Jakarta (ANTARA) - Industri asuransi dan reasuransi Indonesia dinilai mengalami anomali terkait kondisi hard market yang sedang terjadi secara global.
Direktur Teknik Operasi PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) (Indonesia Re) Delil Khairat, mengungkapkan bahwa market hardening di pasar asuransi dan reasuransi global sudah berlangsung selama 17 kuartal terakhir.
Hard market asuransi dan reasuransi global yang telah terjadi sekitar 4 tahun terakhir ini dinilai telah memberikan hasil bisnis yang lebih baik bagi pelaku industri di luar negeri.
Pelaku pasar di luar negeri, jelasnya, telah meraih profit khususnya dari sektor asuransi dan reasuransi umum.
“Kalau sektor asuransi dan reasuransi jiwa memang masih tertekan sampai 2021, karena Covid-19. Namun, asuransi dan reasuransi umum sudah membaik,” jelasnya, Rabu (14/9/2022).
Namun, Delil mengungkapkan, industri asuransi nasional sebenarnya mengalami anomali. Menurutnya, industri asuransi dalam negeri merasakan hasil yang berbeda.
Pasalnya, industri reasuransi nasional masih membukukan hasil negatif, khususnya untuk produk treaty untuk lini reasuransi umum.
“Intinya ada anomali di Indonesia. Saat di luar sudah menikmati hasil dari hard market, di Indonesia reasuransinya masih negatif, terutama reasuransi umum, treaty,” sebutnya.
Sebagai informasi, market hardening atau hard market merupakan terminologi yang umum digunakan di industri asuransi dan reasuransi ketika sulit untuk mendapatkan cover atau back-up. Situasi ini terjadi ketika tiga indikator yakni harga atau premi meningkat, terms and condition diperketat dan kapasitas menciut atau berkurang.
Namun, lanjut Delil, hard market merupakan mekanisme supply dan demand pasar asuransi dan reasuransi untuk mengoreksi profitability yang menurun untuk menghasilkan pasar yang lebih baik dan sustainable.
“Hard market dan soft market biasanya datang bergantian menjadi siklus dalam industri asuransi dan reasuransi,” tambahnya.
Kondisi ini secara global ini disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah bencana alam berskala besar atau natural catastrophes (Nat Cat). Selain itu, pandemi Covid-19 yang menyebabkan penguncian wilayah atau lockdown di hampir semua negara telah mengakibatkan rantai pasok produk industri terganggu.
Kerugian ekonomi dan rantai pasok terganggu ini, jelasnya, pada akhirnya menyebabkan peningkatan angka klaim asuransi dan reasuransi karena biaya untuk mendatangkan material, alat-alat dan tenaga kerja meningkat.
Faktor lain yang terjadi di tengah pandemi adalah inflasi atau penaikan harga produk dan komoditas secara menyeluruh.
“Apalagi, saat ini banyak negara di Eropa dan Amerika mengalami inflasi pada level tertinggi dalam sejarah. Kondisi ini pun meningkatkan nilai klaim asuransi dan reasuransi,” tukasnya.