Jakarta (ANTARA) - Penyakit alzheimer adalah bentuk demensia yang paling umum, berjumlah kira-kira dua-pertiga dari semua kasus.
Penyakit ini menyebabkan penurunan kemampuan kognitif secara berangsur-angsur, sering bermula dengan kehilangan daya ingat.
Mayoritas penyandang alzheimer adalah manusia lanjut usia atau manula, dimana struktur kimia otak menjadi semakin rusak dari waktu ke waktu. Kemampuan seseorang untuk mengingat, memahami, berkomunikasi dan berpikir secara bertahap pun menurun.
Maka dari itu, penting bagi orang dengan demensia (ODD) untuk mendapatkan perawatan pascadiagnosis.
Namun, laporan dari World Azheimer's Report 2022 menunjukkan bahwa 85 persen dari total 55 juta ODD yang masih hidup sampai saat ini ada kemungkinan tidak menerima perawatan pascadiagnosis.
Laporan itu menandai tahun ke-29 perayaan World Alzheimer’s Day dan tahun ke-11 World Alzheimer’s Month.
Berdasarkan laporan itu, jumlah ODD diperkirakan akan mencapai 139 juta orang pada 2050.
Laporan yang ditulis oleh Alzheimer's Disease International (ADI), federasi internasional dari 105 asosiasi Alzheimer dan demensia di seluruh dunia, bersama McGill University ini berfokus untuk mendorong perbaikan yang signifikan pada perawatan dan layanan dukungan pascadiagnosis ODD.
Perawatan, pengobatan dan dukungan pascadiagnosis demensia mengacu pada beberapa intervensi yang dapat meningkatkan kualitas hidup bagi ODD. Hal ini termasuk perawatan farmakologis dan non-farmakologis, caregiver, akses ke perawatan kesehatan, dukungan untuk aktivitas kehidupan sehari-hari, adaptasi di rumah, sosial inklusi dan kesempatan untuk beristirahat.
“Kami tidak mempertanyakan apakah penderita kanker memerlukan pengobatan. Jadi mengapa ketika orang menerima diagnosis demensia, mereka sering tidak ditawari pengobatan atau perawatan. Berulang kali, mereka hanya diminta untuk bersiap-siap untuk menyongsong akhir hidupnya,” kata CEO ADI Paola Barbarino dalam keterangannya.
Inilah yang menjadikan pentingnya peningkatan tingkat diagnosis dan perawatan pascadiagnosis demensia harus diakui sebagai hak asasi manusia.
“Walaupun demensia belum memiliki obat, ada bukti jelas yang menunjukkan bahwa perawatan, pengobatan, dan dukungan pascadiagnosis yang tepat akan meningkatkan kualitas hidup ODD secara signifikan," tambah Paola.
Hal ini juga memungkinkan banyak ODD untuk menjadi mandiri dan tidak membebani caregiver dan keluarga.
Tekanan pada sistem perawatan kesehatan global selama pandemi semakin memperburuk kemampuan profesional perawatan kesehatan untuk memberikan perawatan dan dukungan pascadiagnosis yang memadai bagi orang-orang yang hidup dengan demensia.
Michael Maitimoe Direktur Eksekutif Yayasan Alzheimer Indonesia mengatakan dukungan pascadiagnosis bagi ODD masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bersama baik pemerintah, tenaga kesehatan maupun dukungan dari keluarga dan masyarakat.
"Hal ini disebabkan masih minimnya tenaga kesehatan yang memahami isu demensia, khususnya di daerah-daerah sehingga perlu penguatan kemampuan, keahlian serta pengetahuan di tingkat layanan kesehatan dari puskesmas hingga rumah sakit," ujar Michael.
Tidak hanya itu, sebagai dampak dari COVID-19, akses kesehatan bagi lansia, khususnya demensia, menjadi kurang mendapat dukungan layanan kesehatan yang optimal.
Paola mengatakan bahwa dia bersimpati pada para tenaga kesehatan karena tekanan yang mereka alami. Oleh karena itu Paola mengajak pemerintah untuk melakukan lebih banyak investasi dan mendukung para tenaga medis agar perawatan demensia pascadiagnosis tidak terpinggirkan.
“Secara global, sebagian besar para tenaga kesehatan tidak memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai demensia. Hal ini berdampak pada kekurangan sumber daya untuk memberikan perawatan pasca-diagnosis yang memadai bagi ODD,” kata Paola.
Oleh sebab itu peran pemerintah dikatakan Paola semakin penting dalam menopang sistem perawatan kesehatan, sehingga para tenaga kesehatan dapat memberikan perawatan berkualitas yang sangat dibutuhkan oleh ODD.
Alzheimer di Indonesia
PBB telah mengakui demensia sebagai invisible disability dan sebagai bagian dari panggilan ADI dan Asosiasi Alzheimer Indonesia (ALZI) agar perawatan pascadiagnosis diakui sebagai hak asasi manusia.
PBB juga mendesak pemerintah di seluruh dunia untuk memasukkan perawatan pasca-diagnosis ke dalam perencanaan strategis sistem kesehatan nasional.
“Pertumbuhan jumlah lansia di Indonesia yang mencapai 29 juta pada 2021 serta ODD yang mencapai 1.2 juta di Indonesia pada 2016 dan diprediksikan mencapai 4 juta di tahun 2050, menunjukkan pentingnya dukungan semua pihak dalam mendukung layanan pascadiagnosis," kata Michael.
ALZI sebagai organisasi yang memiliki visi untuk meningkatkan kualitas hidup ODD dan caregivers-nya melakukan berbagai upaya melalui dukungan komunitas, layanan edukasi dan sosialisasi, pelatihan, serta layanan Konsultasi Navigasi Perawatan ALZI (NARAZI) yang difasilitasi Care Navigators ALZI.
Harapannya aneka kegiatan tersebut dapat mendukung perjalanan perawatan demensia, baik ODD dan keluarga di Indonesia.
ADI dan ALZI merekomendasikan bahwa langkah pertama yang dapat diambil pemerintah adalah berkomitmen untuk mengidentifikasi "navigator" terlatih untuk bertindak sebagai penghubung bagi ODD. Hal ini memungkinkan para ODD untuk terhubung dan terlibat dengan dukungan dan layanan vital yang mereka butuhkan.
Kualitas hidup ODD tentunya akan meningkat dengan pesat jika mereka memiliki akses yang jelas ke sumber daya kesehatan, perawatan, informasi, saran, dukungan, dan berbagai cara untuk beradaptasi dengan demensia.
Maka harus dipastikan para navigator ini dapat bertindak sebagai satu titik kontak bagi ODD dapat menjadi kunci untuk membantu menavigasi perjalanan yang sangat kompleks ini.
Artikel
Pentingnya perawatan pascadiagnosis bagi penyandang Alzheimer
Oleh Maria Rosari Dwi Putri
22 September 2022 10:21 WIB
Ilustrasi Alzheimer (ANTARA/Shutterstock/Orawan Pattarawimonchai).
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022
Tags: