Sidang korupsi RSUD Lombok Utara hadirkan saksi ahli Guru Besar UII
19 September 2022 20:40 WIB
Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Prof. Mudzakir (kedua kiri) memberikan keterangan sebagai ahli dalam sidang pidana korupsi proyek penambahan ruang operasi dan ICU Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lombok Utara di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram, NTB, Senin (19/9/2022). ANTARA/Dhimas B.P.
Mataram (ANTARA) - Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi proyek penambahan ruang operasi dan ICU Rumah Sakit Umum Daerah Lombok Utara di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Mataram, Nusa Tenggara Barat, Senin, menghadirkan saksi ahli Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Profesor Mudzakir.
Mudzakir dihadirkan untuk memberikan pandangan hukum dalam kapasitas sebagai saksi yang meringankan untuk empat orang terdakwa kasus dugaan korupsi itu, yakni Sulaksono, Darsito, Samsul Hidayat, dan Bakri.
Pada kesempatan itu, Mudzakir memaparkan pandangan hukum tentang lembaga negara yang berhak melakukan penghitungan kerugian dalam sebuah kasus pidana korupsi.
"Sesuai konstitusi, hanya BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang berhak melakukan audit kerugian negara. Lembaga lain, tidak bisa," kata Mudzakir di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor yang dipimpin Sri Sulastri.
Baca juga: Kejati NTB tetapkan Wabup Lombok Utara tersangka korupsi proyek RSUD
Dasar BPK melakukan audit kerugian negara, lanjut Mudzakir, telah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.
"Dari tiga aturan itu sudah jelas dasar hukum BPK melaksanakan audit kerugian negara," ujarnya.
Dalam kasus dugaan korupsi proyek RSUD Lombok Utara, jaksa menggandeng Inspektorat NTB sebagai pihak yang melakukan audit kerugian negara. Hasil audit aparat pengawas internal pemerintah (APIP) tersebut menemukan kerugian negara sekitar Rp1,75 miliar.
Jumlah ini jauh lebih besar dibanding temuan kerugian awal hasil audit rutin BPK sebesar Rp212 juta dari total anggaran proyek senilai Rp6,4 miliar pada APBD 2019.
Baca juga: Wabup Lombok Utara tak penuhi panggilan Kejati NTB atas dugaan korupsi
Mengenai langkah jaksa menggunakan hasil audit Inspektorat NTB sebagai kelengkapan alat bukti kasus, Mudzakir mengatakan hal tersebut sebagai sebuah inkonstitusional atau bertentangan dengan konstitusi.
Meskipun demikian, Mudzakir menambahkan belum ada konsekuensi hukum terkait upaya jaksa atau penyidik menggandeng ahli audit di luar BPK.
"Jadi, sejauh ini sah-sah saja. Sepanjang itu menjadi kepentingan internal," ucap Guru Besar UII.
Mudzakir juga menjelaskan bahwa lembaga di luar BPK boleh melakukan audit kerugian negara, tetapi syaratnya harus ada rekomendasi dari BPK.
"Artinya, institusi lain sudah mendapatkan tugas dari BPK langsung untuk melakukan audit," tambahnya.
Selanjutnya mengenai metode penghitungan kerugian negara, ia mengatakan bahwa total loss dan potential loss sudah tidak berlaku lagi. Hal itu sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
"Pada inti substansinya, sistem itu melanggar kepastian hukum. Makanya metode perhitungan kerugian negara harus dilakukan dengan secara factual loss atau real loss. Artinya, kerugian negara itu harus nyata, tidak bisa menggunakan sistem kira-kira atau angan-angan," tegas Mudzakir.
Mudzakir dihadirkan untuk memberikan pandangan hukum dalam kapasitas sebagai saksi yang meringankan untuk empat orang terdakwa kasus dugaan korupsi itu, yakni Sulaksono, Darsito, Samsul Hidayat, dan Bakri.
Pada kesempatan itu, Mudzakir memaparkan pandangan hukum tentang lembaga negara yang berhak melakukan penghitungan kerugian dalam sebuah kasus pidana korupsi.
"Sesuai konstitusi, hanya BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang berhak melakukan audit kerugian negara. Lembaga lain, tidak bisa," kata Mudzakir di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor yang dipimpin Sri Sulastri.
Baca juga: Kejati NTB tetapkan Wabup Lombok Utara tersangka korupsi proyek RSUD
Dasar BPK melakukan audit kerugian negara, lanjut Mudzakir, telah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.
"Dari tiga aturan itu sudah jelas dasar hukum BPK melaksanakan audit kerugian negara," ujarnya.
Dalam kasus dugaan korupsi proyek RSUD Lombok Utara, jaksa menggandeng Inspektorat NTB sebagai pihak yang melakukan audit kerugian negara. Hasil audit aparat pengawas internal pemerintah (APIP) tersebut menemukan kerugian negara sekitar Rp1,75 miliar.
Jumlah ini jauh lebih besar dibanding temuan kerugian awal hasil audit rutin BPK sebesar Rp212 juta dari total anggaran proyek senilai Rp6,4 miliar pada APBD 2019.
Baca juga: Wabup Lombok Utara tak penuhi panggilan Kejati NTB atas dugaan korupsi
Mengenai langkah jaksa menggunakan hasil audit Inspektorat NTB sebagai kelengkapan alat bukti kasus, Mudzakir mengatakan hal tersebut sebagai sebuah inkonstitusional atau bertentangan dengan konstitusi.
Meskipun demikian, Mudzakir menambahkan belum ada konsekuensi hukum terkait upaya jaksa atau penyidik menggandeng ahli audit di luar BPK.
"Jadi, sejauh ini sah-sah saja. Sepanjang itu menjadi kepentingan internal," ucap Guru Besar UII.
Mudzakir juga menjelaskan bahwa lembaga di luar BPK boleh melakukan audit kerugian negara, tetapi syaratnya harus ada rekomendasi dari BPK.
"Artinya, institusi lain sudah mendapatkan tugas dari BPK langsung untuk melakukan audit," tambahnya.
Selanjutnya mengenai metode penghitungan kerugian negara, ia mengatakan bahwa total loss dan potential loss sudah tidak berlaku lagi. Hal itu sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
"Pada inti substansinya, sistem itu melanggar kepastian hukum. Makanya metode perhitungan kerugian negara harus dilakukan dengan secara factual loss atau real loss. Artinya, kerugian negara itu harus nyata, tidak bisa menggunakan sistem kira-kira atau angan-angan," tegas Mudzakir.
Pewarta: Dhimas Budi Pratama
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2022
Tags: