Jakarta (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Indonesia, Eugenia Mardanugraha mengatakan pemerintah dapat menggunakan instrumen pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK) untuk mengendalikan volume ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO).
Menurut dia, penerapan Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) untuk mengendalikan ekspor CPO selama ini justru menimbulkan risiko ketidakpastian dan inefisiensi perdagangan.
"Selama diterapkan, kebijakan non tariff barrier ini, justru membatasi volume ekspor dan terhambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia," katanya melalui keterangan tertulis di Jakarta, Kamis.
Dikatakannya, dampak dari diberlakukannya DMO dan DPO adalah turunnya ekspor produk sawit secara signifikan dan petani sawit mengalami kesulitan menjual tandan buah segar (TBS).
Kebijakan DMO, tambahnya, tidak dapat menurunkan harga minyak goreng, namun justru akan menurunkan ekspor CPO yang pada akhirnya menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Ketua Tim Peneliti LPEM UI ini menambahkan kenaikan harga minyak goreng selama ini bukan disebabkan oleh ketersediaan CPO di dalam negeri, namun karena terjadinya kenaikan harga CPO di market internasional. Naiknya migor juga dipengaruhi oleh kebijakan harga eceran tertinggi (HET) yang membuat produsen mengurangi suplai sehingga terjadi kelangkaan.
Untuk itu, lanjutnya, pemerintah dapat menggunakan instrumen pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK) untuk mengendalikan volume ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO).
“Hasil pungutan ekspor CPO dapat digunakan untuk melakukan subsidi minyak goreng sehingga harga terkendali,” katanya.
Senada dengan itu Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Gulat Manurung meminta Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan untuk segera menghapus DMO dan DPO minyak sawit/CPO.
Menurut dia, kebijakan DMO dan DPO merupakan salah satu penyebab hancurnya harga TBS petani. Sehingga menurutnya Mendag tak perlu ragu dan berpikir lebih lama untuk penghapusan DMO dan DPO ini.
"Dengan dihapusnya DMO dan DPO, ke depannya cukup menggunakan instrumen BK dan PE," ujarnya.
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI), Tungkot Sipayung mengharapkan pemerintah bertahan pada mekanisme yang telah teruji selama ini yakni kombinasi antara PE dan BK karena kebijakan ini lebih menjamin hilirisasi dan peningkatan penggunaan konsumsi domestik baik untuk energi maupun makanan dan oleokimia.
"Misalnya, ketika harga internasional CPO naik, pemerintah tinggal menaikan pungutan ekspor, sehingga tidak perlu menunggu sampai minyak goreng menghilang dari pasar. Kalau harga CPO stabil, pungutan ekspor bisa baru diturunkan pelan-pelan," katanya.
Menurut dia, langkah pemerintah mengatasi kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng dengan melarang ekspor CPO merupakan kebijakan yang tidak tepat. Bongkar pasang kebijakan, selain menimbulkan ketidakpastian berusaha juga membuat resiko rawan akan pelanggaran.
Oleh karena itu, Tungkot menyatakan bahwa kebijakan DMO dan DPO tidak diperlukan lagi di Indonesia.
Baca juga: Harga ekspor CPO Indonesia masih tertekan
Baca juga: LPEM UI: peningkatan ekspor CPO dapat dongkrak harga TBS
Akademisi sarankan pemerintah gunakan PE dan BK kendalikan ekspor CPO
22 September 2022 16:33 WIB
Ilustrasi - Pelabuhan di Dumai yang mendukung kegiatan ekspor CPO asal Riau. (ANTARA/HO-Humas Pelindo/aa)
Pewarta: Subagyo
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022
Tags: