yakni masalah regenerasi petani yang sudah menunjukkan "lampu merah", mengkhawatirkan.
Oleh sebab itu, menjadi cukup relevan jika hal ini menjadi bahasan serius secara sungguh-sungguh agar diperoleh jalan keluar terbaiknya.
Regenerasi petani saat ini kembali ramai dibincangkan para pihak. Semakin enggannya kaum muda untuk berprofesi sebagai petani, membuat para pengambil kebijakan di sektor pertanian, sedikit kebingungan untuk mencari generasi penerus yang bakal berkiprah menjadi petani di negeri agraris ini.
Di sisi lain, para petani yang sekarang ini ada, rata-rata sudah berumur di atas 50 tahun. Satu dasa warsa ke depan, mereka akan dimakan usia dan sangat sulit untuk bekerja lebih produktif. Itu sebabnya, bangsa ini tidak boleh bermain-main lagi dengan urusan regenerasi petani.
Sebab, sekali saja keliru dalam menerapkan kebijakan, boleh jadi akan membawa dampak buruk bagi masa depan pembangunan pertanian di tanah air. Kerisauan akan adanya fenomena anak muda enggan jadi petani sebetulnya telah mengemuka sejak 40 tahun lalu.
Isu yang berkembang kala itu adalah adanya sebagian anak muda perdesaan yang lebih memilih untuk bekerja di luar sektor pertanian. Mereka lebih memilih menjadi buruh harian lepas di perkotaan dengan penghasilan yang tidak menentu, ketimbang harus bekerja sebagai petani.
Kalau pun harus tinggal di perdesaan, mereka akan minta kepada orang tuanya untuk dibelikan sepeda motor agar dapat bekerja menjadi tukang ojek.
Di mata kaum muda, petani bukan lagi pekerjaan yang menjanjikan. Menjadi petani tidak mungkin akan dapat hidup sejahtera. Justru saat ini, yang namanya petani merupakan gambaran kemiskinan sebuah warga negara.
Kaum tani, khususnya mereka yang disebut petani gurem dan buruh tani adalah potret warga negara yang kondisi kehidupannya cukup memprihatinkan. Itu pun bila tidak berkenan disebut memilukan atau mengenaskan. Kemiskinan yang menjerat kehidupannya, membuat mereka sangat sulit untuk berubah nasib. Mereka tetap sengsara dan melarat.
Sebagian besar dari mereka lebih banyak menggantungkan kehidupan nya kepada bantuan sosial ketimbang pada profesi yang digelutinya. Apalagi di masa pandemi COVID-19, nasib dan kehidupannya, tidak mungkin hanya mengandalkan penghasilan dari profesinya sebagai petani gurem atau buruh tani. Tanpa ada bantuan sosial, bisa saja nyawa mereka tidak akan tersambung lagi.
Atas dasar pemikiran yang demikian, semua pihak hampir pasti akan menolak keras jika yang diregenerasikan itu adalah petani gurem dan buruh tani.
Petani Pengusaha
Ke depan, yang dibutuhkan bangsa ini adalah sosok petani pengusaha yang mandiri dan profesional. Bangsa ini harus mampu mengubah citra dan potret petani gurem dan buruh tani ke arah yang lebih baik. Konsep dasar regenerasi petani, seharusnya berangkat dari pola pikir yang seperti ini.
Hasrat untuk melakukan regenerasi petani, sebetulnya telah mengumandang sejak lama. Yang disesalkan, mengapa bangsa ini tidak bersepakat secepatnya mengeksekusi keinginan yang mulia ini.
Regenerasi petani lebih tampil sebagai jargon ketimbang realisasi. Ini sebetulnya yang harus dihindari. Maka regenerasi petani harus sudah dimulai dan jangan sampai ditunda-tunda pelaksanaannya.
Regenerasi petani, sepertinya memang membutuhkan sebuah desain besar atau master plan. Secara nasional, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) diharapkan untuk menyusun dan merumuskan desain besar regenerasi petani Indonesia.
Dalam prosesnya, Bappenas dapat bersinergi dan berkolaborasi dengan Kementerian/Lembaga terkait. Desain besar atau cetak biru inilah yang akan dijadikan arah pelaksanaan regenerasi petani.
Selain itu, agar pelaksanaannya terukur, diperlukan pula adanya peta jalan regenerasi petani. Berbasis desain besar dan petak jalan (road map) diharapkan ada haluan bagi para pengambil kebijakan dalam menentukan skala prioritas penerapan regenerasi petani. Saatnya mewujudkan regenerasi petani dengan mengubah jargon menjadi fakta kehidupan.
Catatan kritis yang sepantasnya dibincangkan adalah apa dan bagaimana sebetulnya sikap pengambil kebijakan dalam menghadapi situasi yang demikian? Apakah ada solusi cerdas yang dikembangkan sehingga kaum muda banyak yang ingin berkiprah menjadi petani? Apakah ada penjaminan dari negara, bila ada kaum muda yang mau menjadi petani, mereka tidak bakal hidup menderita?
Salah satu keengganan kaum muda untuk berkiprah sebagai petani, tidak lain karena profesi petani tampak tidak mampu mengubah potret kemiskinan yang saat ini mendera kehidupannya.
Menjadi petani seperti identik dengan masuk ke dunia kesengsaraan. Banyak kisah dan cerita, tentang citra hidup menjadi petani di negeri agraris yang dianggap sama saja dengan melestarikan kemiskinan.
Itulah sekilas pandangan yang terkait dengan kemiskinan petani. Anehnya lagi, para orang tua yang kini berprofesi petani melarang anak-anaknya untuk menjadi petani. Pertanyaannya adalah mengapa para orang tua melarang anak-anak mereka jadi petani? Apakah mereka sudah sangat merasakan kesusahannya menjadi petani. Atau, mereka berpikir janganlah suasana hidup miskin yang dialaminya, akan dirasakan pula oleh anak-anak mereka.
Disodorkan pada kondisi yang demikian, Pemerintah harus langsung bersikap dan membuat jaminan menjadi petani di negeri ini akan hidup sejahtera dan bahagia.
Penjaminan ini betul-betul sangat dibutuhkan, agar kaum muda memiliki keyakinan baru jika dan hanya jika mereka memilih petani sebagai profesi kehidupannya. Pertanyaannya adalah apa, bagaimana dan seperti apa jaminannya?
Jaminan jadi petani tidak akan hidup sengsara, idealnya dirumuskan secara serius dan melibatkan berbagai komponen bangsa. Jaminan ini betul-betul menjadi garansi Pemerintah yang tidak hanya sekedar basa-basi politik.
Petani tidak boleh hidup miskin. Petani harus sejahtera. Oleh karena itu, semua pihak harus sepakat untuk membuktikan jadi petani itu pasti hidup bahagia sebuah upaya bersama untuk mengubah citra petani Indonesia menjadi lebih baik.
Percik permenungan seperti inilah yang paling pantas dilakukan ketika segenap bangsa memperingati Hari Tani Nasional 2022.
*) Entang Sastraatmadja adalah Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.
Memperingati Hari Tani, tentu tidak lepas dengan kiprah petani. Menurut Ir Soekarno, petani merupakan akronim dari Penyangga Tatanan Negara Indonesia. Kepanjangan yang khusus disematkan untuk kata 'petani' tersebut disampaikan pertama kali pada tahun 1952.
Pada peringatan Hari Tani Nasional saat ini, ada satu persoalan besar yang perlu dijadikan permenungan, yakni masalah regenerasi petani yang sudah menunjukkan "lampu merah", mengkhawatirkan.
Oleh sebab itu, menjadi cukup relevan jika hal ini menjadi bahasan serius secara sungguh-sungguh agar diperoleh jalan keluar terbaiknya.
Regenerasi petani saat ini kembali ramai dibincangkan para pihak. Semakin enggannya kaum muda untuk berprofesi sebagai petani, membuat para pengambil kebijakan di sektor pertanian, sedikit kebingungan untuk mencari generasi penerus yang bakal berkiprah menjadi petani di negeri agraris ini.
Di sisi lain, para petani yang sekarang ini ada, rata-rata sudah berumur di atas 50 tahun. Satu dasa warsa ke depan, mereka akan dimakan usia dan sangat sulit untuk bekerja lebih produktif. Itu sebabnya, bangsa ini tidak boleh bermain-main lagi dengan urusan regenerasi petani.
Sebab, sekali saja keliru dalam menerapkan kebijakan, boleh jadi akan membawa dampak buruk bagi masa depan pembangunan pertanian di tanah air. Kerisauan akan adanya fenomena anak muda enggan jadi petani sebetulnya telah mengemuka sejak 40 tahun lalu.
Isu yang berkembang kala itu adalah adanya sebagian anak muda perdesaan yang lebih memilih untuk bekerja di luar sektor pertanian. Mereka lebih memilih menjadi buruh harian lepas di perkotaan dengan penghasilan yang tidak menentu, ketimbang harus bekerja sebagai petani.
Kalau pun harus tinggal di perdesaan, mereka akan minta kepada orang tuanya untuk dibelikan sepeda motor agar dapat bekerja menjadi tukang ojek.
Di mata kaum muda, petani bukan lagi pekerjaan yang menjanjikan. Menjadi petani tidak mungkin akan dapat hidup sejahtera. Justru saat ini, yang namanya petani merupakan gambaran kemiskinan sebuah warga negara.
Kaum tani, khususnya mereka yang disebut petani gurem dan buruh tani adalah potret warga negara yang kondisi kehidupannya cukup memprihatinkan. Itu pun bila tidak berkenan disebut memilukan atau mengenaskan. Kemiskinan yang menjerat kehidupannya, membuat mereka sangat sulit untuk berubah nasib. Mereka tetap sengsara dan melarat.
Sebagian besar dari mereka lebih banyak menggantungkan kehidupan nya kepada bantuan sosial ketimbang pada profesi yang digelutinya. Apalagi di masa pandemi COVID-19, nasib dan kehidupannya, tidak mungkin hanya mengandalkan penghasilan dari profesinya sebagai petani gurem atau buruh tani. Tanpa ada bantuan sosial, bisa saja nyawa mereka tidak akan tersambung lagi.
Atas dasar pemikiran yang demikian, semua pihak hampir pasti akan menolak keras jika yang diregenerasikan itu adalah petani gurem dan buruh tani.
Petani Pengusaha
Ke depan, yang dibutuhkan bangsa ini adalah sosok petani pengusaha yang mandiri dan profesional. Bangsa ini harus mampu mengubah citra dan potret petani gurem dan buruh tani ke arah yang lebih baik. Konsep dasar regenerasi petani, seharusnya berangkat dari pola pikir yang seperti ini.
Hasrat untuk melakukan regenerasi petani, sebetulnya telah mengumandang sejak lama. Yang disesalkan, mengapa bangsa ini tidak bersepakat secepatnya mengeksekusi keinginan yang mulia ini.
Regenerasi petani lebih tampil sebagai jargon ketimbang realisasi. Ini sebetulnya yang harus dihindari. Maka regenerasi petani harus sudah dimulai dan jangan sampai ditunda-tunda pelaksanaannya.
Regenerasi petani, sepertinya memang membutuhkan sebuah desain besar atau master plan. Secara nasional, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) diharapkan untuk menyusun dan merumuskan desain besar regenerasi petani Indonesia.
Dalam prosesnya, Bappenas dapat bersinergi dan berkolaborasi dengan Kementerian/Lembaga terkait. Desain besar atau cetak biru inilah yang akan dijadikan arah pelaksanaan regenerasi petani.
Selain itu, agar pelaksanaannya terukur, diperlukan pula adanya peta jalan regenerasi petani. Berbasis desain besar dan petak jalan (road map) diharapkan ada haluan bagi para pengambil kebijakan dalam menentukan skala prioritas penerapan regenerasi petani. Saatnya mewujudkan regenerasi petani dengan mengubah jargon menjadi fakta kehidupan.
Catatan kritis yang sepantasnya dibincangkan adalah apa dan bagaimana sebetulnya sikap pengambil kebijakan dalam menghadapi situasi yang demikian? Apakah ada solusi cerdas yang dikembangkan sehingga kaum muda banyak yang ingin berkiprah menjadi petani? Apakah ada penjaminan dari negara, bila ada kaum muda yang mau menjadi petani, mereka tidak bakal hidup menderita?
Salah satu keengganan kaum muda untuk berkiprah sebagai petani, tidak lain karena profesi petani tampak tidak mampu mengubah potret kemiskinan yang saat ini mendera kehidupannya.
Menjadi petani seperti identik dengan masuk ke dunia kesengsaraan. Banyak kisah dan cerita, tentang citra hidup menjadi petani di negeri agraris yang dianggap sama saja dengan melestarikan kemiskinan.
Itulah sekilas pandangan yang terkait dengan kemiskinan petani. Anehnya lagi, para orang tua yang kini berprofesi petani melarang anak-anaknya untuk menjadi petani. Pertanyaannya adalah mengapa para orang tua melarang anak-anak mereka jadi petani? Apakah mereka sudah sangat merasakan kesusahannya menjadi petani. Atau, mereka berpikir janganlah suasana hidup miskin yang dialaminya, akan dirasakan pula oleh anak-anak mereka.
Disodorkan pada kondisi yang demikian, Pemerintah harus langsung bersikap dan membuat jaminan menjadi petani di negeri ini akan hidup sejahtera dan bahagia.
Penjaminan ini betul-betul sangat dibutuhkan, agar kaum muda memiliki keyakinan baru jika dan hanya jika mereka memilih petani sebagai profesi kehidupannya. Pertanyaannya adalah apa, bagaimana dan seperti apa jaminannya?
Jaminan jadi petani tidak akan hidup sengsara, idealnya dirumuskan secara serius dan melibatkan berbagai komponen bangsa. Jaminan ini betul-betul menjadi garansi Pemerintah yang tidak hanya sekedar basa-basi politik.
Petani tidak boleh hidup miskin. Petani harus sejahtera. Oleh karena itu, semua pihak harus sepakat untuk membuktikan jadi petani itu pasti hidup bahagia sebuah upaya bersama untuk mengubah citra petani Indonesia menjadi lebih baik.
Percik permenungan seperti inilah yang paling pantas dilakukan ketika segenap bangsa memperingati Hari Tani Nasional 2022.
*) Entang Sastraatmadja adalah Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.
Copyright © ANTARA 2022
Tags: