Jakarta (ANTARA) - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meminta agar penerapan kebijakan hilirisasi timah bisa dilakukan secara bertahap menyusul rencana Presiden Jokowi yang akan menghentikan ekspor timah pada akhir 2022.

Penjabat sementara (Pjs) Wakil Ketua Umum Bidang ESDM Kadin Indonesia Carmelita Hartoto dalam keterangan di Jakarta, Jumat, mengatakan meski Indonesia adalah eksportir logam timah terbesar di dunia, namun penyerapan timah di dalam negeri masih sangat rendah.

Dalam catatannya, penyerapan dalam negeri hanya sekitar 5 persen dari produksi logam timah nasional, padahal ekspor logam timah tercatat terus meningkat hingga 74 ribu ton pada 2021.

"Penyerapan logam timah untuk kebutuhan domestik masih sangat kecil. Hal ini memperlihatkan adanya kesenjangan antara industri hulu dengan hilir. Industri hulu timah berkembang pesat, sebaliknya hilir belum," katanya

Sebagai payung dunia usaha RI, Kadin berharap pemerintah bisa terus menggenjot infrastruktur hilirisasi sehingga hilirisasi sumber daya alam (SDA) secara bertahap bisa dilakukan.

Selain itu, pemerintah juga diharapkan bisa memberikan sejumlah insentif seperti pembebasan pajak dan mempermudah perizinan operasi bagi perusahaan luar dan dalam negeri.

Persiapan infrastruktur dan insentif dinilai dapat menarik investor, serta menjamin kedua mineral tersebut terserap pasar domestik. Hilirisasi ini juga membutuhkan roadmap sebagai guidelines (petunjuk) bagi para pelaku usaha.

"Kadin Indonesia mendukung penuh hilirisasi ini, namun hilirisasi timah ini harus dilakukan secara bertahap. Dalam melakukan hilirisasi, pelaku usaha membutuhkan persiapan yang matang dan modal yang cukup, di mana artinya pelaku usaha memerlukan waktu kurang lebih 10 tahun jika ingin hilirisasi yang optimal. Tak hanya itu, dalam melakukan hilirisasi juga diperlukan roadmap yang jelas," ucap Carmelita.

Wakil Ketua Komite Tetap Mineral dan Batu Bara Jabin Sufianto, yang juga Sekretaris Jenderal Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI), mengatakan bursa timah harus dioptimalkan terlebih dahulu sebelum memulai hilirisasi ini.

Terlebih, menurutnya, volume ingot timah di Indonesia besar, sehingga punya potensi untuk dapat mendikte dan menguasai dunia.

"Dengan banyaknya volume ingot di Indonesia, hal ini dapat dijadikan bargaining power (posisi tawar) untuk Indonesia. Maka dari itu, dalam mengolah timah, jangan diurai ke bawah menjadi produk ritel, karena pasarnya sedikit," ucap Jabin.

Jabin menambahkan, dalam melakukan hilirisasi, pemerintah harus memperhatikan pajak ekspor di Indonesia. Saat ini, pajak ekspor di Indonesia lebih besar dibandingkan pajak impor, yakni 11 persen, sementara pajak impor hanya 0 persen.

Hal itulah, yang dinilai Jabin memberatkan pelaku usaha dalam melakukan hilirisasi.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral, jumlah sumber daya dan cadangan timah di Indonesia pada tahun 2018 berjumlah 2 juta ton kasiterit.

Sementara, pada tahun 2020, meningkat berjumlah 2,76 juta ton kasiterit dan 2,72 ton kasiterit. Cadangan timah Indonesia diestimasikan akan habis pada tahun 2046.

Baca juga: Kementerian ESDM bahas percepatan hilirisasi timah di Bangka Belitung

Baca juga: Bahlil: Pemerintah akan larang ekspor bauksit dan timah tahun ini