BI catat penyesuaian GWM serap likuiditas perbankan Rp269,3 triliun
22 September 2022 19:12 WIB
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan sambutan pada acara Penguatan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (3/9/2022). . ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/wsj.
Jakarta (ANTARA) - Bank Indonesia (BI) mencatat penyesuaian secara bertahap Giro Wajib Minimum (GWM) rupiah dan pemberian insentif GWM sejak 1 Maret sampai 15 September 2022 telah menyerap likuiditas perbankan sekitar Rp269,3 triliun.
"Penyerapan likuiditas tersebut tidak mengurangi kemampuan perbankan dalam penyaluran kredit atau pembiayaan kepada dunia usaha maupun partisipasi dalam pembelian Surat Berharga Negara (SBN) untuk pembiayaan APBN," ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI bulan September di Jakarta, Kamis.
Pada Agustus 2022, rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masih tinggi mencapai 26,52 persen. DPK juga berhasil tumbuh 7,77 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), meskipun lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada Juli 2022 sebesar 8,59 persen (yoy).
Ia menyampaikan perlambatan DPK dikontribusikan oleh peningkatan konsumsi masyarakat, belanja modal korporasi, dan preferensi penempatan dana pada aset keuangan lain yang terindikasi dari nilai kepemilikan SBN.
Baca juga: BI: Kenaikan bunga acuan bakal arahkan inflasi inti ke bawah 4 persen
Tak hanya dari sisi likuiditas, ketahanan perbankan juga terlihat dari sisi permodalan yang tetap terjaga baik, tercermin dari rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) Juli 2022 yang tetap tinggi sebesar 24,86 persen.
"Hasil simulasi BI juga menunjukkan bahwa ketahanan perbankan masih terjaga. Namun sejumlah faktor risiko, baik dari sisi kondisi makroekonomi domestik maupun gejolak eksternal tetap perlu diwaspadai potensi dampaknya pada laju pemulihan intermediasi ke depan," tuturnya.
Seiring dengan kuatnya permodalan, kata Perry, risiko tetap terkendali yang tercermin dari rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) pada Juli 2022 yang tercatat 2,9 persen (bruto) dan 0,82 persen (neto).
Di samping itu, likuiditas perekonomian juga tetap longgar, tercermin pada uang beredar dalam arti sempit (M1) dan luas (M2) yang tumbuh masing-masing sebesar 13,7 persen (yoy) dan 9,5 persen (yoy).
Baca juga: BI perkirakan inflasi 2022 tembus 6 persen akibat kenaikan harga BBM
Baca juga: Bank Indonesia naikkan suku bunga acuan 50 bps, menjadi 4,25 persen
"Penyerapan likuiditas tersebut tidak mengurangi kemampuan perbankan dalam penyaluran kredit atau pembiayaan kepada dunia usaha maupun partisipasi dalam pembelian Surat Berharga Negara (SBN) untuk pembiayaan APBN," ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI bulan September di Jakarta, Kamis.
Pada Agustus 2022, rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masih tinggi mencapai 26,52 persen. DPK juga berhasil tumbuh 7,77 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), meskipun lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada Juli 2022 sebesar 8,59 persen (yoy).
Ia menyampaikan perlambatan DPK dikontribusikan oleh peningkatan konsumsi masyarakat, belanja modal korporasi, dan preferensi penempatan dana pada aset keuangan lain yang terindikasi dari nilai kepemilikan SBN.
Baca juga: BI: Kenaikan bunga acuan bakal arahkan inflasi inti ke bawah 4 persen
Tak hanya dari sisi likuiditas, ketahanan perbankan juga terlihat dari sisi permodalan yang tetap terjaga baik, tercermin dari rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) Juli 2022 yang tetap tinggi sebesar 24,86 persen.
"Hasil simulasi BI juga menunjukkan bahwa ketahanan perbankan masih terjaga. Namun sejumlah faktor risiko, baik dari sisi kondisi makroekonomi domestik maupun gejolak eksternal tetap perlu diwaspadai potensi dampaknya pada laju pemulihan intermediasi ke depan," tuturnya.
Seiring dengan kuatnya permodalan, kata Perry, risiko tetap terkendali yang tercermin dari rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) pada Juli 2022 yang tercatat 2,9 persen (bruto) dan 0,82 persen (neto).
Di samping itu, likuiditas perekonomian juga tetap longgar, tercermin pada uang beredar dalam arti sempit (M1) dan luas (M2) yang tumbuh masing-masing sebesar 13,7 persen (yoy) dan 9,5 persen (yoy).
Baca juga: BI perkirakan inflasi 2022 tembus 6 persen akibat kenaikan harga BBM
Baca juga: Bank Indonesia naikkan suku bunga acuan 50 bps, menjadi 4,25 persen
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2022
Tags: