Empat ABH kasus pemerkosaan di Jakut tak layak kembali ke orang tua
20 September 2022 15:25 WIB
Perwakilan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), dan tim Kantor Pengacara Hotman Paris saat menempuh pendekatan diversi terhadap kasus pemerkosaan terhadap korban anak di bawah umur di Cilincing tersebut di Markas Polres Metro Jakarta Utara, Selasa (20/9/2022). ANTARA/Abdu Faisal/am.
Jakarta (ANTARA) - Empat Anak Berhadapan Hukum (ABH) yang diduga terlibat kasus pemerkosaan di Hutan Kota Rawa Malang, Semper Timur, Cilincing, Jakarta Utara, direkomendasikan tidak layak mendapat pembinaan kembali dari orang tua mereka.
Rekomendasi disampaikan Komisi Nasional Perlindungan Anak, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia dan tim Kantor Pengacara Hotman Paris saat menempuh pendekatan diversi terhadap kasus pemerkosaan terhadap korban anak di bawah umur di Cilincing tersebut di Markas Polres Metro Jakarta Utara, Selasa.
"Kami merekomendasikan lewat pendekatan diversi itu dengan mengembalikan pembinaan kepada negara," kata Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait di Mapolrestro Jakarta Utara, Selasa.
Mulai hari ini, kata dia, akan tetap ditambahkan waktu untuk penitipan sementara anak-anak ini ke Kementerian Sosial. Dalam hal ini Panti Sosial Putra Handayani di Cipayung, Jakarta Timur, sampai proses hukum selesai.
Arist mengatakan, keempat ABH yang merudapaksa korban berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah.
Baca juga: Komnas Perlindungan Anak lindungi ABH dan korban pemerkosaan di Jakut
Kondisi tersebut sedikit banyak mempengaruhi perilaku para ABH sehingga mereka berani melakukan tindakan di luar batasan.
"Kondisi keluarga ABH ini tidak baik, secara ekonomi juga tidak baik dan mereka juga tidak mempunyai keluarga yang utuh, ayah-ibu yang tanggung dan sebagainya," kata Arist.
Keempat bocah dengan rentang usia 11 sampai 13 tahun tersebut juga diketahui berstatus putus sekolah.
Arist mengatakan keputusan orang tua yang tidak memberikan hak pendidikan anak-anak mereka dapat dikategorikan sebagai penelantaran.
"Tidak menyekolahkan, padahal anak itu harus sekolah, itu salah satu bisa tindak pidana karena penelantaran anak karena tidak menyekolahkan," kata Arist.
Baca juga: Komnas sebut ada 58 kasus kekerasan seksual anak di Jakut
Akibat tidak menyekolahkan anak-anak mereka, keempat ABH tersebut diduga tumbuh tidak sesuai norma dan nilai sosial.
Karena itu, Arist menegaskan kembali bahwa orang tua dari keempat bocah tersebut bisa terancam pidana bila nantinya ada yang melaporkan terkait penelantaran anak.
"Itu bisa diancam kurungan enam bulan, bahkan lima tahun bisa, kalau unsurnya itu terpenuhi adanya penelantaran anak," kata Arist.
Namun Arist belum berniat melaporkan orang tua ABH tersebut karena masih mempelajari dugaan penelantaran anak yang dilakukan, mengingat proses asesmen yang lebih mendetail belum selesai dilakukan oleh Komnas PA.
Selain itu laporan hukum kasus penelantaran anak belum dilakukan oleh pihak yang dirugikan. Tentunya di luar dari kasus sebelumnya terkait pemerkosaan yang dilaporkan keluarga korban pada 6 September silam.
"Tapi masyarakat juga bisa (melaporkan). Anda juga sebagai wartawan bisa, kalau percaya orang tua itu melakukan penelantaran," kata Arist.
Baca juga: Komnas PA tegur keras orang tua ABH terkait kasus pemerkosaan di Jakut
Setelah ABH dititipkan pembinaannya kepada negara, dalam hal ini melalui panti binaan Kementerian Sosial di Cipayung, Jakarta Timur, Arist berharap hak-hak dasar mereka bisa kembali terpenuhi. Yakni hak memperoleh pendidikan, hak bermain dan sebagainya.
Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi menambahkan, kasus itu menunjukkan bahwa perlindungan anak merupakan tanggung jawab orang sekampung. Bukan hanya polisi dan pemerintah, tapi tanggung jawab masyarakat secara luas dalam lingkungan terdekat.
Seto melihat masih ada ketidakpedulian dan penelantaran masyarakat terhadap anak-anak. Buktinya, anak menjadi bebas ke mana-mana tanpa pendampingan dan pengawasan.
"Ini yang mohon perhatian bukan hanya dari pemerintah, tapi juga masyarakat sendiri. Pengawasan dan pembinaan di lingkungan itu yang seharusnya dihidupkan," kata Seto.
Seto memperhatikan lingkungan masyarakat terkecil seperti Rukun Tetangga (RT) justru sering tidak rukun. Demikian pula Rukun Warga (RW).
Baca juga: Terduga pelaku kekerasan seksual anak di Hutan Kota Jakut ditangkap
Dia mengimbau kepada warga untuk kembali menghidupkan nilai-nilai gotong-royong, kerja sama dan sebagainya supaya antarwarga bisa terus rukun.
LPAI sudah membentuk Satuan Tugas Perlindungan Anak Tingkat Rukun Tetangga (SPARTA) di lima kabupaten/kota se-Indonesia, di antaranya Tangerang Selatan, Banyuwangi, Bengkulu Utara, Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Bitung di Sulawesi Utara. Namun DKI Jakarta ini, SPARTA belum terbentuk.
Dia sudah menyampaikan permohonan kepada Gubernur DKI Jakarta untuk kemungkinan DKI Jakarta menjadi provinsi pertama yang seluruh RT/RW-nya di enam wilayah kota dan kabupaten ini sudah dilengkapi dengan SPARTA ini.
Rekomendasi disampaikan Komisi Nasional Perlindungan Anak, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia dan tim Kantor Pengacara Hotman Paris saat menempuh pendekatan diversi terhadap kasus pemerkosaan terhadap korban anak di bawah umur di Cilincing tersebut di Markas Polres Metro Jakarta Utara, Selasa.
"Kami merekomendasikan lewat pendekatan diversi itu dengan mengembalikan pembinaan kepada negara," kata Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait di Mapolrestro Jakarta Utara, Selasa.
Mulai hari ini, kata dia, akan tetap ditambahkan waktu untuk penitipan sementara anak-anak ini ke Kementerian Sosial. Dalam hal ini Panti Sosial Putra Handayani di Cipayung, Jakarta Timur, sampai proses hukum selesai.
Arist mengatakan, keempat ABH yang merudapaksa korban berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah.
Baca juga: Komnas Perlindungan Anak lindungi ABH dan korban pemerkosaan di Jakut
Kondisi tersebut sedikit banyak mempengaruhi perilaku para ABH sehingga mereka berani melakukan tindakan di luar batasan.
"Kondisi keluarga ABH ini tidak baik, secara ekonomi juga tidak baik dan mereka juga tidak mempunyai keluarga yang utuh, ayah-ibu yang tanggung dan sebagainya," kata Arist.
Keempat bocah dengan rentang usia 11 sampai 13 tahun tersebut juga diketahui berstatus putus sekolah.
Arist mengatakan keputusan orang tua yang tidak memberikan hak pendidikan anak-anak mereka dapat dikategorikan sebagai penelantaran.
"Tidak menyekolahkan, padahal anak itu harus sekolah, itu salah satu bisa tindak pidana karena penelantaran anak karena tidak menyekolahkan," kata Arist.
Baca juga: Komnas sebut ada 58 kasus kekerasan seksual anak di Jakut
Akibat tidak menyekolahkan anak-anak mereka, keempat ABH tersebut diduga tumbuh tidak sesuai norma dan nilai sosial.
Karena itu, Arist menegaskan kembali bahwa orang tua dari keempat bocah tersebut bisa terancam pidana bila nantinya ada yang melaporkan terkait penelantaran anak.
"Itu bisa diancam kurungan enam bulan, bahkan lima tahun bisa, kalau unsurnya itu terpenuhi adanya penelantaran anak," kata Arist.
Namun Arist belum berniat melaporkan orang tua ABH tersebut karena masih mempelajari dugaan penelantaran anak yang dilakukan, mengingat proses asesmen yang lebih mendetail belum selesai dilakukan oleh Komnas PA.
Selain itu laporan hukum kasus penelantaran anak belum dilakukan oleh pihak yang dirugikan. Tentunya di luar dari kasus sebelumnya terkait pemerkosaan yang dilaporkan keluarga korban pada 6 September silam.
"Tapi masyarakat juga bisa (melaporkan). Anda juga sebagai wartawan bisa, kalau percaya orang tua itu melakukan penelantaran," kata Arist.
Baca juga: Komnas PA tegur keras orang tua ABH terkait kasus pemerkosaan di Jakut
Setelah ABH dititipkan pembinaannya kepada negara, dalam hal ini melalui panti binaan Kementerian Sosial di Cipayung, Jakarta Timur, Arist berharap hak-hak dasar mereka bisa kembali terpenuhi. Yakni hak memperoleh pendidikan, hak bermain dan sebagainya.
Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi menambahkan, kasus itu menunjukkan bahwa perlindungan anak merupakan tanggung jawab orang sekampung. Bukan hanya polisi dan pemerintah, tapi tanggung jawab masyarakat secara luas dalam lingkungan terdekat.
Seto melihat masih ada ketidakpedulian dan penelantaran masyarakat terhadap anak-anak. Buktinya, anak menjadi bebas ke mana-mana tanpa pendampingan dan pengawasan.
"Ini yang mohon perhatian bukan hanya dari pemerintah, tapi juga masyarakat sendiri. Pengawasan dan pembinaan di lingkungan itu yang seharusnya dihidupkan," kata Seto.
Seto memperhatikan lingkungan masyarakat terkecil seperti Rukun Tetangga (RT) justru sering tidak rukun. Demikian pula Rukun Warga (RW).
Baca juga: Terduga pelaku kekerasan seksual anak di Hutan Kota Jakut ditangkap
Dia mengimbau kepada warga untuk kembali menghidupkan nilai-nilai gotong-royong, kerja sama dan sebagainya supaya antarwarga bisa terus rukun.
LPAI sudah membentuk Satuan Tugas Perlindungan Anak Tingkat Rukun Tetangga (SPARTA) di lima kabupaten/kota se-Indonesia, di antaranya Tangerang Selatan, Banyuwangi, Bengkulu Utara, Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Bitung di Sulawesi Utara. Namun DKI Jakarta ini, SPARTA belum terbentuk.
Dia sudah menyampaikan permohonan kepada Gubernur DKI Jakarta untuk kemungkinan DKI Jakarta menjadi provinsi pertama yang seluruh RT/RW-nya di enam wilayah kota dan kabupaten ini sudah dilengkapi dengan SPARTA ini.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2022
Tags: